Saturday 2 May 2015

BIOGRAFI IBNU MISKAWAIH


A.    BIOGRAFI IBNU MISKAWAIH

Nama lengkap beliau adalah Abu Ali Al-Khazin Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Ibn Miskawah dengan gelar Ibnu Miskawaih.[1] Belum dapat dipastikan, apakah dia sendiri atau dia adalah putra ( ibn ) Miskawaih. Beberapa orang seperti Margoliouth dan Bergrtrasser menerima alternatif pertama, sedangkan lainnya, seperti Brockelmann, menerima alternatif yang kedua.[2] Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi ( Persi ) yang kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama para sahabat Ali bin Abi Tholib yang mana bagi kaum Syiah dipandang sebagai pihak yang berhak menggantikan Nabi Muhammad dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat islam sepeninggalnya. Dari gelar ini, tidak salah apabila ada orang yang kemudian mengatakan bahwa Miskawaih adalah tergolong penganut aliran Syiah.[3]
Ibnu Miskawaih  dilahirkan di Rayy ( Iran ) sebelah selatan kota Teheran. Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkan berbeda-beda, M.M Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth menyebutkan tahun 330 H/941 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Ibnu Miskawaih berumur cukup panjang dan meninggal dunia di Isfahan pada tanggal 9 safar tahun 421 H/16 februari 1030 M.[4] Ia hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada dibawah pengaruh  dinasti Buwaihi (320-450 H/932-1062 M) yang sebagian besar pemukanya bermadzhab Syi’ah.[5] Ia berdarah Persi yang hidup tumbuh dan berkembang tengah-tengah masyarakat elite Arab. Memang orang Persi pada masa mula perkembangan Islam banyak yang menjadi pejabat pemerintahan Arab Islam. Diantaranya adalah Abu Muhammad Abdullah ibnu Maqaffa' wafat tahun 142 H. Orang Arab dalam menyelenggarakan pemerintahan mengangkat orang-orang Persi yang memang mereka itu pilih tanding dalam intelektual, penguasaan ilmu bahasa, hikmah dan sejarah. Ibn Miskawaihi salah seorang intelektual mereka, pakar dalam ilmu sejarah, banyak melahirkan karya tulis. Di bawah pemerintahan inilah dia bekerja dengan para wazir dan amir. Pertama kali dia bekerja pada wazir Al-Mahallabi ibn Abi Shafrah tahun 348 H, sebagai sekretarisnya. Setelah wazir ini wafat dia kembali ke Ray dan bekerja menjadi kepala perpustakaan wazir Ibnu Amid. Setelah wazir ini wafat tahun 360 H, dia masuk penjara pada tahun 366 H. Sesudah itu dia bekerja lagi di perpustakaan Adludullah ibn Buwaihi. Disinilah dia mendapatkan ketenteraman dan kenyamanan dalam hidupnya. Pada masa itu Dinasti Buwaih adalah pada masa ‘adhud al-Daulah ( tahun 367 H-372 H ). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusteraan, dan pada masa inilah Ibnu Miskawaih mendapatkan kepercayaan untuk  menjadi bendaharawan ‘Adhud al-Daulah.[6] Dia pun dijuluki  Abu al-Khazin ( Sang Penyimpan), karena Ia menyimpan buku-buku milik Khalifah Al-Malik ‘adhud al-Daulah bin Buwaihi, yang berkuasa dari tahun 367 H hingga 372 H. Ibnu Miskawaih adalah orang yang dihormati dan sangat dekat dengan kholifah.[7] Juga pada masa ini Miskawaih muncul sebagai filsuf, tabib, ilmuwan dan pujangga. Demikianlah Ibnu Miskawaihi berpindah-pindah mengabdi dari satu pejabat ke pejabat tinggi lainnya, di dalam pemerintahan Bani Buwaihi sampai wafatnya tahun 421 H di Isfahan dalam usia 91 tahun.
Karier akademisnya diawali dengan menimbah ilmu pengetahuan di Baghdad dalam bidang sastra. Setelah menjelajahi banyak cabang ilmu pengetahuan dan filsafat, akhirnya Ia lebih memusatkan pada bidang sejarah dan etika.[8] Ibnu Miskawaih belajar Sejarah, terutama Tarikh al-Thabari ( Sejarah yang ditulis oleh At-Thobari) pada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadi pada tahun 350 H/960 M.[9] Sementara filsafat, Ibnu Miskawaih mempelajarinya dari ibnu al-Khammar, yaitu seorang Mufassir kenamaan dan pensyarah karangan-karangan Aristoteles. Ibnu Miskawaih mengkaji ilmu kimia bersama Abu al-Tayyib al-Razi,  seorang ahli kimia dan Ibnu Miskawaih sangat senang mengkaji aspek psikologis dan sosiologisnya.
Ibnu Miskawaih adalah seorang filsuf muslim yang telah mengabdikan seluruh perhatian dan upayanya yang barangkali jauh melebihi pemikir Islam lain manapun dalam bidang etika, tetapi beliau bukan hanya peduli pada etika melainkan juga pada filsafat yang mengandung ajaran-ajaran etika yang sangat tinggi. Sebagai filsuf, Ibnu Miskawaih memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Ibnu Miskawaihlah yang mula-mula mengemukakan teori etika sekaligus menulis buku tentang etika.[10]
Selain mendapatkan gelar Bapak Etika Islam, Ibnu Miskawaih juga digelari Guru ketiga ( al-Mualimin al-Tsa>lits ) setelah al-Farabi yang digelari guru kedua ( al-Mualimin al-Tsa>ni) sedangkan yang dianggap guru pertama ( al- Mualimin al-Awwal ) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak Etika Islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika adalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq ( pendidikan budi dan pembersihan akhlak ). Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filasafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.[11]
Tentang kepribadiannya, dari pernyataan Iqbal, bahwa Ibnu Miskawaih adalah seorang pemikir teistis, moralis dan sejarawan Parsi yang terkenal. Ia sangat mengabdi pada guru-gurunya. Ibnu Miskawaih berupaya mengikuti lima belas petunjuk moral. Kesederhanaannya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukkan diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tak rasional merupakan petunjuk tersebut. Intinya, semua yang ia tulis dalam kitab Tahdzib al-Akhlak tentang etika ia mencoba melaksanakannya dengan baik. Oleh karena itu, pantas ia dikatakan sebagai filsuf Islam yang konsisten dan konsekuen terhadap apa yang ditulisnya.[12]
Al-Labib pernah mengungkapkan bahwa Ibnu Miskawaih adalah seorang yang paling agung, yang paling terhormat dikalangan orang non-Arab. Ia juga orang yang paling kharismatik dikalangan orang-orang Persia.[13] 
Ibnu Miskawaih dikenal sebagai pemikir yang produktif. Ia telah menghasilkan banyak karya tulis, tetapi hanya sebagian kecil yang sekarang masih ada.[14] Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah,[15] 15 buah sudah dicetak, 8 buah masih berupa manuskrip, dan 18 buah karyanya yang dinyatakan hilang. Menurut ahmad Amin, semua karya Ibnu Miskawaih tersebut tidak luput dari kepentingan filsafat etika. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tidak mengherankan jika Ia dikenal sebagai moralis.
Karya-karya Ibnu Miskawaih antara lain :
1.    Al-Fauz al-Akbar
2.    Al-Fauz al-Ashghar
3.    Tajarib Al-Umam
4.    Uns al-Farid ( koleksi anekdot, sya’[ir, peribahasa dan kata-kata hikmah
5.    Tartib al-Sa’adah ( tentang akhlak dan politik )
6.    Al-Mustaufa ( Syair-syair pilihan )
7.    Jawidan Khirad ( koleksi ungkapan bijak )
8.    Al-Jami’
9.    Al-Syiyar ( tentang tingkah laku kehidupan )
10.    On Simple Drugs ( tentang kedokteran )
11.    On the composition of the bajats ( seni memasak )
12.    Kitab al-Asyribah ( tentang minuman )
13.    Tahdzib al-akhlak ( tentang akhlak )
14.    Risalah fi al-Lazzah wa al-alam fi Juhar al-Nafs
15.    Ajwiba wa As’ila fi al-nafs wa al-‘Aql
16.    Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats
17.    Risalah fi jawab fi su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan al-shufi Haqiqoh al-‘aql
18.    Thaharoh al-Nafs.

B.  PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH DALAM KITAB “ TAHZIB AL-AKHLAK WA TATHHIR AL-A’RAQ

Pemaparan etika Islam menurut Ibnu Miskawaih, diawali dengan pembahasan tentang manusia dan jiwanya. Karena menurut Ibnu Miskawaih jalan untuk mencapai kesempurnaan etika ialah mengenali jiwa. Sebagaimana dalam muqoddimah Tahdzib al-akhlak wa tathhir al-a’raq, Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa tujuan menulis buku tersebut adalah mengembangkan nilai etika dalam jiwa.

1.    Dasar-Dasar Etika Islam Ibnu Miskawaih
a)    Konsep Manusia
Ketika orang memahami kata al-insan berasal dari kata al-nisyan, seakan-akan ia memberikan justifikasi bahwa ketika manusia tidak menepati janji atau mengerjakan hal-hal yang bersifat negatif dengan alasan lupa merupakan kesalahan yang bersifat wajar-wajar saja.
Memang manusia selalu luput dari kesalahan sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW: “ Setiap keturunan Nabi Adam pasti berbuat kesalahan dan sebaik-baiknya kesalahan adalah pertaubatan”. Bahkan dikatakan pula dalam pepatah : “ Manusia (al-insan) adalah tempat salah dan lupa”.
Dalam Al-Qur’an, kata al-insan identik dengan arti manusia yang menggunakan rasionalitas dan akal budinya. Salah satunya, seperti yang tercatat dalam Surat Al-Ashr: 1-3 yang berbunyi :
Demi masa sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Al-Ashr ;1-3).[16]
Kita sebagai manusia tidak bisa mengingkari bahwa kita mempunyai potensi untuk membuat kesalahan dalam hidup. Tapi ketika kita membuat kesalahan dalam hidup dengan mengatasnamakan lupa adalah sesuatu yang keliru, karena pada dasarnya kata al-insan bukan berasal dari kata al-nisyan.
Ibnu Miskawaih menjelaskan dengan sangat komprehensif makna filsuf al-insan. Ia berpendapat bahwa kata al-insan ( yang berarti manusia dalam bahasa Indonesia) berasal dari kata al-uns yang berarti intimacy ( keintiman ) atau dalam kamus kontemporer Hans Wehr, kata al-uns berarti sociability dan familiarity. Dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial yang secara alami memiliki hubungan keintiman dan kekeluargaan antara satu sama lainnya.[17]
Menurut pandangannya, manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan kerena dalam kenyataannya manusia memiliki daya berpikir. Berdasarkan daya berpikir tersebut, manusia dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, serta baik dan buruk.  Dan manusia yang kemanusiaannya paling sempurna ialah mereka yang paling benar cara berpikirnya serta paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu untuk mewujudkan kebaikan, manusia harus kerjasama. Usaha untuk mewujudkan kebaikan merupakan indikator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan dari penciptaan manusia itu sendiri.[18]

b)   Jiwa Manusia
Para filsuf Islam memandang jiwa merupakan sesuatu yang mengandung daya yang terdapat dalam diri manusia.[19] Psikologi Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistik tradisional Plato dan Aristoteles dengan kecenderungan Platonis, namun dalam beberapa hal Ibnu Miskawaih mengembangkannya dan meyelaraskannya sesuai dengan ajaran etika Islam.
Pada tulisan awalnya Ibnu Miskawaihi menyatakan keterkaitan antara pembentukan watak dengan pendidikan dan ilmu jiwa. Katanya "Tujuan kami menyusun kitab ini (Tahzibul Akhlak) adalah untuk menghasilkan bagi diri kita suatu watak pribadi yang melahirkan perilaku yang baik seluruhnya dengan gampang, tak dibuat-buat lagi tanpa kesulitan (maksudnya perilaku yang baik lahir dari watak itu secara otomatis).
Hal demikian diperoleh melalui proses pendidikan dan jalan untuk demikian lebih dahulu dipelajari ilmu jiwa. Apa dan bagaimana jiwa itu?, Untuk apa dia diciptakan, kesempurnaannya, tujuannya, kemampuannya "sifatnya" yang bila kita pergunakan/dibina sebagaimana mestinya, niscaya jiwa itu akan-membawa kita, kepada martabat yang mulia.
Dan perlu pula kita pelajari faktor-faktor yang menghambat jiwa itu dalam rnenuju martabat yang mulia, apa saja yang mensucikannya dan apa yang mengotorinya, maka karena itu Allah berfirman dalam Surah as-Syams ayat 9-10 :
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya ( as-Syams ayat 9-10).[20]
Jiwa itu menurut Ibnu Miskawaihi adalah zat pada diri kita yang bukan berupa jisim, bukan pula bagian dari jisim, bukan pula ‘aradl (sifat peserta pada substansi) wujudnya tidak memerlukan potensi tubuh, tapi dia jauhar basith (substansi yang tidak berdiri atas unsur-unsur) tak dapat diindra oleh pengindraan".[21]
Jiwa itu mempunyai aktifitas yang berlainan dengan aktifitas jisim serta bagian-bagiannya dengan segala sifat-sifatnya hingga tidak menyertainya dalam segala hal. Bahkan juga berbeda dengan sifat ‘aradl (accident) jisim serta berlainan sama sekali dengan jisim dan sifat-sifat ‘aradl. Tegasnya jiwa itu bukan jisim, bukan pula bagian dari jisim dan bukan pula sifat ‘aradl. Jiwa itu tidak mengambil ruang, tidak berobah. Dia (jiwa) dapat menanggapi segala sesuatu secara serentak bersamaan dan tidak mengalami penyusutan, rusak atau berkurang.
Ibnu Miskawaihi memberi penjelasan lagi akan hal tersebut di atas bahwa tiap jisim mempunyai shurah/ gambaran. Dia tidak akan menerima shurah lain yang dari jenis shurah pertama kecuali sesudah jisim melepaskan sama sekali shurah yang pertama. Contohnya bila jisim sudah menerima suatu shurah / syakal umpamanya segitiga, maka dia tidak akan menerima lagi syakal lain misalnya segi empat, bundar atan lainnya, kecuali bila jisim melepaskan syakal pertama (segitiga). Demikian pula bila jisim menerima shurah lukisan atau tulisan maka jisim itu tidak dapat menerima shurah lukisan/tulisan lainnya kecuali sesudah shurah lukisan pertama/terdahulu lenyap samasekali. Bila shurah terdahulu tetap masih ada bersisa, maka jisim tidak dapat menerima secara utuh shurah yang datang kemudian lalu terjadilah campur aduk antara kedua shurah itu, tak ada salah satupun diantara dua shurah itu yang bersih samasekali. Contoh lain, sebatang lilin bilamana sudah menerima shurah lukisan yang dicapkan atasnya, lilin itu tidak akan menerima cap lukisan berikutnya kecuali jika shurah lukisan yang lama dihapuskan. Demikianlah hukum yang berlaku pada jisim.
Berbeda halnya dengan sifat-sifat jiwa itu menerima semua shurah dari segala sesuatu secara menyeluruh yang bermacam-macam, baik yang mahsusaat (segala sesuatu yang diindera) ataupun yang berupa ma'qulaat (pengertian-pengertian) dengan sempurna, tanpa melepaskan shurah yang terdahulu atau menggantikannya ataupun melenyapkannya, bahkan gambaran (shurah) terdahulu dengan sempurna tetap bertahan, juga shurah yang datang berikutnya tersimpan dengan sempurna. Kemudian jiwa terus menerus menerima shurah demi shurah tanpa kelelahan dan kealpaan ketika menerima shurah baru datang. Bahkan shurah terdahulu bertambah kuat dengan kedatangan shurah berikutnya. Inilah sifat-sifat khusus pada jiwa yang berlainan dengan sifat-sifat khusus pada jisim. Karena faktor inilah penalaran dan pemahaman manusia berkembang teras manakala dia terlatih dan berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan dan kebudayann. Jadi jiwa itu bukanlah jisim/tubuh.[22]
Jiwa berasal dari limpahan akal aktif (‘aql fa’al). Jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak adapat diraba oleh salah satu pancaindera.[23]
Macam-macam kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan yang bertingkat-tingkat:
(1)   Al-Nafs al-Bahimmiyyah ( Daya bernafsu ) adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau keburukan.
(2)   Al-Nafs al-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah ( Daya berani ) adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
(3)     Al-Nafs al-Nathiqah ( Daya berpikir ) adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan.
Ketiga daya ini merupakan daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs Al-Bahimmiyyah) dan berani (al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah) berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-Nafs an-Nathiqah) berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.[24]
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyah/as-syahwiyyah (bernafsu) dan jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani) dengan jasad pada hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi.

2.      Ajaran Pokok Etika Islam Ibnu Miskawaih
a)    Teori Fadlail ( Keutamaan )
Konsep akhlaq yang di tawarkan oleh Ibnu Miskawaih lebih di dasarkan pada doktrik jalan tengah( Nadzar al-Ausath ). Dengan pengertian bahwa jalan tengah adalah dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, atau posisi tengah diantara dua ekstrem. Akan tetapi Ibnu Miskawaih lebih menitik beratkan pada posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstreem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari keterangan diatas dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa ibn Miskawaih lebih memberi tekanan pada pribadi.
Dengan demikian, maka para hukama (failosof) bersepakat menetapkan bahwa jenis fadilah empat yaitu: al-Hikmah, al-'Iffah, as-Saja'ah dan al-Adlalah. Adapun lawannya empat pula yaitu al-Jahl (bodoh), as-Syarh (rakus) al-Jubn (takut) dan Al-Jaur (kelaliman).
Menurut Fazlur Rahman, bergeser dari moderasi ke pihak manapun juga selalu menghasilkan kondisi setan yang efek-efek moralnya tetap sama, yakni nihilisme moral. Sebab itu, jalan tengah tidak hanya merupakan jalan yang terbaik, tetapi juga merupakan satu-satunya jalan.[25]
Setiap keutamaan yang terdapat dalam jalan tengah tersebut memiliki cabangnya masing-masing atau membawahi sifat-sifat yang baik lainnya:
(1)     Al-Hikmah (kebijakan) ialah fadlilah sifat utama dari jiwa natiqah, jiwa pikir kritis analitis (Annatiqah al-mumayyizah) untuk mengetahui (mengenali) segala yang ada karena keberadaannya, atau untuk mengetahui hal ihwal ketuhanan dan hal ihwal kemanusiaan. Hikmah memiliki tujuh cabang yaitu: ketajaman intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ingatan, jernih pikiran, dan mudah dalam belajar sebagai pra kondisi. Dengan demikian pengetahuan membuahkan pengenalan tentang al ma'qulat (pengertian-pengertian tentang hal yang abstrak/yang metafisis) secara kritis analitis, mana yang benar dipegangi, mana yang salah dibuangnya.
(2)     Al-Iffah (kesucian diri) sifat utama pada pengindraan nafsu syahwat al Hissussyahwani. Sifat utama ini nampak pada waktu seseorang mengendalikan nafsunya (setelah responsi indra terhadap suatu stimulus) dengan pertimbangannya yang sehat sehingga dia tidak tunduk pada nafsunya itu, dia bebas dari perbudakan hawa nafsunya. Al-Iffah memiliki 12 cabang, yaitu malu, kecenderungan terhadap kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, sabar, dermawan, kemerdekaan, bersahaja, keteraturan, menghias diri dengan kebaikan,dan  kehati-hatian.
(3)     As-Syaja'ah (keberanian) adalah sifat utama pada jiwa ghodlabiyah. Sifat ini nampak pada manusia ketika jiwa ghodlabiyah itu dikendalikan oleh sifat utama al-Hikmah dan dipergunakan sesuai dengan akal pikiran untuk menghadapi masalah-masalah yang punya resiko, umpamanya tidak gentar menghadapi perkara-perkara yang menakutkan. Dia atasi perkara itu bila sikap demikian dipandang baik atau dia menahan diri bila sikap demikian dipandang terpuji. Syaja’ah berkembang menjadi 9 cabang yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan, keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan dan memiliki daya tahan yang kuat atau senang bekerja berat.
(4)     Al-Adalah (keadilan) adalah sifat utama pada jiwa sebagai produk dari integrasi (ijtima) yang serasi dari tiga unsur jiwa yang telah disebutkan, dimana unsur al-Hikmah merupakan faktor yang dominan. Keadilan ini dibagi menjadi 3 macam yaitu keadilan alam, keadilan adat istiadat, dan keadilan Tuhan. Sifat utama yang berada di bawah al Adaalah yaitu: shadaaqah (persaudaraan), ulfah (kerukunan), silaturahim (silaturrahmi), mukafa'ah (suka memberi imbalan), husnussyirkah (baik dalam persekutuan husnulqadlaa (baik dalam pemberian jasa tanpa penyesalan dan minta imbalan), tawaddud (upaya mendapatkan simpati dari orang-orang mulia dengan jalan tatap muka yang manis dan dengan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan cinta kasih dari mereka), ibadah (mengagungkan Tuhan, mentaatiNya, memuliakan malaikat dan para Nabi dan alim utama, dan beramal sebagaimana digariskan agama dan ketaqwaan akhir dari segalanya, tarkul hiqdi (meninggalkan perasaan sentimen), membalas kejahatan dengan kebaikan, mempergunakan keramahan), dalam segala hal selalu beralasan prestige/harga diri, menjauhi persengketaan, meninggalkan pergunjingan, dan lain sebagainya dari sifat-sifat baik dalam hubungan antara manusia.
Dengan keberadaan al-Adalah itu, manusia memiliki simatun (ada tulisan Arab) ciri. Pilihannya (sebagai balanced individual) yaitu dia bagian dari dirinya sendiri dan bagian dari orang lain (bagian dari masyarakat).[26]

b)   Teori Kamal ( Kesempurnaan )
Substansi manusia mempunyai aktivitas yang khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk lain   di dunia ini. Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, tetapi jika tidak melakukan perbuatan yang sesuai substansinya, maka ia seperti kuda ataupun keledai. Ibnu Miskawaih memberikan perhatian khusus terhadap masalah hikmah dan ‘adalah dimana terletak kamal khas insani.
Kesempurnaan manusia ada dua macam karena dua hikmah yaitu:
1)   Nazhariyah ( teoritis )
                   Dengan hikmah Nazhariyah ( teoritis ) manusia cenderung kepada berbagai ilmu dan pengetahuan. Dengan hikmah ini, manusia akan rindu pada pengetahuan, terwujud bila mendapatkan pengetahuan sehingga persepsinya, wawasannya dan kerangka berpikirnya pun akurat. Dengan demikian, dia tak akan melakukan kesalahana dalam keyakinannya dan tidak meragukan suatu kebenarannya.
2)   ‘amaliyah atau khuluqiyah ( praktis )
 Sedangkan hikmah ‘amaliyah atau khuluqiyah ( praktis ) merupakan tujuan Ibnu Miskawaih membuat kitab Tahdzib al-akhlak wa Tathhir al-‘Araq ini yaitu berupa kesempurnaan karakter.
Dimulai dari menertibkan pembawaan-pembawaan dan aktifitas khusus bagi pembawaan itu hingga tidak terjadi benturan , tapi ia akan hidup dengan harmonis dalam dirinya. Kemudian diakhiri dengan penataan kehidupan sosial dimana tindakan dan pembawaan tertata baik dikalangan masyarakat hingga terjadi  keselarasan dan masyarakat mencapai kebahagiaan seperti yang ada pada manusia. Ia demikian percaya bahwa bila seseorang mengetahui keutamaan sesuatu ia akan melakukannya.

Ilmu Pengetahuan merupakan dasar dan amal perbuatan merupakan kesempurnaan manusia. Dasar tanpa kesempurnaan maka suatu yang sia-sia, sedangkan kesempurnaan tanpa dasar adalah sesuatu yang mustahil.
                   Kesempurnana akan tercapai apabila keduanya tercapai, yaitu kesempurnaan yang bersifat teoritis yang berkenaan dengan kesempurnaan praktis seperti bentuk dan materi yang berarti tercapainya suatu sa’adah tammah. Apabila hanya mencapai salah satunya bereti manusia tersebut hanya mencapai kamal naqish dan sa’adah naqishah. Proses dan tingkatan-tingkatan kesempurnaan terjadi sejak manusia tersebut mengetahui hakikat segala sesuatu (idea) yang memancarkan perbuatan kamal-kamal insani dimana tercapai tingkat ‘alim shaqir, lalu menyatukan diri dengan semua gambaran hakikat dan perbuatan sedemikian rupa sehingga menjadi khalifah dimana ia tiada lagi melakukan kesalahan dan tiadak keluar dari sistem hikmah Allah yang pertama. Pada tahap ini menjadi’alim tamm, sedang yang sempurna dari substansi adanya kekekalan dimana dia tidak akan terputus dari kenikmatan dan kebahagiaan abadi, sebab dengan kesempurnaan tersebut, dia telah siap menerima pancaran Ilahi yang kekal abadi, dan telah dekat dengan –Nya sehingga tidaka da satu tabirpun yang memisahkan dia dengan Tuhan. Inilah tingkatan paling tinggi dari kebahagiaan terakhir.
Selanjutnya Ibnu Miskawaih mengatakan, kalau individu manusia tidak dapat mencapai kedudukan tersebut, menyempurnakan bentuk kemanusiaannya dengan kedudukan tersebut, dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya secara bertahap, maka keadaannya sama seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang tidak mempunyai kemungkinan untuk melakukan transformasi dan peningkatan diri menjadi yang lebih baik dan pasti mustahil manusia dapat mencapai kekekalan dan kenikmatan abadi serta kembali kepada Tuhan dan masuk dalam surga-Nya. Maka oarang yang tidak mempunyai gambaran dan keyakinan tentang hal ini, yaitu yang ilmunya hanya setengah-setengah dan dia akan jatuh kedalam keraguan dan mengira kerusakan jasmani mengakibatkan manusia kehilangan hakikatnya, serta hidup melata seperti binatang dan tumbuhan. Dikala itu ia berhak disebut kafir dan keluar dari inti hikmah dan hukum agama.[27]
c)    Teori Sa’adah ( Kebahagiaan )
Ibnu Miskawaih mengecam keras kaum matrealistik biologik yang memandang bahwa manusia diciptakan dengan segala potensinya hanyalah merealisasikan kenikmatan-kenikmatan biologis. Hal ini merupakan pandangan orang-orang awam dan bodoh yang meridukan kenikmatan material di surga, dan dimintanya dari Allah sebagai upah bagi yang bermental kuli dan pedagang.
Bagi Ibnu Miskawaih kebahagiaan di akhirat terletak pada kenikmatan ruhani. Sebab kenikmatan di surga itu sempurna dan abadi yang terus menerus, sedangkan kenikmatan material harus didahului oleh sakit dan berbagai kekurangan dimana kenikmatan adalah akhir dari sakit.
Sa’adah merupakan khair yang relatif ( individual ) sehingga tidak mempunyai standar yang pasti. Ibnu Miskawaih menunjuk beberpa teori sa’adah dari berbagai filsuf, yaitu :
1)   Pyitaghoras, Socrates dan Plato melihat bahwa keutamaan dan kebahagiaan hanyalah terdapat pada kualitas ruhani manusia. Sebab badan hanyalah alat atau kendaraan bagi ruhani. Mereka juga berpendapat bahwa kebajikan-kebajikan tersebut cukup untuk kebahagiaan, apabila manusia telah menerima semua keutamaan-keutamaan
2)   Menurut kaum Stoika dan ahli fisika, badan merupakan bagian dari hakikat manusia, bukan sekedar alat ruhani dan jasmaniah. Ini sama dengan teori Aristoteles hinggah sa’adah tammah ada pad lima hal yaitu: kesehatan badan, kekayaan, pangkat dan kehormatan, sukses dalam berbagai urusan dan tajamnya pandangan, sehatnya pemikiran dan selamatnya keyakinan mengenai agama.
3)   Menurut sebagian filsuf kebahagiaan adalah sesuatu yang tetap, tidak hilang, tidak berubah-ubah dan tidak sirna. Oleh karena itu, kebahagiaan utama hanya tercapai diakhir sesudah manusia melepaskan jasadnaya dan segala naluri biologisnya.[28]
Ibnu Miskawaih berusaha mengompromikan kedua teori diatas dengan menunjuk hakikat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani yang berakal.

d)   Teori Khairat ( Kebaikan )
Menurut Ibnu Miskawaih, Khairat adalah sesuatu yang terbit dari atau sesuai dengan kamal kahs insani yang melekat pada hikmah secara umum  yang meliputi fadhilah yaitu, hikmah,’iffah, syaja’ah dan ‘adalah. Sebab itu Khair itu bermacam-macam, yaitu :
1)   Secara Kualitatif ada 4 macam, yaitu :
a.    Syarifah, yang kemuliaannya karena dzatnya, yakni hikmah dan akal
b.    Mamduhah, keutamaan dan perbuatan-perbuatan usaha yang baik.
c.    Nafi’ah, segala sesuatau yang dicari bukan karena dzatnya melainkan sebagain alat kepada kebaikan.
2)   Dilihat dari segi positifnya:
a.       Ghayah (tujuan), yang terbagi dua (1) tammah , yaitu sa’adah dimana kita tidak lagi membutuhkan yang lain sesudahnya. (2) Ghoir tammakh, seperti kesehatan dan kemudahan.
b.      Bukan tujuan, seperti pengobatan dan latihan/pendidikan.
3)   Dilihat dari segi efektivitasnya :
Ada yang efektif karena dzatnya, ada yang karena lain hal, karena keduanya, dan karena diluar keduanya.
a.       Dilihat dari segi sifatnya
Khair mutlak, khair ketika darurat, disepakati sebagian manusia saja pada saat tertentu saja, baik bagi semua manusia, baik sebagian saja, baik segala seginya, dan sebagainya.
b.      Dilihat daris segi aradl yang kesepuluh :
Kapan, bagaimana, jumlah, dimana Allah adalah khair pertama dan mutlak sebagai sumber segala kebaikan yang sgegala sesuatunya bergerak menuju kepadanya. Kebaikan selau membawa kebahagiaan, malah kebahagiaan itu sendiri merupakan salah satu bentuk khair.[29]
e)    Teori Mahabbah ( Cinta )
Menurut Ibnu Miskawaih cinta mempunyai berbagai jenis dan sebab . terbaginya cinta menjadi jenis-jenis ini hanya karena sasaran dan ,menjadi tujuan kehendak dan tindakan manusia. Ibnu Miskawaih mengklasifikasikan cinta ada empat bentuk mahabbah yaitu :
1)   Cinta yang berdasarkan kenikmatan
Cinta jenis ini cepat tumbuh dan cepat pudar, sebab kenikmatan sendiri cepat berubah, sedang mahabbah itu pudar bersama lenyapnya sebab. Teorinya dalam kimia, beberapa atom ( jauhar ) yang berbeda tidak mungkin menyatu dzatnya. Kalaupun bertemu pada lapisan luar, pertemuan itu cepat pudar.
2)   Cinta yang berdasarkan manfaat
Cinta jenis ini lambat tumbuh tetapi cepat pudar. Jiwa manusia yang terbentuk oleh kenikmatan dan kemanfaat yang berlainan, bahkan sering kontradiksi.
3)   Cinta yang berdasarkan kebaikan
Cinta ini cepat tumbuh tapi lambat pudar, dan hanya ada dikalangan orang-orang akhyar.
4)   Cinta perpaduan antara ketiganya
Cinta yang terbentuk dari perpaduan sebab-sebab ketiga unsur tersebut. Bila cinta tersebut mnegandung khair, maka cinta itu akan lambat tumbuh dan lambat pudar. Sebab tersebut adalah landasan yang menjamin persatuan dan kesatuan yang kokoh dan kekal dalam satu komunitas, hanyalah mahabbah dan mawaddah yang terbentuk oleh jauhar ilahi dalam diri manusia, yang bersih dari kotoran syahwat  dan dapat menatap kebaikan sejati pertama kemana ia harus bergerak dan mendapat limpahan cahaya-Nya. Potensi Mahabbah yang suci ( Mahabbah Ilahiah ) inilah yang harus dicari dan dipelihara bersama oleh anak-anak adam.[30]
Ibnu Miskawaih  mengenal dua tingkatan Cinta. Pertama cinta sesama makhluk. Kedua cinta makhluk kepada Sang Khalik.
Mengenai etika pergaulan, Ibnu Miskawaih menekankan cara mencari kawan dengan mengutip Sokrates, yaitu :
1)   Menyelidiki situasi pergaulan dalam keluarganya
2)   Selidiki pergaulannya dengan kawan-kawannya
3)   Selidiki sejauh mana ia berterimahkasih pada yang berhak
4)   Perhatikan apakah ia cenderung malas atau enggan untuk soal yang remeh sekalipun
5)   Teliti sejauh mana ambisinya terhadap kekuasaan dan kedudukannya
6)   Apakah ia menyepelekan nyanyian dan senda gurau yang tak berarti
Cara memelihara persahabatan antara lain, tidak menyepelekan haknya, menampakkan wajah berseri ketika ia gembira dan turut berduka dikala kesusuahan, serta menjauhi perilaku negatif seperti memperolokkan, kikir tentang ilmu dan etika-etika islam tertentu misalnya membuka aaib,  mengadu domba dan lain sebagainnya.[31]

f)    Aspek sosial
Aspek sosial dalam filsafat etika Islam Ibnu Miskawaih terdiri dari tiga asas yang merupakan hasil pendekatan multidisipliner: metafisika, fisika, psikologi, sosiologi dan syar’i.
1)   Hakikata cara wujud manusia sebagai zoon politicon ( madaniyun bi al-thab’i ) dimanapun kesempurnaan hakikat manusia terletak pada adanya yang lain ( being in communication )
2)   Hakikat keterbatasan manusia dalam merealisir khairat yang beraneka ragam.
3)   Fitrah manusia sendiri saling mencintai ( anisun bi al-thab’i ), yang gdari kata uns itu diambil dari kata insan bukan dari kata nisyan ( lupa ). Sebab itu , wajib ada komunitas manusia yang hterdiri dari sejumlah individu yang sama dan hidup bersama dalam prinsip mahabbah dan mawaddah, untuk menyempurnakan hakikat diri dan merealisasikan kebahagiaan kolektif, sehingga tercapailah khairat bersama dan sa’adah yang didistribusikan dikalangan mereka dan terwujudlah kalam jenis insani, seperti sebuah tubuh yang anggota-anggotanya satu sama lain saling mengikat.
Karena manusia makhluk sosial, maka kebahagiaan kemanusiannya terletak pada temannya, sedang kesempurnaannya terletak pada orang lain, mustahil akan mencapai kebahagiaan yang sempurna dalam keadaan hidup menyendiri. Maka yang berbahagia adalah yang memperoleh banyak teman dan berusaha keras menyebarkan kebaikankepada mereka untuk ia peroleh dengan bantuan mereka apa yang tidak dapat ia peroleh secara sendirian, sehingga satu sama lain mendapatkan kenikmatan ukhuwah ini sepanjang hidupnya.[32] Bahkan keutamaan-keutamaan etika Islam berupa ‘adalah, iffah dan syajaah hanyalah diperlukan untuk memelihara muamalat dan pergaulan hidup, dimana kesempurnaan eksistensi manusia tidak sempurna kecuali dengannya.
Dari postulat-postulat tersebut Ibnu Miskawaih membahas maslah mahabbah dan pergaulan hidup sampai pada kutukan terhadap kemalasan dan senang santai sebagai keburukan terbesar yang menghalangi kemanusiaannya sendiri. Sebab itu ia mencela orang-orang zuhud yang mengisolir diri digunung atau pertapaan yang praktis melenyapkan seluruh keutamaan etika Islam dimaksud, dan oleh Ibnu Miskawaih dipandang sebagai benda mati dan mayat.[33]



[1] Sudarsono, Filsafat Islam ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004 ), cet II, hlm 88.
[2] MM. Syarif ( Ed ), Para filsuf Muslim ( Bandung: Mizan, 1989 ), cet III, hlm 83.
[3] Sudarsono, Filsafat Islam ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004 ), cet II, hlm 88.
[4] Muhammad Utsman Najati, Ad-Dirasati an-Nafsaniyyah’inda al-‘ulama all-muslimin, terj. Gazi Saloom, Jiwa dalam pandangan Filsuf Islam ( Bandung: Pustaka hidayah, 2002), hlm  85.
[5] Musthofa, Filsafat Islam..,167.
[6] Ibid 167.
[7] Muhammad Utsman Najati, 86.
[8] Taufik Abdullah, et.al, Ensiklopedi Islam ( Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000) Jilid 3, cet VIII, hlm 195.
[9] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam ( Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 2001) Jilid 5, cet IV, hlm 162.
[10] A,Mustofa, hlm 168.
[11] Muhaimin, et.al Kawasan dan Wawasan Studi Islam ( Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2005) cet I, hlm 327-328.
[12] M.M Syarif, hlm 84-85.
[13] Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq. Terj. Helmi Hidayat, Menuju kesempurnaan akhlak ( Jakarta : Mizan , 1999), hlm 30.
[14] Nina M.Armando, et. Ensiklopedi Islam ( Jakarta PT ichtiar Baru Van Hoeve, 2001) jil 3, cet VI. Hlm 89.
[15] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) cet. III. hlm 6
[16] Al-Qur’an dan terjemahan, Surat Al-Ashr ( Bandung : CV Penerbit Diponegoro ), hlm 565.
[17] Dida, Artikel: Manusia Prespektif Ibn Miskawaih ( 01 Desember 2014, http:// darul ulum. Blogspot.com)
[18] Jalaluddin & Usman Sa’id, Filsafat Pendidikan Islam: konsep dan perkembangan pemikirannya ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994 ), hlm 135.
[19] Harun Nasuion, Akal dan Wahyu dalam Islam ( Jakarta: UI Press, 1983), hlm 8.
[20] Al-Qur’an dan terjemahan, Surat Asy-Syams ( Bandung : CV Penerbit Diponegoro ), hlm 542.
[21] Istighfatur Rahmaniyah, Pendidikan Etika... ,119.
[22] Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq. Terj. Helmi Hidayat, Menuju kesempurnaan akhlak Islam ( Jakarta: Mizan, 1999), hlm 35-36.
[23] Sirojuddin Zar, Filsafat Islam : Filsuf dan Filsafatnya ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 133.
[24] Ikbnu Miskawaih, terj Helmi Hidayat, Menuju kesempurnaan...,43-44.
[25] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, terj Anas Mahyuddin ( Bandung Pustaka, 1983 ), hlm 39.
[26] Ibnu Miskawaih, Tahdzibul-..,18-36 Dan Ibnu Miskawaih terj Helmi Hidayat Menuju kesempurnaan., 44-53.
[27] Ibid ( Tahdib al-Akhlak wa Tathhir al-Araq), 46-50 & Ibid.. Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj Helmi Hidayat, 60-66.
[28] Ibid ( Tahdib al-Akhlak wa Tathhir al-Araq), 90-94 & Ibid.. Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj Helmi Hidayat, 89-93.
[29] Ibid ( Tahdib al-Akhlak wa Tathhir al-Araq), 14-17.
[30] Istighfatur Rohmaniyah, Pendidikan etika.. , 137-138.
[31] Ibid ( Tahdib al-Akhlak wa Tathhir al-Araq), 167-165 & Ibid.. Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj Helmi Hidayat, 149-155.
[32] Ibid ( Tadzhibul al-Akhlak wa Tathhiral-A’raq), 182
[33] Ibid  Tadzhibul..,186-188 & Ibid ( Menuju kesempurnaan Akhlak ) terj. Helmi Hidayat, 156-159.