Sunday 29 March 2015

Filsafat Prmikiran Ibnu Sab’in



A.    Sejarah Hidup

Ibnu Sab’in adalah Abd al-haq bin Ibrahim bin Muhammad bin Nashr bin Muhammad. Sang teosof kenamaan Andalus, yang telah dikenal di dunia Barat, Eropa, dengan jawaban-jawaban cerdas atas pertanyaan-pertanyaan seputar permasalahan filosofis yang telah diajukan oleh Frederic II, seorang raja Romawi. Ibnu Sab’in memiliki segudang jejuluk, di antaranya “Aby Muhammad”, di dunia Timur-Islam dikenal dengan “Qatb al-Dien”. Dia juga mendapatkan jejuluk yang telah disandarkan kepada nama negara kelahirannya, seperti “al-Andalusi”, dan disandarkan pada nama salah satu daerah yang ada di Andalus, seperti “al-mursiy”,  “Riqatiy”, “al-Isbiliy” dan “al-Qasthalani”. Akan tetapi jejuluk yang paling tenar dan banyak dipakai adalah “Ibnu Sab’in”.[1]
      Sudah barang tentu pasti ada anggapan yang terbersit di benak, Ibnu Sab’in adalah nama dan julukan yang cukup aneh dan sekaligus nyentrik. Secara pemaknaan literalisnya, Ibnu Sab’in adalah ‘Sang Anak Tujuh Puluh’. Namun hal ini adalah benar adanya jika kita menghindari dari anak dalam pemaknaan yang bersifat biologis. Mengapa dia dijuluki Ibnu Sab’in? Para ahli benganalisa, karena setiap menulis nama dengan menggunakan nama Abd al-Haq dan sambil ditulis sebuah lingkaran: O. Dan satu waktu namanya ditulis dengan nama “Ibn O” (Anak Lingkaran). Dan Firuz Abadi dalam al-Qamus al-Muhiyt mengatakan bahwa “Lingkaran” (=O) adalah sesuatu yang meliputi segala sesuatu seperti sebuah kawasan, yang menurut ilmu Huruf sama sebanding atau senilai dengan huruf ‘Ain yang senilai 70 (tujuh puluh). Jadi jika dia menulis namanya dengan “Ibnu O”=’Ain=Ibnu Sab’in (Anak Tujuh Puluh).[2] Dan dia juga disapa dengan Syekh al-Sab’iniyah, yang telah disandarkan pada nama tarekat yang didirikannya, yang diberinama oleh para pengikutnya dengan tarekat al-Sab’iniyyah.
      Dan para analis kesusahan menelisik lebih jauh siapa gerangan master atau guru bagi sang teosof kita, Ibnu Sab’in. Sebagian berpendapat ada tiga master yang dianggap sebagai guru Ibnu Sab’in, yaitu pertama, Ibn Daqqaq, yaitu Ibrahim bin al-Yusuf bin Muhammad bin al-Daqqaq al-Uwesy, yang terkenal disapa dengan Aby al-Ishaq atau Aby al-Mir’ah. Dia adalah seorang teolog yang cukup lama bermukim di Andalus, di mana pada waktu di Andalus, dia telah mengajar tentang teologi, tasawwuf, dan disiplin ilmu yang lainnya. Dia pindah ke Mursiya sampai wafatnya pada 611 H. (1214 M.—1215 M.), meninggalkan beberapa karya di antaranya, komentar atas Kitab al-Irsyad, Aby al-Ma’aly al-Juwaeni, komentar atas al-Asma’ al-Husna, komentar atas al-Mahasin al-Majalis, Aby al-‘Abbas Ahmad bin al-‘Aryf dan sejumlah karya yang lain. Kedua, Al-Buni, yaitu Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Ali Yusuf al-Qursy Muhyi al-Din. Dia adalah pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf, wafat pada 622 H. (1225 M.), di mana dia telah berhasil menulis karya dalam bidang yang digelutinya, yaitu Syamsul al-Ma’arif wa al-Lathaif al-‘Awarif dan karya yang lain dalam bidang yang sama. Dan ketiga, al-Harani, yaitu Abu al-Hasan bin Ali bin Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad al-Hurani, wafat pada 538 H., dia adalah seorang pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf dan dia termasuk gurunya al-Buny.   
      Kalau kita analisa lebih jeli adalah mustahil jika Ibnu Sab’in belajar secara langsung (talaqi) dengan ketiga guru yang telah di sebutkan di atas, karena melihat tahun kelahiran Ibn Sab’in pada 614 H., sementara Ibn al-Daqqaq wafat pada 611 H., al-Buni wafat pada 622 H. dan al-Hurani wafat pada 538 H.. Dan yang benar adalah bahwa Ibn Sab’in telah mempelajari semua karya ketiga master itu secara outodidak, belajar sendiri, dengan tanpa bertemu secara langsung dengan mereka, dan dia terpengaruh serta mengadopsi pemikiran-pemikirannya. Asumsi ini diperkuat oleh pernyataan salah satu murid Ibn Sab’in, komentator Risalah al-‘Ahd, yang menyatakan dengan jelas, bahwa gurunya (Ibnu Sab’in) telah menghasilkan atau menimba ilmu para pendahulu dengan murni mempelajari dari buku-buku karya mereka. Dan dikatakan bahwa “Ibnu Sab’in tidak tidur setiap malam demi mempelajari dan membolak-balikkan lembaran kertas yang berisi tiga puluh tulisan orang lain.”[7]
     
B. Karya-karyanya
Ibnu Sab’in adalah tergolong teosof yang cukup produktif. Dan tulisan-tulisannya syarat dengan simbolisme yang tidak mudah untuk ditembus, sebagian dari tulisannya hanya bisa difahami melalui disiplin ilmu nama-nama dan huruf. Di antara karyanya dalam bidang tasawuf falsafi yaitu, Badu al-‘Arif, Risalah al-Fath al-Musyrik, Jawab Shahib Shaqaliyyah, Risalah al-Ihathah, Kitab al-Alwah atau Khithabullah Bi Lisani Nurihi, al-Risalah al-Qausiyyah, Kitab al-Qisth, Risalah Li Ibn Sabin: Istami’ Li Ma Yuha wa Yustaqra, Risalah Ibn Sabin Awwaluha, Risalah Ibn Sabin Awwaluha, Rukrah ‘Irfah, Natijah al-Hikam, al-Risalah al-Usbi’iyyah, al-Risalah fi al-Hikmah, Kitab al-Buhat, al-Kitab al-Kabir, al-Jauhar, Kitab al-Kid, Risalah al-Tawajjuh, dan Diwanu Syi’ir.   
      Karya-karyanya yang membicarakan seputar moralitas tasawuf dan ritual-aplikatif, yaitu Risalah al-‘Ahd, al-Risalah al-Nuriyah, atau lebih tenar disebut Kitab al-Nasihah, al-Risalah al-Faqiriyyah, al-Risalah dan al-Ridwaniyyah. Ibnu Sab’in juga menulis tentang doktrin untuk murid-murid dan pengikutnya yang berisi tiga poin doktrin, yaitu Kitab al-Safar, Hizb al-Fathi wa al-Nur, Hizb al-Faraj wa al-Ihtikhlash, dan Da’wah Harf al-Qaf.
      Dan karya-karyanya yang berkaitan dengan bidang ilmu huruf dan nama-nama, yaitu Kitab al-Daraj, al-Durrah al-Mudzhiyah wa al-Khafiyyah wa al-Syamsiyyah, Lisan al-Falak al-Natiq ‘An Wajhi al-Haqaiq, Risalah Fi Asrar al-Kawakib wa al-Darraj wa al-Buruj wa Khawasiha, Syarkh Kitab Idris (AS.), dan Lamhah al-Huruf.
      Ada beberapa karya yang sebenarnya bukan tulisan Ibn Sab’in, akan tetapi sebagian kelompok menganggap karya Ibn Sab’in, yaitu Asrar al-Hikmah al-Masryqiyyah, al-Adwar, Kalamun Fi al-‘Irfan, Risalah al-Washaya wa al-‘Aqaid, dan Risalah Tartib al-Suluk.

C. Sikap Kritis Ibnu Sab’in Kepada Para Filosof Pendahulu
Ibnu Sab’in memiliki tradisi kepustakaan ilmiyah yang sangat luas dan bermacam-macam. Dia adalah teosof yang berhasil mempelajari secara kritis terhadap tradisi filsafat dari semua penjuru peradaban. Dia mempelajari aliran-aliran filsafat Yunani, filsafat Timur kuno seperti Hermesian, filsafat Persia dan India, aliran-aliran filsafat Islam bagian Timur seperti al-Farabi dan Ibn Sina, aliran-aliran filsafat Islam bagian Barat seperti Ibnu Bajah, Ibnu Thufeil dan Ibnu Rusyd, mempelajari secara mendalam Rasa’il Ihwan al-Shafa, mengetahui secara detail aliran teologi khususnya al-Asy’ariyah, dan tidak ketinggalan dimensi tasawuf juga dia kuasai dengan baik.
      Dia juga dianggap terpengaruh oleh tarikat al-Syaudziyyah, sebuah tarikat yang dinisbahkan pada al-Syawdzy al-Isybiliy, guru Ibn Daqqaq, yang termasuk tarikat yang memodifikasi antara unsur filsafat dan tasawuf. Ibn sab’in dianggap perpanjangan dari aliran Ibn Masarah (269-319 H.), seorang sufi Andalus yang sangat berpengaruh, akan tetapi Ibnu Sab’in menghampirinya dengan kritis. Ibnu Sab’in mengkritik filsafat Ibnu Arabi sebagai filsafat pemula.
      Ibnu Sab’in meninggalkan tarikat sufi yang dinamai dengan al-Sab’iniyyah, yang, bagi tradisi sufistik, dianggap sebagai tarikat yang nyentrik dan sekaligus nyeleneh. Para pengikutnya, memiliki silsilah maha guru-guru tarikat itu lain dari tarikat manapun. Silsilah maha guru-guru tarikat itu yaitu Hermes, Socrates, Plato, Aristoteles, Iskandar Agung, al-Hallaj, al-Nifari, al-Hibaysy, Qulayb al-Ban, al-Syudy, al-Suhrawardi al-maqtul (sang martir), Ibnu al-Faridl, Ibnu Qusay, Ibnu Masarah, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Thufeil, Aby Madyan (al-Talamsany), Ibnu Arabi, al-Hurani, ‘Adi bin Musafir, dan Ibnu Sab’in. Tarikat ini adalah tarikat eklektis, yang dibangun dari nilai-nilai positif dan asumsi-asumsi ilmiyah yang ada pada konsep-konsep Yunani, filsafat Islam bagian Barat dan filsafat Islam bagian Timur.[23]
      Meskipun Ibnu Sab’in mengadopsi filsafat para pendahulunya, dia tidak kehilangan daya kritisnya. Dia mengkritisi Ibnu Rusyd sebagai intelektual dan filsuf yang tidak orisinil, taklid buta atas filsafat Aristoteles, dan sejatinya dia hanya sedikit ilmu yang dimilikinya.[24] Akan tetapi menurut Abdurahman Badawi bahwa yang dimaksud dengan perkataan Ibnu Sab’in bahwa hanya sedikit ilmu yang miliki Ibnu Rusyd, bahwa Ibnu Rusyd miskin dengan ilmu hakikat dan penyingkapan sufistik.[25] Sementara ilmu yang lainnya, Ibnu Rusyd sangat luas dan tidak bisa diragukan lagi. 
      Dia mengkritik al-Farabi sebagai filosof yang dalam beberapa pernyataan filosofisnya kontradiktiv dan kacau. Dia menilai bahwa pendapat-pendapat al-Farabi sering bertentangan antara pendapat yang ada pada salah satu karyanya dengan karya yang lain, seperti dalam permasalahan kekalnya jiwa. Akan tetapi dia sangat respek terhadap al-Farabi. Dia menilai al-Farabi adalah filsuf Islam yang paling faham ilmu para pendahulu, tidak ada yang lainnya.[26]
      Dia telah mengkritik pedas Ibnu Sina, yang dia katakan sebagai, “palsu, sofis, banyak dentaman, sedikit faidah”. Dan dia juga mengkeritik dengan tidak kalah pedasnya pada al-Ghazali bahwa Ghazali adalah “lidah tanpa penjelasan, suara tanpa ungkapan, seorang yang paradok, kebingungan yang mengiris hati. Satu saat seorang sufi, saat yang lain sebagai seorang filosof, ketiga, seorang Asy’ariyyah, kelima, seorang ahli fiqh. Dan pencapaiannya terhadap ilmu para pendahulu sangat lemah, lebih lemah daripada jahitan jejaring laba-laba dan memasuki dunia tasawuf pun dalam keadaan darurat atau ‘genting’ sehingga tidak bisa dicapai.” Namun, Ibnu Sab’in mengapresiasi al-Ghazali sebagai ulama yang memiliki banyak pengikut.[27]
      Dan masih banyak lagi keritik pedas yang dialamatkan kepada para filsuf Islam dan Yunani, lebih-lebih keritik yang tidak kenal ampun dialamatkan juga kepada musuh bebuyutannya, yaitu ulama fiqh. Kritik bisa muncul setelah betul-betul menguasai dan memahami sesuatu yang dia kritik, untuk kemudia dia berusaha mengusung nalar dan filsafat baru.

  Wihdatul al-Mutlaqah
Allah faqat!” (Allah saja), begitulah ungkapan yang berulang kali diucapkan Ibn Sab’in di setiap lembaran yang ada pada salah satu karya, al-Alwah, dan ini adalah premis mayor dalam pandangannnya yang berkaitan dengan wahdah al-mutlaq. Ibn Sab’in adalah pendiri trend wahdah al-Mutlaq dalam menjelaskan entitas wujud. Landasar berfikirnya cukup simpel, yaitu bahwa wujud adalah satu, hanya wujud Allah saja, sementara wujud semua maujud adalah wujud dari entitas wujud yang satu, tidak ada tambahan apa-apa, dan wujud di sini pada hakikatnya adalah premis yang satu dan yang tetap.
      Wujud Allah adalah sumber bagi entitas yang ada dan entitas yang akan ada, wujud materi yang bisa dilihat dikembalikan pada wujud mutlak yang bersifat ruhy (immateri/spiritual). Dari sini, Ibn Sab’in memaknai wujud adalah wujud yang bersifat immateri, bukan materi.
      Wujud, menurut Ibnu Sab’in, adalah esa, dia adalah satu premis yang di dalamnya mencakup semua sesuatu yang ada, al-haq (sang kebenaran) yang bersama semua sesuatu, di dalam pengetahuan-Nya atas segala sesuatu ada di masa azali dan kekal, ilmu-Nya adalah esensi-Nya... dan dia berkata, “Segala sesuatu yang bisa dicapai oleh akal dan panca indera adalah wujud dan gradasi. Akal adalah gradasi, panca indera adalah gradasi, sementara gradasi adalah musnah dan wujud adalah tetap. Dan yang tetap adalah haq (benar), dan yang musnah adalah illusi dan menipu.[28]
        Lebih jelasnya agar kita tidak kebingungan dan terjebak kepada kerancuan, terlebih dahulu kita harus memetakan atau menjelaskan dengan rlatif tepat seputar wujud, ketiadaan (‘adam), mendenahkan dikotomisasi maujud (entitas yang ada) dan entitas yang tidak ada (ma’dum), dan peniadaan (i’dam), dalam perspektif Ibnu Sab’in, yang tentunya memilik khas paradigma dan pola pemikirannya sendiri yang berbeda dengan para filsuf  Islam yang lain.
      Wujud atau bisa dikatakan dengan “gradasi wujud”, menurut Ibnu Sab’in, terbagi menjadi wujud mutlaq, muqayyad dan muqaddar, ketiga wujud ini berada pada tataran kesusastraan atau wacana. Wujud mutlaq adalah Allah, muqayyad adalah Aku dan Kamu, dan muqaddar adalah segala sesuatu yang independen. Akan tetapi, wujud dalam makna hakikinya adalah hanya sang esa, sehingga jika wujud mutlak menyebut dirinya maka niscaya menyebut segala sesuatu, jika muqayyad menyebut dirinya maka dia tidak menyebut apa-apa, karena dia bukanlah sang penyebut dan yang disebut, dan begitu juga dengan muqaddar.[29]
      Esensi ketiadaan (‘adam) adalah segala sesuatu (baca. makhluk) yang bukan entitas wujud mutlak yang Esa dan wajibul al-wujud (wajib ada). Entitas itu, di satu sisi bisa dikatakan sebagai ketiadaan, dan di sisi lain sebagai wujud. Karena itu, maka tidak ada maujud—secara mutlak—dan tidak ada yang esa—pada hakikatnya—kecuali Allah. Dan Ibnu Sab’in membagi ketiadaan ke dalam tiga macam ketiadaan: pertama, tidak ada jenis entitas yang dalam natural atau tabiatnya tidak ditemukan. Seperti tidak ada tumbuh-tumbuhan yang memiliki pancaindra (al-hissi). Kedua, tidak ada entitas yang sejatinya, dalam tabiat atau tipenya, ditemukan atau wujud. Seperti manusia buta. Entitas obyek yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia yang buta, baginya bahwa entitas itu tidak ada, tapi sejatinya ada. Ketiga, tidak ada entitas yang ditemukan dalan kategori tipenya, tidak natural atau tabiatnya. Seperti kelelawar. Ia ada satu waktu yang tidak bisa dipastikan, tapi bisa dilihat kategori tipe hewaninya.[30]   
      Tidak ada (‘adam) anonim/lawan katanya adalah wujud. Karena itu maujud adalah anonimnya kata ma’dum (entitas yang tidak ada). Segala sesuatu yang dikatakan sebagai sesuatu yang tidak ada, maka ia adalah sesuatu yang tidak wujud—meski untuk mengkategorisasikan maujud dan ma’dum adalah hal yang relatif, kecuali batasan yang bersifat universal. Ibnu Sab’in berkata,

Al-ma’dumu ma laysa bi syaiin, wa ma laysa bi syaiin fa huwa ma’dumun, wa ma huwa syaiun fa laysa bi ma’dumin. Al-ma’dumu ma laysa bi maujudin, li anna kulla ma laysa bi maujudin fa huwa ma’dumun, wa ma huwa maujudun laysa bi ma’dumin”.[31] 

    Jika kita menelaah dengan cermat perkataan Ibnu Sab’in yang saya kutip itu, maka kita menjadi jelas bahwa “entitas yang tidak ada adalah entitas yang bukan apa-apa (in-eksistensi), dan entitas yang bukan apa-apa (in-eksistensi) adalah entitas yang tidak ada, serta entitas yang bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang eksis maka entitas itu tidak bisa dikategorikan sebagai entitas yang tidak ada. Entitas yang tidak ada adalah entitas yang buka maujud, karena segala sesuatu yang buka maujud adalah ma’dum (entitas yang tidak ada), dan segala sesuatu yang maujud adalah bukan entitas yang tidak ada”. Dengan kata lain segala sesuatu yang tidak ada dimasukkan ke dalam kategori in-eksistensi, sementara segala sesuatu yang ada masuk pada kategori eksistensi.  
     Karena itu tidak tepat jika kita mengartikan atau memahami kata al-ghaib sebagai entitas yang tidak ada, tapi yang tepat diartikan sebagai entitas yang tersembunyi atau tidak hadir di depan mata. Kata al-ghaib adalah anonim kata al-hadir (hadir dan bisa diraba dengan pancaindra). Tidak tepat jika kita mengkategorikan segala sesuatu yang tidak wujud adalah al-ghaib, tapi yang tepat adalah al-ma’dum (sesuatu yang tidak ada/tidak wujud). Semisal dzat Allah, malaikat-malaikat, dan segala macam makhluk-makhluk yang telah diciptakan yang, tidak bisa ditembus atau diraba oleh pancaindra adalah termasuk pada kategori al-ghaib (entitas-entitas yang tersembunyi), tidak tepat jika dikategorikan sebagai al-ma’dum (entitas yang tidak wujud/tidak ada). Lantaran hakikatnya entitas-entitas itu ada, tapi sayang pancaindra kita tidak bisa merabanya. Dan kita tidak bisa mengkategorisasikannya sebagai entitas-entitas yang in-eksistensi, karena sejatinya entitas-entitas tersebut adalah eksistensi yang bersifat metafisika dan meta-historis.
     Sementara entitas yang tidak wujud (ma’dum) menurut Ibnu Sab’in terbagi menjadi lima macam ma’dum: pertama, entitas yang tidak ada dan mustahil diwujudkan. Seperti sekutu bagi Allah, sabda dan segenap karakter-karakter-Nya. Hal ini adalah ma’dum yang keberadaannya tidak dibenarkan. Demikian juga sepertihalnya mengumpulkan dua sesuatu yang berlawanan di dalam satu tempat atau meletakkan entitas yang satu berada pada dua tempat dalam satu waktu sekaligus. Kedua, entitas yang tidak ada dan bisa diwujudkan, serta direalisasikan. Seperti mewujudkan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, semenjak awal penciptaannya sampai detik ini, dan bisa direalisasikan tersur dalam menciptakan segala sesuatu yang belum tercipta. Ketiga, entitas yang tidak ada, bisa diwujudkan, tapi tidak ditemuka atau belum terwujud. Seperti berkaitan dengan kemampuan Allah untuk menciptakan alam semesta yang kedua atau menciptakan tiga alam semesta, dan seterusnya. Hal ini dianggap sah terwujud, tapi tidak ada. Keempat, ma’dum yang wujudnya dianggap sah atau bisa diwujudkan, tapi tidak ada. Seperti sikap orang-orang penduduk neraka yang meminta dikembalikan ke alam dunia. Dikatakan bagi Allah mampu-mampu saja atau bisa-bisa saja diwujudkan keinginan mereka, tetapi tidak diwujudkan, sehingga dikatakan sebagai ma’dum. Dan kelima, ma’dum yang bisa diwujudkan, dan belum diwujudkan, serta pasti akan diwujudkan. Seperti hari Kiamat, membangkitkan dari kematian (hasyr atau nasyr), perhitungan amal (hisab), imbalan pahala, balasan dosa, siksa, dan sejenisnya.[32]
      Namun peniadaan (i’dam), menurut Ibnu Sab’in, adalah “laysa ma’nan” (tidak ada artinya)—bagi Allah. Karena itu, peniadaan tidak pantas dikaitkan dengan Sang Pelaku Sejati (al-Fa’il). Peniadaan adalah sebuah sikap sang pelaku tidak berbuat apa-apa. Hal ini adalah nihilis, yang tidak mengandung eksistensi makna. Karena sesungguhnya peniadaan jika dikatakan sebagai makna, maka eksistensinya harus kekal bersama Allah selama-lamanya, di jaman azali, dan hal ini adalah mustahil. Dan jika wujud peniadaan mustahil dikategorikan sebagai sesuatu yang tidak kekal, abadi, maka mustahil wujudnya dianggap sebagai eksistensi yang kekal. Tidak dibenarkan seseorang yang berkata: bahwa peniadaan terkait dengan Sang Pelaku (al-fa’il); karena sesuatu yang bukan makna adalah sesuatu yang diciptakan atau sesuatu yang baru (muhdats), yang tidak bisa dikaitkan atau disematkan pada Sang Pelaku.[33] Jelas bahwa Sang Pelaku yang dikehendaki oleh Ibnu Sab’in adalah Sang Pelaku sesungguhnya dan hakiki, yaitu Allah, bukan yang lainnya.     
      Ibnu Sab’ien menjelaskan dalam salah satu tulisan pendeknya (risalah) yang berjudul “al-Alwah”, menafsirkan tipologi maujud, dengan menggunakan metode aliran para filsuf paripatetik, bahwa “maujud adakalanya wajib ada (wajibul al-wujud), yaitu universal dan identitas (huwiyyah). Adakalanya mungkin ada (mumkinul al-wujud), yaitu partikular dan esensi (mahiyah). Maka rububiyyah adalah identitas universal. Sementara ‘ubudiyyah adalah esensialisme partikular. Tidak ada hakikat yang bisa disematkan kepada identitas (huwiyyah), sejatinya, kecuali hakikat itu dinamakan universalitas. Tidak ada hakikat yang bisa disematkan kepada esensi, sejatinya, kecuali hakikat itu dinamakan dengan partikular. Maka menyatunya universalitas dengan partikularitas dan berkelindan keduanya dengan entitas asal (pusat) adalah wujud. Dan jika keduanya terpisah dan bercerai-berai serta bersama dengan cabang (far’), maka ia yang bisa disebut dengan pluralitas dan perbedaan (homogen). Orang-orang kebanyakan dan orang-orang bodoh akan dikuasai oleh entitas yang insidental atau baru, yaitu kemajemukan dan kebiasan-kebiasaan. Orang-orang khusus, yang dikuasai oleh entitas asal (pusat/sumber), ia adalah kesatuan wujud (wihdatul al-wujud), maka orang itu bersama entitas asali, yang tidak bermetamorfosa, tidak bertransformasi dan tetap-kekal atas ilmu dan investigasinya (tahqiq). Dan barang siapa yang selalu bersama dengan entitas cabang (far’), maka ia akan selalu bermetamormosa, bertransformasi, dan sejumlah sesuatu yang majemuk akan menyelimutinya, sehingga ia bisa lupa, lalai, dan bodoh”.[34]
      Lebih lanjut, penyatuan dan perpisahan dianalogikan antara magnet dan besi. Pencakupan bagaikan magnet, dan segala yang maujud bagaikan besi. Sementara entitas penyatupaduan atau perekat antara keduanya (magnet dan segala maujud) adalah identitas wujud (huwiyyah), dan entitas yang memisahkan keduanya adalah illusi wujud. Konsepsi filosofis sedemikian rupa ini dinamakan dengan al-ihathah (pencakupan). Syahdan, Ibnu Sab’ien berkata,
    
Aku adalah bejana atas bejana-benaja, yang lain (aniyatul al-aniyât), identitas atas identitas-identitas, yang lain (huwiyatul al-huwiyyât), dan esensi atas esensi-esensi, yang lain (al-mahiyyatul al-mahiyyât). Semua itu, sedikit atau banyak, adalah satu makna. Dan makna di sini yaitu, Dia adalah aku, dan barang siapa yang berkata bersamaku, aku akan sekuat tenaga bersamanya dalam keasyik-masyukan yang masygul ....[...].. Maka Dia adalah aku. Dan aku adalah Dia. Dan aku dan Dia sejatinya adalah satu makna, yaitu aku”.[35]      
    
     Gradasi wujud yang berbeda-beda, menurut Ibnu Sab’in adalah materi-materi bagi wujud, dan materi yang tidak kekal dalam investigasi adalah menipu dan illusi selama-lamanya. “Kullu syaiin halikun” adalah gradasi illusi, dan “Illa wajhah” adalah kemulyaan dan wujud hakiki.
      Dan dalam wujud, Ibnu Sab’in mempresepsikan ada perbedaan dalam tataran ungkapan antara huwiyah (identitas) dan mahiyah (esensi atau substansi). Huwiyah (identitas) adalah al-kulli dan mahiyah (esensi) adalah al-juziy. Mahiyah adalah wajib ada (al-wajib al-wujud) dan huwiyah adalah mungkin ada (mumkin al-wujud). Huwiyah, menurutnya, adalah rububiyyah (ketuhanan) dan mahiyyah adalah ubudiyyah. Dan di dalam kebenaran, tidak ada huwiyah tanpa mahiyyah seperti halnya tidak ada mahiyyah tanpa huwiyyah, keduanya menyatu laksana menyatunya kulli dengan juziy, cabang dengan asal, dan tidak ada perbedaan sama sekali keduanya dalam tahqiq (investigasi), bahkan di sini adanya penyatuan mutlak, sementara adanya banyak atau pluralitas merupakan illusi orang-bodoh dan awam.[36]  
      Allah adalah wujud mutlak yang telah meliputi wujud muqayyad, tidak ada perbedaan antara keduanya wujut itu kecuali dalam tataran illusi, karena entitas keduanya adalah satu. Maka kamu melihat wujud mutlak di dalam wujud muqayyad atau melihat sang maha luas di dalam kesempitan, dan satu di antara keduanya adalah wujud mutlak. Dan wujud yang berkelindan adalah satu. Sehingga Ibnu Sab’in telah mengingkari adanya wujud muqayyad, yang ada hanya satu wujud yang mengumpulkan semua sesuatu, dan dia adalah Allah, di mana semua entitas sesuatu adalah entitas wujud yang mutlak, maka tidak ada dualisme secara mutlak.[37]
      Jelaslah dalam pandangan Ibnu Sab’in hanya ada satu entitas wujud, dan tidak ada perbedaan antara wujud muqayyad dan wujud mutlak. Dari sini, hampir mirip dengan teosof Islam lainnya, seperti kelompok yang mengusung wahdah al-wujud seperti Ibnu Arabi, akan tetapi sejatinya Ibnu Sab’in lebih ekstrim di atas Ibnu Arabi, dalam menetapkan satu entitas wujud dan menafikan dualisme.[38]  
      Ibnu Sab’in berpendapat bahwa, bejana Allah, maksudnya, wujud Allah adalah “awal wujud, akhir identitas, penampakan kosmos dan esensi yang kekal.” Dia berkata, “tidak ada yang hidup pada hakikatnya kecuali Tuhan”. Dan “tidak ada yang esa pada hakikatnya kecuali Tuhan, kecuali al-haq (sang kebenaran), kecuali al-kull (sang universal), kecuali al-huwa huwa (Dia atas Dia), kecuali sang yang disandari, kecuali al-jami’ (sang penghimpun/kolektor), kecuali sang wujud, kecual sang asal, kecuali sang esa”. Perkataan ini dikomentari dan dijelaskan dengan rinci oleh Ibnu Sab’in sendiri, di mana yang dikehendaki dengan itu adalah proses transmisi sang salik (pelaku spiritual) agar sampai ke level spiritual puncak, yaitu wahdatu al-mutlaq.[39]  
      Awwal dan akhir, eksoteris dan esoteris, azali dan abadi, dan dikotomisasi yang lainnya tidak ada perbedaan sama sekali, dalam pandangan Ibnu Sab’in, ditinjau dari segi wujud yang hakiki. Allah adalah kolektor bagi segala sesuatu di dalam diri-Nya, dan dzat yang meliputi segala wujud, wujud eksoteris dan esoteris. Dan segala maujud yang mewujud tidak dari ketiadaan, atau dengan kata lain penciptaan tidak dari ketiadaan (creatin ex nibilo), melainkan melalui proses emanasi dari wujud yang esa. Karena dia tidak mempercayai ketiadaan.[40]
      Meliputi segala sesuatu yang bertentangan satu dengan yang lainnya dalam satu entitas, paradok, yang diistilahkan Ibnu Sab’in adalah al-ihathah (peliputan), di mana yang dimaksud adalah semua wujud dengan karakter yang satu. Dalam peliputan, terjadi peliputan (pergumulan) antara yang genap dan yang ganjil, antara kotoran (tinja) dan kembang mawar, dan secara global bisa dikatakan, Sabtu adalah Ahad... yang telah berlalu berjalan dari sebuah masa adalah yang hadir, awwal dalam entitas adalah akhir, eksoteris dalam jiwa adalah esoteris, mukmin dalam jiwa adalah kafir dan seorang yang miskin adalah kaya. Penyatuan semua yang paradoksal dalam sebuah peliputan ini hampir sama dengan teori yang diusung Hegel dalam masalah “imajinasi”, yang di dalamnya terdapat dialektika yang hidup dan dinamis. Akan tetapi jika Ibn Sab’in dalam tataran alam spiritual (ruhaniyyah), namun Hegel dalam tataran alam rasionalitas. Dan perkataan Ibnu Sab’in yang berupa, “yang berlalu berjalan dari sebuah masa adalah yang hadir”, adalah juga pemikiran tentang kehadiran abadi (peternal present) yang diusung oleh L. Lavelle, seorang filsosuf Perancis modern, yang terkenal konsen membidik filsafat spiritual. [41]
      Dan yang membedakan antara Ibnu Sab’in dan para filosof seperti Hegel, jika Hegel tidak terfokus pada kawasan ketuhanan, sementara Ibnu Sab’in menggarap hanya pada kawasan ketuhanan saja. Tujuan Ibnu Sab’in adalah tauhid mutlak, artinya wahdah al-mutlaq dalam wujud. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu selain Allah, bahkan segala sesuatu adalah Allah.[42]
      Wahdah al-mutlaqah yang diusung Ibnu Sab’in menentang semua sufi yang berbicara tentang tauhid. Pandangan mereka kaum sufi yang telah membedakan antara tauhid dzat Tuhan, tauhid sifat-sifat Tuhan dan tauhid al-af’al (pekerjaan Tuhan), justru jika diletakkan dalam pandangan Ibnu Sab’in, semuanya itu adalah illusi belaka. Seperti yang telah dikatakannya, “khithabu Allah bi lisani nurihi” (wawasan tentang Allah dengan cahaya lisan-Nya).[43]
      Merambah pada dimensi filosofis yang lain, Ibnu Sab’in berpendapat bahwa jiwa dan akal, sebuah misal, tidak ada wujud kedua entitasnya, akan tetapi kedua wujud itu dari wujud yang satu. Keduanya tidak keluar dari kerangka wujud yang satu. Moralitas pun, menurut Ibnu Sab’in, berwarna-warni sesuai dengan warna-warni wahdah al-mutlaqah. Kebaikan, kenikmatan dan kebahagiyaan masuk dalam investigasi dengan yang esa. Kebaikan dan keburukan tidak ada perbedaan sama sekali, jika keduanya ditinjau dari segi hakikat wujud, karena wujud adalah entitas yang esa, dia adalah kebaikan mutlak. Jadi penilaian hitam-putih, benar-salah, dan baik-buruk menjadi absurd. Dan Ibnu Sab’in mengganti “La Ilaha Illa Allah” (tidak ada Tuhan selain Allah) dengan “La Maujuda Illa Allah” (tidak ada maujud selain Allah).[44]     
      Dalam mengusung wahdah al-mutlaqah, bukan sebatas dengan menggunakan pemikiran rasio dan intuisi an sich, akan tetapi diperkuat dengan argumentasi ayat-ayat al-Quran sebagai pijakannya, seperti firman Allah “Huwa al-Awwalu wa al-Akhiru wa al-Dzhahiru wa al-Bathinu” (Dia (Allah) adalah awwal dan akhir, dzhahir dan bathin), (al-Hadyd: 3). Dan “Kullu syaiin halikun illah wajhah” (Segala sesuatu akan rusak (tidak kekal) kecuali esensi-Nya), (al-Qhashas: 88), serta beberapa hadits.
 
 
Al-Muhaqqiq (periset): Konsepsi Sufistik Manusia Sempurna
Ibnu Sab’in menjelaskan, di dalam wahdah al-mutlaqah, muhaqqiq (periset), satu trend yang relativ baru dalam tradisi tasawuf-falsafi Islam. Meski pun, pada esensinya, trend ini mirip dengan konsep al-haqiqah al-muhammadiyyah, al-qutb seperti yang digagas Ibnu Arabi dan Ibnu al-Faridl, dan al-insan al-kamil (manusia sempurna) versi Abdul Karim al-Jili.
      Muhaqqiq adalah individu manusia sempurna. Dia adalah seorang yang terlaksana dengan wujud mutlak yang esa, seorang yang mencakup segala kesempurnaan dari seorang ahli fiqh, teolog, semisal al-Asy’ari, filosof dan sufi, dan ditambah lagi dengan pengetahuan gnostik (‘irfan) yang spesifik, yaitu ilmu tahqiq (investigasi), yang merupakan satu pintu menuju Nabi. Dia adalah pengatur alam semesta, di mana dia, dari segi hakikat yang bersifat immateri (ruhiyyah), telah menyatu dengan Nabi. Dan seperti yang dikatakan salah satu murid Ibnu Sab’in, komentator Risalah al-‘Ahd, yang mengatakan, “dan untuk sampai kepada Allah tidak akan bisa kecuali dengan melalui Nabi, dan Nabi tidak diketahui kecuali dengan melalui sang pewaris, di mana sang pewaris adalah muhaqqiq. Maka orang-orang rasional akan mencari dan membutuhkan dia.[45]
      Pandangan Ibnu Sab’in dan para pengikutnya bahwa Ibn Sab’in lah yang layak dan berhak diklaim sebagai sang muhaqqiq itu, untuk jamannya. Sementara level kesempurnaan yang dikehendaki oleh Ibnu Sab’ien sendiri, adalah seorang yang dikaruniai keutamaan dan kesempurnaan oleh Tuhan atas makhluk-makhluk yang lain, yaitu Nabi Muhammad Saw. dia berkata: “di antara sesuatu yang telah kita ketahui bersama bahwa al-muhaqiq (periset) yang agung adalah Sang Nabi pemilik sunnatullah, yang tidak bisa tergantikan.[46] Dan sebagian orang yang menuduh bahwa Ibnu Sab’in telah melecehkan Nabi—seperti yang telah saya uraikan di atas—adalah sebuah fitnah atau “isapan jempol” belaka dan tanpa bukti.
  Keelokan ragawi dan spiritual Nabi adalah cahaya terang yang belum pernah mata manusia melihatnya, irama not-not langgam yang membentuk nyanyian mistik yang belum pernah telinga manusia manapun mendengarnya, dan laksana cahaya cinta yang menembus dan menggerayangi hati dan perasaan, untuk kemudian digerakkan dengan gerakkan yang menggetarkan dan mengguncang-guncang hati dan pedalaman manusia, yang siapa pun belum pernah merasakan kepuasan secara total semacam itu. Kita tahu bahwa mata, telinga dan hati adalah motor penggerak seluruh organ tubuh manusia, jika salah satu dari ketiga organ itu disentuh dan merasakan, langsung peka merespon dan menyalurkan atau menebarkan pengaruh kepada organ-organ tubuh yang lain. Karena itu, sangat logis jika Ibnu Sab’in hanya menyebut ketiga organ tubuh saja. Lantaran organ-organ tubuh yang lain hanya baru bisa bergerak dan berbuat setelah mendapatkan komando dari salah satu dari mata, telinga, dan hati.
      Lalu bukan berarti bahwa level al-muhaqqiq adalah level dominasi Nabi Muhammad an sic, tapi siapa pun mendapatkan kesempatan yang sama, alias bisa mendaki sampai pada level al-muhaqqiq—meski pun tidak selevel Nabi Muhammad. Karena itu, seperti yang dikatakan Ibnu Sab’in bahwa al-muhaqqiq (periset) tidak bisa sampai kepada wahdah al-mutlaqah kecuali dengan melalui perjalanan suluk (lelaku spiritual) yang panjang, yang diistilahkan oleh Ibnu Sab’in dengan safar (sebuah perjalanan). Dan setelah melalui perjalanan itu, kondisi dan keadaan dia akan lebih baik dan lebih tinggi daripada seorang yang dianggap filsuf yang menggunakan akal secara total, karena sang periset tidak merasa puas kecuali dengan wahdah al-mutlaqah. Sejatinya wahdah al-mutlaqah sudah diketahi di dalam jiwa sebelum tashawwur (konsepsi atau ide-imajinatif) dan tashdyq (pembuktian atau legalitasi). Wahdah al-mutlaqah adalah sesuatu yang fitrah (primordial) yang ada di dalam jiwa, yang tidak ada jalan agar sampai kepadanya kecuali dengan intuisi, tidak dengan akal.[49]
      Tahqiq (riset) yang dibicarakan Ibnu Sab’in adalah salah satu bentuk dari gnostik-intuitif, yang bisa dikatakan sebagai kontribusi kreatif dalam memperkaya tradisi teosofi Islam.
 
Mantik al-Muhaqqiq: Logika-Intuitif
    Para sufi (teosof) kebanyakan tidak menggunakan logika formal Aristotelian, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para teolog (mutakallimin) dan para filsuf Islam, yang menggunakan jalan (metode) teorotis. Sementaram para teosof tidak menggunakan metode teoritikal, melainkan dengan menggunakan pendekatan metode intuisi dan kasyf (penyingkapan). Sebagian teosof mengkritik pedas mantik (logika) Aristotelian, seperti yang telah dilakukan oleh Syuhrawardi, sang teosof illuminasi dan Ibnu Sab’in.
      Tidak berhenti pada sikap kritis yang membabi-buta dan serampangan. Tapi justru dengan kritikan yang produktif, dan bisa menawarkan logika tanding sebagai ganti atas logika Aristotelian yang telah dihancurkannya. Syuhrawadi mengkonstruksi ‘ilmu al-hudluri (ilmu dengan kehadiran)[50] dan Ibnu Sab’in mengkonstruksi mantik al-muhaqqiq (logika periset), sebagai logika tanding Aristotelian, yang—bagi mereka—paling layak untuk digunakan dalam meraih kebenaran yang hakiki.      
      Ibnu Sab’in menghancurkan mantik Aristoteles, dengan berusaha sungguh-sungguh meletakkan dasar-dasar mantik yang baru yang bersifat illuminatif. Mantik baru yang diusung oleh Ibnu Sab’in ini bisa dinamakan dengan mantik periset (al-muhaqqiq). Mantik yang tidak berpijak pada penalaran rasio, akan tetapi berpijak pada nilai-nilai ketuhanan, yang dengan mantik ini manusia bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat dan bisa mengetahui sesuatu yang tidak bisa diketahui. Karena itu, ini adalah mantik intuitif. Dan kesimpulan penting yang dicapai Ibnu Sab’in dalam mantiknya adalah bahwa hakikat-hakikat mantik adalah bersifat primordial (fitrah) yang bersemayam dalam entitas manusia, sementara kalimat-kalimat mantiki yang ada enam, yaitu jinis, elemen (nau’), fashl, khashah, ‘irdl, dan sya’khs, yang telah mengandaikan pluralitas wujud adalah semata-mata adalah illusi. Yang ditekankan pada mantik Aristoteles, satu kelemahan yang fatal adalah adanya pluralitas wujud, yang pada hakikatnya bersifat illusi, di mana sejatinya hakikat wujud adalah satu.[51]      
     Dalam mengusung logika illuminatif-intuitif, terlebih dahulu ia mengkritik dan menghancurkan burhan (argumentasi/dalil) mantiq al-sury (logika formal Aristotelian), yang pembahasannya berpusat pada: al-hudud (definisi-definisi/batasan), al-alfadl al-sittah (enam kalimat penentu rancang bangun logika), sepuluh kategori-kategori logika dan konsekwensi-konsekwensinya, formasi makna dalam satu permasalahan serta analogi. Dikatakan bahwa penghancurannya cukup dengan menghancurkan dalil-dalil (burhan) di mana semua logika formal tersebut dibangun di atasnya. Dan yang paling mencolok dari kelemahan yang mendasar adalah mendatangkan—untuk mempertegas suatu tujuan—sebuah presepsi-presepsi para filsuf yang saling kontradiktif dalam satu persoalan, kemudian mentransformasikan ketetapan logika, dengan melalui hukum-hukum logikanya itu, pada kubang kesalahan.
     Ibnu Sab’in berpendapat bahwa segala sesuatu yang dikatakan di dalam “al-hudul” (definisi-definisi) adalah sesuatu yang salah, karena “mempertegas definisi adalah termasuk persoalan-persoalan yang bersifat illutif (baca. tidak jelas). Lantaran sejatinya gambaran definisi-definisi dan dalil-dalil demonstratif (al-barahin), dalam entitas keadaan dan kondisinya, adalah kekal-abadi dan tidak berubah, meskipun berubah dalam penampakannya”.[52]
     Diperkuat lagi dengan argumen bahwa sejatinya al-‘alim (dzat yang mengetahui) tidak butuh definisi dalam entitas dirinya. Justru ia butuk terhadap definisi untuk menjelaskan pengetahuan-pengetahuan dirinya kepada pihak lain. Dan pada akhirnya meskipun kebenaran-kebenaran sejati adanya di dalam entitas dzat Yang Maha Tahu.  Dan Ibnu Sab’ien berkata bahwa “wujud mutlak dan abadi adalah entitas yang esensialis dan entitas permulaan—tidak ada yang mendahului. Dan kita tahu bahwa definisi diuraikan dengan tiga formasi: wujud, karakteristik entitas, dan uraian yang bersifat tematis yang dimiliki entitas itu. Ketiga formasi tersebut tidak diperhitungkan lantaran pada hakikatnya tidak ada yang kekal di dalam definisi kecuali wujud murni (baca. wujud sejati)”.[53]
   Ibnu Sab’in menelisik al-alfadl al-sittah (enam kalimat), yaitu jenis, al-nau’ (tipe), al-fashl (pembatas atau pembeda), al-khassah (kekhususan atau spesialisasi), al-‘irdl, al-syakhsh (individualitas), sebagai penentu rancang bangun logika Aristoteles, yang diistilakan oleh Aristoteles sendiri dengan “Isagoji”, ketika Aristoteles mengajarkan filsafat kepada muridnya, yaitu Iskandar, dengan berkata: “pelajarilah isagoji dengan baik”—yang isinya enam kalimat tersebut. Di sini saya tidak akan mengupas satu per satu dari keenam kalimat isagoji tersebut secara definitif. Melainkan saya hanya akan memaparkan pandangan dan kritikan Ibnu Sab’in terhadap isagoji tersebut. Dengan mempertimbangkan efesiensi tulisan.
  Ibnu Sab’in mengkritik tajam—sudah barang tentu dengan logika al-tahqiq-nya—atas pemikiran jenis dan al-nau’ (tipe), dan berkata bahwa jika kita mantap dengan Entitas yang Esa, maka kita sudah pasti lepas dari illusi jenis dan al-nau’. Wujud adalah satu atau esa, yang di dalamnya tidak ada keterpisahan antara jenis dan al-nau’. Dan periset (muhaqqiq) selalu bersama dengan yang Esa, dan selalu menganggap wujud yang sejati adalah Esa, tidak banyak.[54] Karena itu Ibnu Sab’in berkata: “ketahuilah bahwa jenis adalah sebuah bentuk universal, bentuk materi murni, formasi mekanis, dan illusi-illusi sejenisnya yang bersifat indrawi. Dan sang periset telah mengembalikan semua dan mengoperasionalkan formasi itu kepada hakikat yang Esa, wujud yang mencakup segala maujud. Melepaskan tendensi-tendensi, menyatuka partikel-partikel yang, dianggap, tercecer dan berbeda, dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa susah untuk menerima entitas yang banyak dan majemuk, bahkan tidak mungkin samasekali!”.[55]
    Lalu Ibnu Sab’in menjelaskan dan mengkritik al-fashl (pemisah atau pembeda), bahwa al-fashl telah mengandung makna tendensi antara dua entitas wujud. Padahal, pada hakikatnya, wujud adalah Esa. Al-fashl adalah illusi dalam kacamata periset, yang tidak keluar dari lingkaran wujud mutlak.[56] Dan apa yang dijabarkan oleh para filsuf yang beraliran Aristotelianisme berkaitan dengan al-khassah, menurut Ibnu Sab’in, adalah sesuatu yang tidak diimani oleh sang periset. Karena al-khassah, dalam capaian-capaian wujud, mengindikasikan adanya wujud yang majemuk atau plural. Sementara sang periset mengimani wujud mutlak yang tidak majemuk. Dan “wujud al-khassah adalah dikategorikan wujud yang mungkin ada (mumkinul al-wujud), yang termasuk wujud kedua, yang diwujudkan dari dari wujud yang Esa, wujud mutlak. Bagi orang yang memiliki akal yang sehat tidak logis jika dia mengkhusus-khususkan entitsa yang tidak ada (wujud yang mungkin ada atau wujud kedua), dan tidak logis jika melakukan pembagian atas entitas yang Esa, menjadikan sebagian bagi-Nya dan sebagian yang lain bagi selain entitas yang Esa. Maka hal ini adalah mustahil”.[57]
   Sementara komentar Ibnu Sab’in atas al-‘irdl dan syakhsh, bahwa al-‘irdl, menurut Ibnu Sab’in, adalah wujud al-muqayyad (yang terbatas), yang pada hakikatnya bukan wujud sejati. Karena wujud muqayyad esensinya adalah wujud mutlak.[58] Dan sang periset pun mengingkari kebenaran al-syakhs yang dikonsepsikan para filsuf Aristoteliasnisme, karena sang periset berpandangan bahwa al-syakhsh adalah entitas bayangan Sang Kebenaran hakiki, dan sebuah nama yang tidak tepat. Al-syakhsh yang dikonsepsikan itu mengindikasikan wujud muqayyad atau wujud pinjaman—sebagaimana al-‘irdl, yang pada hakikatnya ia adalah wujud mutlak. Periset tidak akan mencari wujud pinjaman, dengan melalui jalan yang tidak hakiki (majazi). Dan kritik pedas Ibnu Sab’in, bahwa konsep al-syakhsh itu mengasumsikan individu tidak ada kecuali individu atau entitas yang materi dan jasadi. Sementara menurut Ibnu Sab’in bahwa entitas ada dua, yaitu jasadi (fisik) dan ruhi (non-fisik/meta-fisika), yang pada hakikatnya wujud inderawi adalah bayangan Sang Maha Benar, karena wujud inderawi (fisik) hakikatnya adalah wujud pinjaman. Dan wujud mutlak bagi periset tidak ada perbedaan wujud antara madzhar (entitas yang tampak di luar) dan mudzhir (entitas yang ditampakkan), sebagaiman tidak ada perbedaan antara entitas yang ruhaniyyah (non-fisik atau meta-fisika) dan jasadi, karena wujud hakiki adalah entitas yang Esa, yang merengkuh segala sesuatu (jâmi’un li kulli syaiin).[59]    
   Sikap Ibnu Sab’in terhadap apa yang disebut oleh mantik Aristoteles dengan Kotigoras, yang mengandung sepuluh landasan normatif bagi logika formal, dengan mengembalikan satu persatu ke dalam pertimbangan logika periset, yang menganggap wujud adalah Esa dan mutlak. Menurut Ibnu Sab’in, bahwa sepuluh landasan normatif itu adalah alam. Manusia berada di dalam alam. Dan semua alam adalah penyerupaan. Sementara entitas yang menyerupai dengan sesamanya adalah satu. Maka alam dan manusia adalah satu. Kemudian di dalam pembahasan relasi antara Allah, alam semesta, dan manusia, yang dipersepsikan sebagai entitas-entitas yang mandiri dan berbeda oleh para filsuf, sementara oleh Ibnu Sab’in dipersepsikan sebagai entitas yang satu atau manunggal. Karena wujud adalah Esa. Dan semua dualisme dan pluralisme di dalam wujud adalah tidak tepat dan illusi, maka tidak ada yang kekal segala sesuatu kecuali wujud mutlak yang meliputi semua entitas, di mana entitas esensi bagi semua maujud dan entitas-entitas lain adalah Allah. Dan al-Haq adalah sebab bagi segala yang maujud.[60]   
     Akhirnya sang pencari kebenaran sejati sudah tidak menoleh pada bilangan, uraian-uraian, nama-nama, perdebatan, celaan, cemoohan, sikap ingin menang dan mengalahkan. Karena orang-orang yang sudah sampai kepada level atau tingkatan ini, berpandangan bahwa entitas yang mengetahui (al-‘alim) dan entitas yang diketahui (al-ma’lum) adalah satu, serta entitas yang mempersepsi dan entitas yang dipersepsikan adalah satu.