A.
BIOGRAFI IBNU MISKAWAIH
Nama
lengkap beliau adalah Abu Ali Al-Khazin Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’kub Ibn
Miskawah dengan gelar Ibnu Miskawaih.[1]
Belum dapat dipastikan, apakah dia sendiri atau dia adalah putra ( ibn )
Miskawaih. Beberapa orang seperti Margoliouth dan Bergrtrasser menerima
alternatif pertama, sedangkan lainnya, seperti Brockelmann, menerima alternatif
yang kedua.[2]
Nama tersebut diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi ( Persi )
yang kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama
para sahabat Ali bin Abi Tholib yang mana bagi kaum Syiah dipandang sebagai
pihak yang berhak menggantikan Nabi Muhammad dalam kedudukannya sebagai
pemimpin umat islam sepeninggalnya. Dari gelar ini, tidak salah apabila ada
orang yang kemudian mengatakan bahwa Miskawaih adalah tergolong penganut aliran
Syiah.[3]
Ibnu
Miskawaih dilahirkan di Rayy ( Iran )
sebelah selatan kota Teheran. Mengenai tahun kelahirannya, para penulis
menyebutkan berbeda-beda, M.M Syarif menyebutkan tahun 320 H/932 M. Morgoliouth
menyebutkan tahun 330 H/941 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Ibnu
Miskawaih berumur cukup panjang dan meninggal dunia di Isfahan pada tanggal 9
safar tahun 421 H/16 februari 1030 M.[4]
Ia hidup pada masa pemerintahan Bani Abbas yang berada dibawah pengaruh dinasti Buwaihi (320-450 H/932-1062 M) yang
sebagian besar pemukanya bermadzhab Syi’ah.[5]
Ia berdarah Persi yang hidup tumbuh dan berkembang tengah-tengah masyarakat
elite Arab. Memang orang Persi pada masa mula perkembangan Islam banyak yang
menjadi pejabat pemerintahan Arab Islam. Diantaranya adalah Abu Muhammad
Abdullah ibnu Maqaffa' wafat tahun 142 H. Orang Arab dalam menyelenggarakan
pemerintahan mengangkat orang-orang Persi yang memang mereka itu pilih tanding
dalam intelektual, penguasaan ilmu bahasa, hikmah dan sejarah. Ibn Miskawaihi
salah seorang intelektual mereka, pakar dalam ilmu sejarah, banyak melahirkan
karya tulis. Di bawah pemerintahan inilah dia bekerja dengan para wazir dan
amir. Pertama kali dia bekerja pada wazir Al-Mahallabi ibn Abi Shafrah tahun
348 H, sebagai sekretarisnya. Setelah wazir ini wafat dia kembali ke Ray dan
bekerja menjadi kepala perpustakaan wazir Ibnu Amid. Setelah wazir ini wafat
tahun 360 H, dia masuk penjara pada tahun 366 H. Sesudah itu dia bekerja lagi
di perpustakaan Adludullah ibn Buwaihi. Disinilah dia mendapatkan ketenteraman
dan kenyamanan dalam hidupnya. Pada masa itu Dinasti Buwaih adalah pada masa
‘adhud al-Daulah ( tahun 367 H-372 H ). Perhatiannya amat besar terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan dan kesusteraan, dan pada masa inilah Ibnu Miskawaih
mendapatkan kepercayaan untuk menjadi
bendaharawan ‘Adhud al-Daulah.[6]
Dia pun dijuluki Abu al-Khazin (
Sang Penyimpan), karena Ia menyimpan buku-buku milik Khalifah Al-Malik ‘adhud
al-Daulah bin Buwaihi, yang berkuasa dari tahun 367 H hingga 372 H. Ibnu
Miskawaih adalah orang yang dihormati dan sangat dekat dengan kholifah.[7]
Juga pada masa ini Miskawaih muncul sebagai filsuf, tabib, ilmuwan dan
pujangga. Demikianlah Ibnu Miskawaihi berpindah-pindah mengabdi dari satu
pejabat ke pejabat tinggi lainnya, di dalam pemerintahan Bani Buwaihi sampai
wafatnya tahun 421 H di Isfahan dalam usia 91 tahun.
Karier
akademisnya diawali dengan menimbah ilmu pengetahuan di Baghdad dalam bidang
sastra. Setelah menjelajahi banyak cabang ilmu pengetahuan dan filsafat,
akhirnya Ia lebih memusatkan pada bidang sejarah dan etika.[8]
Ibnu Miskawaih belajar Sejarah, terutama Tarikh al-Thabari ( Sejarah
yang ditulis oleh At-Thobari) pada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadi pada tahun
350 H/960 M.[9]
Sementara filsafat, Ibnu Miskawaih mempelajarinya dari ibnu al-Khammar, yaitu
seorang Mufassir kenamaan dan pensyarah karangan-karangan Aristoteles. Ibnu
Miskawaih mengkaji ilmu kimia bersama Abu al-Tayyib al-Razi, seorang ahli kimia dan Ibnu Miskawaih sangat
senang mengkaji aspek psikologis dan sosiologisnya.
Ibnu
Miskawaih adalah seorang filsuf muslim yang telah mengabdikan seluruh perhatian
dan upayanya yang barangkali jauh melebihi pemikir Islam lain manapun dalam bidang
etika, tetapi beliau bukan hanya peduli pada etika melainkan juga pada filsafat
yang mengandung ajaran-ajaran etika yang sangat tinggi. Sebagai filsuf, Ibnu
Miskawaih memperoleh sebutan Bapak Etika Islam, karena Ibnu Miskawaihlah
yang mula-mula mengemukakan teori etika sekaligus menulis buku tentang etika.[10]
Selain
mendapatkan gelar Bapak Etika Islam, Ibnu Miskawaih juga digelari Guru
ketiga ( al-Mualimin al-Tsa>lits ) setelah al-Farabi yang digelari
guru kedua ( al-Mualimin al-Tsa>ni) sedangkan yang dianggap guru
pertama ( al- Mualimin al-Awwal ) adalah Aristoteles. Sebagai Bapak
Etika Islam, beliau telah merumuskan dasar-dasar etika adalam kitabnya Tahdzib
al-Akhlak wa Tathir al-A’raq ( pendidikan budi dan pembersihan akhlak ).
Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filasafat
Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi.[11]
Tentang
kepribadiannya, dari pernyataan Iqbal, bahwa Ibnu Miskawaih adalah seorang
pemikir teistis, moralis dan sejarawan Parsi yang terkenal. Ia sangat mengabdi
pada guru-gurunya. Ibnu Miskawaih berupaya mengikuti lima belas petunjuk moral.
Kesederhanaannya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukkan diri yang
serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tak rasional
merupakan petunjuk tersebut. Intinya, semua yang ia tulis dalam kitab Tahdzib
al-Akhlak tentang etika ia mencoba melaksanakannya dengan baik. Oleh karena
itu, pantas ia dikatakan sebagai filsuf Islam yang konsisten dan konsekuen
terhadap apa yang ditulisnya.[12]
Al-Labib
pernah mengungkapkan bahwa Ibnu Miskawaih adalah seorang yang paling agung,
yang paling terhormat dikalangan orang non-Arab. Ia juga orang yang paling
kharismatik dikalangan orang-orang Persia.[13]
Ibnu
Miskawaih dikenal sebagai pemikir yang produktif. Ia telah menghasilkan banyak
karya tulis, tetapi hanya sebagian kecil yang sekarang masih ada.[14]
Jumlah buku dan artikel yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41 buah,[15]
15 buah sudah dicetak, 8 buah masih berupa manuskrip, dan 18 buah karyanya yang
dinyatakan hilang. Menurut ahmad Amin, semua karya Ibnu Miskawaih tersebut
tidak luput dari kepentingan filsafat etika. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka tidak mengherankan jika Ia dikenal sebagai moralis.
Karya-karya
Ibnu Miskawaih antara lain :
1. Al-Fauz
al-Akbar
2. Al-Fauz
al-Ashghar
3. Tajarib
Al-Umam
4. Uns
al-Farid ( koleksi anekdot,
sya’[ir, peribahasa dan kata-kata hikmah
5. Tartib
al-Sa’adah ( tentang akhlak dan
politik )
6. Al-Mustaufa ( Syair-syair pilihan )
7. Jawidan
Khirad ( koleksi ungkapan
bijak )
8. Al-Jami’
9. Al-Syiyar ( tentang tingkah laku kehidupan )
10. On Simple Drugs (
tentang kedokteran )
11. On the composition of the bajats ( seni memasak )
12. Kitab al-Asyribah (
tentang minuman )
13. Tahdzib al-akhlak (
tentang akhlak )
14. Risalah fi al-Lazzah wa al-alam fi Juhar al-Nafs
15. Ajwiba wa As’ila fi al-nafs wa al-‘Aql
16. Al-Jawab fi al-Masa’il al-Tsalats
17. Risalah fi jawab fi su’al Ali bin Muhammad Abu Hayyan
al-shufi Haqiqoh al-‘aql
18. Thaharoh al-Nafs.
B.
PEMIKIRAN IBNU MISKAWAIH DALAM KITAB “ TAHZIB
AL-AKHLAK WA TATHHIR AL-A’RAQ“
Pemaparan
etika Islam menurut Ibnu Miskawaih, diawali dengan pembahasan tentang manusia
dan jiwanya. Karena menurut Ibnu Miskawaih jalan untuk mencapai kesempurnaan
etika ialah mengenali jiwa. Sebagaimana dalam muqoddimah Tahdzib al-akhlak
wa tathhir al-a’raq, Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa tujuan menulis buku
tersebut adalah mengembangkan nilai etika dalam jiwa.
1. Dasar-Dasar Etika Islam Ibnu Miskawaih
a) Konsep Manusia
Ketika
orang memahami kata al-insan berasal dari kata al-nisyan,
seakan-akan ia memberikan justifikasi bahwa ketika manusia tidak menepati janji
atau mengerjakan hal-hal yang bersifat negatif dengan alasan lupa merupakan
kesalahan yang bersifat wajar-wajar saja.
Memang
manusia selalu luput dari kesalahan sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad
SAW: “ Setiap keturunan Nabi Adam pasti berbuat kesalahan dan sebaik-baiknya
kesalahan adalah pertaubatan”. Bahkan dikatakan pula dalam pepatah : “ Manusia
(al-insan) adalah tempat salah dan lupa”.
Dalam
Al-Qur’an, kata al-insan identik dengan arti manusia yang menggunakan
rasionalitas dan akal budinya. Salah satunya, seperti yang tercatat dalam Surat
Al-Ashr: 1-3 yang berbunyi :
Demi masa
sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (Al-Ashr ;1-3).[16]
Kita sebagai manusia tidak bisa mengingkari bahwa kita
mempunyai potensi untuk membuat kesalahan dalam hidup. Tapi ketika kita membuat
kesalahan dalam hidup dengan mengatasnamakan lupa adalah sesuatu yang keliru,
karena pada dasarnya kata al-insan bukan berasal dari kata al-nisyan.
Ibnu Miskawaih menjelaskan dengan sangat komprehensif
makna filsuf al-insan. Ia berpendapat bahwa kata al-insan ( yang
berarti manusia dalam bahasa Indonesia) berasal dari kata al-uns yang
berarti intimacy ( keintiman ) atau dalam kamus kontemporer Hans Wehr,
kata al-uns berarti sociability dan familiarity. Dengan kata lain
manusia adalah makhluk sosial yang secara alami memiliki hubungan keintiman dan
kekeluargaan antara satu sama lainnya.[17]
Menurut pandangannya, manusia adalah makhluk yang
memiliki keistimewaan kerena dalam kenyataannya manusia memiliki daya berpikir.
Berdasarkan daya berpikir tersebut, manusia dapat membedakan antara yang benar
dan yang salah, serta baik dan buruk.
Dan manusia yang kemanusiaannya paling sempurna ialah mereka yang paling
benar cara berpikirnya serta paling mulia usaha dan perbuatannya. Selain itu
untuk mewujudkan kebaikan, manusia harus kerjasama. Usaha untuk mewujudkan
kebaikan merupakan indikator dari tingkat kesempurnaan dan tujuan dari
penciptaan manusia itu sendiri.[18]
b) Jiwa
Manusia
Para filsuf Islam
memandang jiwa merupakan sesuatu yang mengandung daya yang terdapat dalam diri
manusia.[19]
Psikologi Miskawaih bertumpu pada ajaran spiritualistik tradisional Plato dan
Aristoteles dengan kecenderungan Platonis, namun dalam beberapa hal Ibnu
Miskawaih mengembangkannya dan meyelaraskannya sesuai dengan ajaran etika
Islam.
Pada tulisan awalnya
Ibnu Miskawaihi menyatakan keterkaitan antara pembentukan watak dengan
pendidikan dan ilmu jiwa. Katanya "Tujuan kami menyusun kitab ini (Tahzibul
Akhlak) adalah untuk menghasilkan bagi diri kita suatu watak pribadi yang
melahirkan perilaku yang baik seluruhnya dengan gampang, tak dibuat-buat lagi
tanpa kesulitan (maksudnya perilaku yang baik lahir dari watak itu secara
otomatis).
Hal demikian
diperoleh melalui proses pendidikan dan jalan untuk demikian lebih dahulu
dipelajari ilmu jiwa. Apa dan bagaimana jiwa itu?, Untuk apa dia diciptakan,
kesempurnaannya, tujuannya, kemampuannya "sifatnya" yang bila kita
pergunakan/dibina sebagaimana mestinya, niscaya jiwa itu akan-membawa kita,
kepada martabat yang mulia.
Dan perlu pula kita
pelajari faktor-faktor yang menghambat jiwa itu dalam rnenuju martabat yang
mulia, apa saja yang mensucikannya dan apa yang mengotorinya, maka karena itu
Allah berfirman dalam Surah as-Syams ayat 9-10 :
Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya ( as-Syams ayat 9-10).[20]
Jiwa itu menurut Ibnu
Miskawaihi adalah zat pada diri kita yang bukan berupa jisim, bukan pula bagian
dari jisim, bukan pula ‘aradl (sifat peserta pada substansi) wujudnya
tidak memerlukan potensi tubuh, tapi dia jauhar basith (substansi yang
tidak berdiri atas unsur-unsur) tak dapat diindra oleh pengindraan".[21]
Jiwa itu mempunyai
aktifitas yang berlainan dengan aktifitas jisim serta bagian-bagiannya dengan
segala sifat-sifatnya hingga tidak menyertainya dalam segala hal. Bahkan juga
berbeda dengan sifat ‘aradl (accident) jisim serta berlainan sama
sekali dengan jisim dan sifat-sifat ‘aradl. Tegasnya jiwa itu bukan
jisim, bukan pula bagian dari jisim dan bukan pula sifat ‘aradl. Jiwa
itu tidak mengambil ruang, tidak berobah. Dia (jiwa) dapat menanggapi segala
sesuatu secara serentak bersamaan dan tidak mengalami penyusutan, rusak atau
berkurang.
Ibnu Miskawaihi
memberi penjelasan lagi akan hal tersebut di atas bahwa tiap jisim mempunyai
shurah/ gambaran. Dia tidak akan menerima shurah lain yang dari jenis shurah
pertama kecuali sesudah jisim melepaskan sama sekali shurah yang pertama.
Contohnya bila jisim sudah menerima suatu shurah / syakal umpamanya segitiga,
maka dia tidak akan menerima lagi syakal lain misalnya segi empat, bundar atan
lainnya, kecuali bila jisim melepaskan syakal pertama (segitiga). Demikian pula
bila jisim menerima shurah lukisan atau tulisan maka jisim itu tidak dapat
menerima shurah lukisan/tulisan lainnya kecuali sesudah shurah lukisan
pertama/terdahulu lenyap samasekali. Bila shurah terdahulu tetap masih ada
bersisa, maka jisim tidak dapat menerima secara utuh shurah yang datang
kemudian lalu terjadilah campur aduk antara kedua shurah itu, tak ada salah
satupun diantara dua shurah itu yang bersih samasekali. Contoh lain, sebatang
lilin bilamana sudah menerima shurah lukisan yang dicapkan atasnya, lilin itu
tidak akan menerima cap lukisan berikutnya kecuali jika shurah lukisan yang
lama dihapuskan. Demikianlah hukum yang berlaku pada jisim.
Berbeda halnya dengan
sifat-sifat jiwa itu menerima semua shurah dari segala sesuatu secara
menyeluruh yang bermacam-macam, baik yang mahsusaat (segala sesuatu yang
diindera) ataupun yang berupa ma'qulaat (pengertian-pengertian) dengan
sempurna, tanpa melepaskan shurah yang terdahulu atau menggantikannya ataupun
melenyapkannya, bahkan gambaran (shurah) terdahulu dengan sempurna tetap
bertahan, juga shurah yang datang berikutnya tersimpan dengan sempurna.
Kemudian jiwa terus menerus menerima shurah demi shurah tanpa kelelahan dan
kealpaan ketika menerima shurah baru datang. Bahkan shurah terdahulu bertambah
kuat dengan kedatangan shurah berikutnya. Inilah sifat-sifat khusus pada jiwa
yang berlainan dengan sifat-sifat khusus pada jisim. Karena faktor inilah
penalaran dan pemahaman manusia berkembang teras manakala dia terlatih dan
berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan dan kebudayann. Jadi jiwa itu
bukanlah jisim/tubuh.[22]
Jiwa berasal dari
limpahan akal aktif (‘aql fa’al). Jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang
sederhana yang tidak adapat diraba oleh salah satu pancaindera.[23]
Macam-macam kekuatan
berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada
kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki
kekuatan yang bertingkat-tingkat:
(1)
Al-Nafs al-Bahimmiyyah ( Daya bernafsu ) adalah jiwa yang selalu mengarah
kepada kejahatan atau keburukan.
(2)
Al-Nafs al-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah ( Daya berani ) adalah jiwa yang mengarah kepada
keburukan dan sesekali mengarah kepada kebaikan.
(3) Al-Nafs al-Nathiqah (
Daya berpikir ) adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan.
Ketiga daya ini merupakan
daya menusia yang asal kejadiannya berbeda. Unsur rohani berupa bernafsu (An-Nafs
Al-Bahimmiyyah) dan berani (al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah)
berasal dari unsur materi sedangkan berpikir (an-Nafs an-Nathiqah)
berasal dari Ruh Tuhan karena itu Ibn Miskawaih berpendapat bahwa kedua an-nafs
yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan dan an-nafs
an-nathiqat tidak akan mengalami kehancuran.[24]
Ibnu Miskawaih
mengatakan bahwa hubungan jiwa al-Bahimmiyah/as-syahwiyyah (bernafsu)
dan jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani) dengan jasad pada
hakikatnya sama dengan hubungan saling mempengaruhi.
2. Ajaran Pokok Etika Islam Ibnu Miskawaih
a) Teori
Fadlail ( Keutamaan )
Konsep akhlaq yang di
tawarkan oleh Ibnu Miskawaih lebih di dasarkan pada doktrik jalan tengah( Nadzar
al-Ausath ). Dengan pengertian bahwa jalan tengah adalah dengan
keseimbangan, moderat, harmoni, utama, atau posisi tengah diantara dua ekstrem.
Akan tetapi Ibnu Miskawaih lebih menitik beratkan pada posisi tengah antara
ekstrem kelebihan dan ekstreem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Dari
keterangan diatas dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa ibn Miskawaih lebih
memberi tekanan pada pribadi.
Dengan demikian, maka
para hukama (failosof) bersepakat menetapkan bahwa jenis fadilah empat yaitu: al-Hikmah,
al-'Iffah, as-Saja'ah dan al-Adlalah. Adapun lawannya empat pula
yaitu al-Jahl (bodoh), as-Syarh (rakus) al-Jubn (takut)
dan Al-Jaur (kelaliman).
Menurut Fazlur
Rahman, bergeser dari moderasi ke pihak manapun juga selalu menghasilkan
kondisi setan yang efek-efek moralnya tetap sama, yakni nihilisme moral. Sebab
itu, jalan tengah tidak hanya merupakan jalan yang terbaik, tetapi juga
merupakan satu-satunya jalan.[25]
Setiap keutamaan yang
terdapat dalam jalan tengah tersebut memiliki cabangnya masing-masing atau
membawahi sifat-sifat yang baik lainnya:
(1) Al-Hikmah
(kebijakan) ialah fadlilah sifat utama dari jiwa natiqah, jiwa pikir kritis
analitis (Annatiqah al-mumayyizah) untuk mengetahui (mengenali) segala
yang ada karena keberadaannya, atau untuk mengetahui hal ihwal ketuhanan dan
hal ihwal kemanusiaan. Hikmah memiliki tujuh cabang yaitu: ketajaman
intelegensi, kuat ingatan, rasionalitas, tangkas, jernih ingatan, jernih
pikiran, dan mudah dalam belajar sebagai pra kondisi. Dengan demikian
pengetahuan membuahkan pengenalan tentang al ma'qulat (pengertian-pengertian
tentang hal yang abstrak/yang metafisis) secara kritis analitis, mana yang
benar dipegangi, mana yang salah dibuangnya.
(2) Al-Iffah
(kesucian diri) sifat utama pada pengindraan nafsu syahwat al Hissussyahwani.
Sifat utama ini nampak pada waktu seseorang mengendalikan nafsunya (setelah
responsi indra terhadap suatu stimulus) dengan pertimbangannya yang sehat
sehingga dia tidak tunduk pada nafsunya itu, dia bebas dari perbudakan hawa
nafsunya. Al-Iffah memiliki 12 cabang, yaitu malu, kecenderungan terhadap
kebaikan, meninggalkan yang tidak baik, ketenangan, sabar, dermawan,
kemerdekaan, bersahaja, keteraturan, menghias diri dengan kebaikan,dan kehati-hatian.
(3) As-Syaja'ah (keberanian) adalah sifat utama pada jiwa ghodlabiyah.
Sifat ini nampak pada manusia ketika jiwa ghodlabiyah itu dikendalikan
oleh sifat utama al-Hikmah dan dipergunakan sesuai dengan akal pikiran untuk
menghadapi masalah-masalah yang punya resiko, umpamanya tidak gentar menghadapi
perkara-perkara yang menakutkan. Dia atasi perkara itu bila sikap demikian
dipandang baik atau dia menahan diri bila sikap demikian dipandang terpuji. Syaja’ah
berkembang menjadi 9 cabang yaitu berjiwa besar, pantang takut, ketenangan,
keuletan, kesabaran, murah hati, menahan diri, keperkasaan dan memiliki daya
tahan yang kuat atau senang bekerja berat.
(4) Al-Adalah
(keadilan) adalah sifat utama pada jiwa sebagai produk dari integrasi (ijtima)
yang serasi dari tiga unsur jiwa yang telah disebutkan, dimana unsur al-Hikmah
merupakan faktor yang dominan. Keadilan ini dibagi menjadi 3 macam yaitu
keadilan alam, keadilan adat istiadat, dan keadilan Tuhan. Sifat utama yang
berada di bawah al Adaalah yaitu: shadaaqah (persaudaraan), ulfah
(kerukunan), silaturahim (silaturrahmi), mukafa'ah (suka memberi
imbalan), husnussyirkah (baik dalam persekutuan husnulqadlaa
(baik dalam pemberian jasa tanpa penyesalan dan minta imbalan), tawaddud
(upaya mendapatkan simpati dari orang-orang mulia dengan jalan tatap muka yang
manis dan dengan perbuatan-perbuatan yang menimbulkan cinta kasih dari mereka),
ibadah (mengagungkan Tuhan, mentaatiNya, memuliakan malaikat dan para Nabi dan
alim utama, dan beramal sebagaimana digariskan agama dan ketaqwaan akhir dari
segalanya, tarkul hiqdi (meninggalkan perasaan sentimen), membalas
kejahatan dengan kebaikan, mempergunakan keramahan), dalam segala hal selalu
beralasan prestige/harga diri, menjauhi persengketaan, meninggalkan pergunjingan,
dan lain sebagainya dari sifat-sifat baik dalam hubungan antara manusia.
Dengan keberadaan al-Adalah
itu, manusia memiliki simatun (ada tulisan Arab) ciri. Pilihannya (sebagai
balanced individual) yaitu dia bagian dari dirinya sendiri dan bagian dari orang
lain (bagian dari masyarakat).[26]
b) Teori
Kamal ( Kesempurnaan )
Substansi manusia
mempunyai aktivitas yang khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk lain di dunia ini. Manusia merupakan makhluk
Allah yang paling mulia, tetapi jika tidak melakukan perbuatan yang sesuai
substansinya, maka ia seperti kuda ataupun keledai. Ibnu Miskawaih memberikan
perhatian khusus terhadap masalah hikmah dan ‘adalah dimana
terletak kamal khas insani.
Kesempurnaan manusia
ada dua macam karena dua hikmah yaitu:
1) Nazhariyah ( teoritis )
Dengan hikmah Nazhariyah
( teoritis ) manusia cenderung kepada berbagai ilmu dan pengetahuan. Dengan
hikmah ini, manusia akan rindu pada pengetahuan, terwujud bila mendapatkan
pengetahuan sehingga persepsinya, wawasannya dan kerangka berpikirnya pun
akurat. Dengan demikian, dia tak akan melakukan kesalahana dalam keyakinannya
dan tidak meragukan suatu kebenarannya.
2) ‘amaliyah
atau khuluqiyah ( praktis )
Sedangkan hikmah ‘amaliyah atau khuluqiyah
( praktis ) merupakan tujuan Ibnu Miskawaih membuat kitab Tahdzib al-akhlak
wa Tathhir al-‘Araq ini yaitu berupa kesempurnaan karakter.
Dimulai dari
menertibkan pembawaan-pembawaan dan aktifitas khusus bagi pembawaan itu hingga
tidak terjadi benturan , tapi ia akan hidup dengan harmonis dalam dirinya.
Kemudian diakhiri dengan penataan kehidupan sosial dimana tindakan dan
pembawaan tertata baik dikalangan masyarakat hingga terjadi keselarasan dan masyarakat mencapai
kebahagiaan seperti yang ada pada manusia. Ia demikian percaya bahwa bila seseorang
mengetahui keutamaan sesuatu ia akan melakukannya.
Ilmu Pengetahuan
merupakan dasar dan amal perbuatan merupakan kesempurnaan manusia. Dasar tanpa
kesempurnaan maka suatu yang sia-sia, sedangkan kesempurnaan tanpa dasar adalah
sesuatu yang mustahil.
Kesempurnana akan tercapai
apabila keduanya tercapai, yaitu kesempurnaan yang bersifat teoritis yang
berkenaan dengan kesempurnaan praktis seperti bentuk dan materi yang berarti
tercapainya suatu sa’adah tammah. Apabila hanya mencapai salah satunya
bereti manusia tersebut hanya mencapai kamal naqish dan sa’adah
naqishah. Proses dan tingkatan-tingkatan kesempurnaan terjadi sejak manusia
tersebut mengetahui hakikat segala sesuatu (idea) yang memancarkan perbuatan
kamal-kamal insani dimana tercapai tingkat ‘alim shaqir, lalu menyatukan
diri dengan semua gambaran hakikat dan perbuatan sedemikian rupa sehingga
menjadi khalifah dimana ia tiada lagi melakukan kesalahan dan tiadak keluar
dari sistem hikmah Allah yang pertama. Pada tahap ini menjadi’alim tamm,
sedang yang sempurna dari substansi adanya kekekalan dimana dia tidak akan
terputus dari kenikmatan dan kebahagiaan abadi, sebab dengan kesempurnaan
tersebut, dia telah siap menerima pancaran Ilahi yang kekal abadi, dan telah
dekat dengan –Nya sehingga tidaka da satu tabirpun yang memisahkan dia dengan
Tuhan. Inilah tingkatan paling tinggi dari kebahagiaan terakhir.
Selanjutnya
Ibnu Miskawaih mengatakan, kalau individu manusia tidak dapat mencapai
kedudukan tersebut, menyempurnakan bentuk kemanusiaannya dengan kedudukan
tersebut, dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya secara
bertahap, maka keadaannya sama seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang tidak
mempunyai kemungkinan untuk melakukan transformasi dan peningkatan diri menjadi
yang lebih baik dan pasti mustahil manusia dapat mencapai kekekalan dan
kenikmatan abadi serta kembali kepada Tuhan dan masuk dalam surga-Nya. Maka
oarang yang tidak mempunyai gambaran dan keyakinan tentang hal ini, yaitu yang
ilmunya hanya setengah-setengah dan dia akan jatuh kedalam keraguan dan mengira
kerusakan jasmani mengakibatkan manusia kehilangan hakikatnya, serta hidup
melata seperti binatang dan tumbuhan. Dikala itu ia berhak disebut kafir dan
keluar dari inti hikmah dan hukum agama.[27]
c) Teori
Sa’adah ( Kebahagiaan )
Ibnu Miskawaih
mengecam keras kaum matrealistik biologik yang memandang bahwa manusia
diciptakan dengan segala potensinya hanyalah merealisasikan
kenikmatan-kenikmatan biologis. Hal ini merupakan pandangan orang-orang awam
dan bodoh yang meridukan kenikmatan material di surga, dan dimintanya dari
Allah sebagai upah bagi yang bermental kuli dan pedagang.
Bagi Ibnu Miskawaih
kebahagiaan di akhirat terletak pada kenikmatan ruhani. Sebab kenikmatan di
surga itu sempurna dan abadi yang terus menerus, sedangkan kenikmatan material
harus didahului oleh sakit dan berbagai kekurangan dimana kenikmatan adalah
akhir dari sakit.
Sa’adah merupakan khair yang relatif ( individual )
sehingga tidak mempunyai standar yang pasti. Ibnu Miskawaih menunjuk beberpa
teori sa’adah dari berbagai filsuf, yaitu :
1) Pyitaghoras,
Socrates dan Plato melihat bahwa keutamaan dan kebahagiaan hanyalah terdapat
pada kualitas ruhani manusia. Sebab badan hanyalah alat atau kendaraan bagi
ruhani. Mereka juga berpendapat bahwa kebajikan-kebajikan tersebut cukup untuk
kebahagiaan, apabila manusia telah menerima semua keutamaan-keutamaan
2) Menurut
kaum Stoika dan ahli fisika, badan merupakan bagian dari hakikat manusia, bukan
sekedar alat ruhani dan jasmaniah. Ini sama dengan teori Aristoteles hinggah sa’adah
tammah ada pad lima hal yaitu: kesehatan badan, kekayaan, pangkat dan
kehormatan, sukses dalam berbagai urusan dan tajamnya pandangan, sehatnya
pemikiran dan selamatnya keyakinan mengenai agama.
3) Menurut
sebagian filsuf kebahagiaan adalah sesuatu yang tetap, tidak hilang, tidak
berubah-ubah dan tidak sirna. Oleh karena itu, kebahagiaan utama hanya tercapai
diakhir sesudah manusia melepaskan jasadnaya dan segala naluri biologisnya.[28]
Ibnu Miskawaih
berusaha mengompromikan kedua teori diatas dengan menunjuk hakikat manusia
sebagai makhluk jasmani dan rohani yang berakal.
d) Teori
Khairat ( Kebaikan )
Menurut Ibnu
Miskawaih, Khairat adalah sesuatu yang terbit dari atau sesuai dengan kamal
kahs insani yang melekat pada hikmah secara umum yang meliputi fadhilah yaitu, hikmah,’iffah,
syaja’ah dan ‘adalah. Sebab itu Khair itu bermacam-macam, yaitu :
1) Secara
Kualitatif ada 4 macam, yaitu :
a. Syarifah, yang kemuliaannya karena dzatnya, yakni hikmah dan
akal
b. Mamduhah, keutamaan dan perbuatan-perbuatan usaha yang baik.
c. Nafi’ah, segala sesuatau yang dicari bukan karena dzatnya
melainkan sebagain alat kepada kebaikan.
2) Dilihat
dari segi positifnya:
a. Ghayah
(tujuan), yang terbagi dua (1) tammah , yaitu sa’adah dimana kita
tidak lagi membutuhkan yang lain sesudahnya. (2) Ghoir tammakh, seperti
kesehatan dan kemudahan.
b. Bukan tujuan, seperti pengobatan dan
latihan/pendidikan.
3) Dilihat
dari segi efektivitasnya :
Ada yang efektif karena dzatnya, ada
yang karena lain hal, karena keduanya, dan karena diluar keduanya.
a. Dilihat dari segi sifatnya
Khair mutlak, khair ketika darurat, disepakati sebagian manusia saja pada
saat tertentu saja, baik bagi semua manusia, baik sebagian saja, baik segala
seginya, dan sebagainya.
b. Dilihat daris segi aradl yang kesepuluh :
Kapan, bagaimana, jumlah, dimana
Allah adalah khair pertama dan mutlak sebagai sumber segala kebaikan
yang sgegala sesuatunya bergerak menuju kepadanya. Kebaikan selau membawa kebahagiaan,
malah kebahagiaan itu sendiri merupakan salah satu bentuk khair.[29]
e) Teori
Mahabbah ( Cinta )
Menurut Ibnu
Miskawaih cinta mempunyai berbagai jenis dan sebab . terbaginya cinta menjadi
jenis-jenis ini hanya karena sasaran dan ,menjadi tujuan kehendak dan tindakan
manusia. Ibnu Miskawaih mengklasifikasikan cinta ada empat bentuk mahabbah
yaitu :
1) Cinta
yang berdasarkan kenikmatan
Cinta jenis ini cepat tumbuh dan
cepat pudar, sebab kenikmatan sendiri cepat berubah, sedang mahabbah itu
pudar bersama lenyapnya sebab. Teorinya dalam kimia, beberapa atom ( jauhar
) yang berbeda tidak mungkin menyatu dzatnya. Kalaupun bertemu pada lapisan
luar, pertemuan itu cepat pudar.
2) Cinta
yang berdasarkan manfaat
Cinta jenis ini lambat tumbuh
tetapi cepat pudar. Jiwa manusia yang terbentuk oleh kenikmatan dan kemanfaat
yang berlainan, bahkan sering kontradiksi.
3) Cinta
yang berdasarkan kebaikan
Cinta ini cepat tumbuh tapi
lambat pudar, dan hanya ada dikalangan orang-orang akhyar.
4) Cinta
perpaduan antara ketiganya
Cinta yang terbentuk dari
perpaduan sebab-sebab ketiga unsur tersebut. Bila cinta tersebut mnegandung khair,
maka cinta itu akan lambat tumbuh dan lambat pudar. Sebab tersebut adalah
landasan yang menjamin persatuan dan kesatuan yang kokoh dan kekal dalam satu
komunitas, hanyalah mahabbah dan mawaddah yang terbentuk oleh jauhar ilahi
dalam diri manusia, yang bersih dari kotoran syahwat dan dapat menatap kebaikan sejati pertama
kemana ia harus bergerak dan mendapat limpahan cahaya-Nya. Potensi Mahabbah
yang suci ( Mahabbah Ilahiah ) inilah yang harus dicari dan dipelihara
bersama oleh anak-anak adam.[30]
Ibnu Miskawaih mengenal dua tingkatan Cinta. Pertama cinta
sesama makhluk. Kedua cinta makhluk kepada Sang Khalik.
Mengenai etika
pergaulan, Ibnu Miskawaih menekankan cara mencari kawan dengan mengutip
Sokrates, yaitu :
1) Menyelidiki
situasi pergaulan dalam keluarganya
2) Selidiki
pergaulannya dengan kawan-kawannya
3) Selidiki
sejauh mana ia berterimahkasih pada yang berhak
4) Perhatikan
apakah ia cenderung malas atau enggan untuk soal yang remeh sekalipun
5) Teliti
sejauh mana ambisinya terhadap kekuasaan dan kedudukannya
6) Apakah
ia menyepelekan nyanyian dan senda gurau yang tak berarti
Cara memelihara
persahabatan antara lain, tidak menyepelekan haknya, menampakkan wajah berseri
ketika ia gembira dan turut berduka dikala kesusuahan, serta menjauhi perilaku
negatif seperti memperolokkan, kikir tentang ilmu dan etika-etika islam
tertentu misalnya membuka aaib, mengadu
domba dan lain sebagainnya.[31]
f) Aspek
sosial
Aspek sosial dalam
filsafat etika Islam Ibnu Miskawaih terdiri dari tiga asas yang merupakan hasil
pendekatan multidisipliner: metafisika, fisika, psikologi, sosiologi dan
syar’i.
1) Hakikata
cara wujud manusia sebagai zoon politicon ( madaniyun bi al-thab’i
) dimanapun kesempurnaan hakikat manusia terletak pada adanya yang lain ( being
in communication )
2) Hakikat
keterbatasan manusia dalam merealisir khairat yang beraneka ragam.
3) Fitrah
manusia sendiri saling mencintai ( anisun bi al-thab’i ), yang gdari
kata uns itu diambil dari kata insan bukan dari kata nisyan (
lupa ). Sebab itu , wajib ada komunitas manusia yang hterdiri dari sejumlah
individu yang sama dan hidup bersama dalam prinsip mahabbah dan mawaddah, untuk
menyempurnakan hakikat diri dan merealisasikan kebahagiaan kolektif, sehingga
tercapailah khairat bersama dan sa’adah yang didistribusikan
dikalangan mereka dan terwujudlah kalam jenis insani, seperti sebuah tubuh yang
anggota-anggotanya satu sama lain saling mengikat.
Karena manusia
makhluk sosial, maka kebahagiaan kemanusiannya terletak pada temannya, sedang
kesempurnaannya terletak pada orang lain, mustahil akan mencapai kebahagiaan
yang sempurna dalam keadaan hidup menyendiri. Maka yang berbahagia adalah yang
memperoleh banyak teman dan berusaha keras menyebarkan kebaikankepada mereka
untuk ia peroleh dengan bantuan mereka apa yang tidak dapat ia peroleh secara
sendirian, sehingga satu sama lain mendapatkan kenikmatan ukhuwah ini
sepanjang hidupnya.[32]
Bahkan keutamaan-keutamaan etika Islam berupa ‘adalah, iffah dan syajaah
hanyalah diperlukan untuk memelihara muamalat dan pergaulan hidup,
dimana kesempurnaan eksistensi manusia tidak sempurna kecuali dengannya.
Dari
postulat-postulat tersebut Ibnu Miskawaih membahas maslah mahabbah dan
pergaulan hidup sampai pada kutukan terhadap kemalasan dan senang santai
sebagai keburukan terbesar yang menghalangi kemanusiaannya sendiri. Sebab itu
ia mencela orang-orang zuhud yang mengisolir diri digunung atau pertapaan yang
praktis melenyapkan seluruh keutamaan etika Islam dimaksud, dan oleh Ibnu
Miskawaih dipandang sebagai benda mati dan mayat.[33]
[1] Sudarsono, Filsafat Islam
( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004 ), cet II, hlm 88.
[2] MM. Syarif ( Ed ), Para filsuf
Muslim ( Bandung: Mizan, 1989 ), cet III, hlm 83.
[3] Sudarsono, Filsafat Islam
( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004 ), cet II, hlm 88.
[4] Muhammad Utsman Najati, Ad-Dirasati
an-Nafsaniyyah’inda al-‘ulama all-muslimin, terj. Gazi Saloom, Jiwa
dalam pandangan Filsuf Islam ( Bandung: Pustaka hidayah, 2002), hlm 85.
[5] Musthofa, Filsafat Islam..,167.
[6] Ibid 167.
[7] Muhammad Utsman Najati, 86.
[8] Taufik Abdullah, et.al, Ensiklopedi
Islam ( Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000) Jilid 3, cet VIII, hlm
195.
[9] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam ( Jakarta: PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 2001) Jilid 5, cet IV, hlm
162.
[10] A,Mustofa, hlm 168.
[11] Muhaimin, et.al Kawasan dan
Wawasan Studi Islam ( Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2005) cet I, hlm
327-328.
[12] M.M Syarif, hlm 84-85.
[13] Ibn Miskawaih, Tahdzib
al-Akhlak wa Tathir al-A’raq. Terj. Helmi Hidayat, Menuju kesempurnaan
akhlak ( Jakarta : Mizan , 1999), hlm 30.
[14] Nina M.Armando, et. Ensiklopedi
Islam ( Jakarta PT ichtiar Baru Van Hoeve, 2001) jil 3, cet VI. Hlm 89.
[15] Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan Islam ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) cet. III. hlm 6
[16] Al-Qur’an dan terjemahan, Surat
Al-Ashr ( Bandung : CV Penerbit Diponegoro ), hlm 565.
[17] Dida, Artikel: Manusia
Prespektif Ibn Miskawaih ( 01 Desember 2014, http:// darul ulum.
Blogspot.com)
[18] Jalaluddin & Usman Sa’id, Filsafat
Pendidikan Islam: konsep dan perkembangan pemikirannya ( Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994 ), hlm 135.
[19] Harun Nasuion, Akal dan Wahyu
dalam Islam ( Jakarta: UI Press, 1983), hlm 8.
[20] Al-Qur’an dan terjemahan, Surat
Asy-Syams ( Bandung : CV Penerbit Diponegoro ), hlm 542.
[21] Istighfatur Rahmaniyah, Pendidikan
Etika... ,119.
[22] Ibn Miskawaih, Tahdzib
al-Akhlak wa Tathir al-A’raq. Terj. Helmi Hidayat, Menuju kesempurnaan akhlak
Islam ( Jakarta: Mizan, 1999), hlm 35-36.
[23] Sirojuddin Zar, Filsafat Islam : Filsuf
dan Filsafatnya ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 133.
[24] Ikbnu Miskawaih, terj Helmi
Hidayat, Menuju kesempurnaan...,43-44.
[25] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an,
terj Anas Mahyuddin ( Bandung Pustaka, 1983 ), hlm 39.
[26] Ibnu Miskawaih, Tahdzibul-..,18-36
Dan Ibnu Miskawaih terj Helmi Hidayat Menuju kesempurnaan., 44-53.
[27] Ibid ( Tahdib al-Akhlak wa
Tathhir al-Araq), 46-50 & Ibid.. Menuju Kesempurnaan Akhlak,
terj Helmi Hidayat, 60-66.
[28] Ibid ( Tahdib al-Akhlak wa
Tathhir al-Araq), 90-94 & Ibid.. Menuju Kesempurnaan Akhlak,
terj Helmi Hidayat, 89-93.
[29] Ibid ( Tahdib al-Akhlak wa
Tathhir al-Araq), 14-17.
[30] Istighfatur Rohmaniyah, Pendidikan
etika.. , 137-138.
[31] Ibid ( Tahdib al-Akhlak wa
Tathhir al-Araq), 167-165 & Ibid.. Menuju Kesempurnaan Akhlak,
terj Helmi Hidayat, 149-155.
[32] Ibid ( Tadzhibul al-Akhlak wa
Tathhiral-A’raq), 182
[33] Ibid Tadzhibul..,186-188 & Ibid ( Menuju
kesempurnaan Akhlak ) terj. Helmi Hidayat, 156-159.