BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menjelang pergantian dasawarsa 60-an, modernisasi merupakan tema baru dalam perubahan-perubahan sosial politik di Indonesia. Masyarakat dan pemerintah dinegara-negara lain, khususnya Asia Tenggara, sudah terlebih dahulu berkenalan dan menerimanya. Indonesia boleh disebut sebagai penumpang gerbong terakhir dikawasan ini mengambil tema modernisasi.
Sejak tahun 1967 atau 1968, kalangan muda dalam gerakan Islam cukup sibuk membahas modernisasi, ini terlihat dari tulisan-tulisan yang dimuat dikoran-koran mahasiswa seperti Mahasiswa Indonesia, Mimbar Demokrasi. Banyak diskusi yang diselenggarakan, baik terbuka ataupun terbatas. Pada tahun 1968 Nurkholish Majdid ketika itu sudah terpilih menjadi Ketua Umum HMI periode 1966-1969, menulis artikel panjang yang berjudul Modernisasi ialah rasionalisasi, bukan westernisasi. Sebagai seorang sarjana muslim yang terdidik dalam ilmu-ilmu keislaman, tapi dengan bacaan buku-buku umum yang cukup luas, termasuk kepustaan asing Arab maupun barat, Nurcholish berusaha memberi jawaban Islam terhadap masalah modernisasi.
Disini kita perlu melihat siapa sebenarnya Nurcholish dan semangat apa yang dibawakan. Ia adalah tokoh modernis Muslim. Ia tidak hanya memperlihatkan bahwa Islam dalam konteks modernisasi sekarang dapat diinterpretasikan dan diformulasikan kembali sebagai ajaran yang mengandung nilai-nilai yang mendukung modernisasi. Lebih dari itu ia ingin memperlihatkan bahwa Islam, pada dirinya sendiri, secara inheren dan aslinya adalah agama yang selalu modern.
Seluruh tulisan Nurcholish Majdid, sejak yang dikemukakanya tahun 1968 hingga detik ini, didominasi oleh obsesi untuk menjelaskan kaitan antara cita tauhid disatu pihak dan persoalan dunia modern di lain pihak. Karena itu pandangan Nurcholish Majdid sebelum dan sesudah 1968, cukup konsisten , yaitu disekitar implikasi pandangan monoteisme radikalnya.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan di atas, muncullah beberapa rumusan masalah, diantaranya:
1. Siapakah (Biografi) Nurcholish Madjid?
2.Bagaimana Ide Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Keislaman dan Kemodernan?
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan rumusan masalah, diantaranya:
1. Untuk mengetahui Biografi Nurcholish Madjid
2. Untuk mengetahui Ide Pemikiran Nurcholish Madjid tentang Keislaman dan Kemodernan
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Nurcholish Majdid
Nurcholis Madjid dikenal luas di kalangan terpelajar sebagai orang yang mengangkat isu modernism dalam bentuk agak radikal. Tokoh kelahiran Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H dari keluarga kalangan pesantren. Nurcholish Majdid dibesarkan dilingkungan keluarga kiyai terpandang. Ayahnya bernama KH. Abdul Madjid, seorang ulama terkemuka di kalangan NU. Pendidikan yang ditempuh dimulai sejak Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah, Pesantren Darul-ulum, Kulliyatul Mu’allimin Pondok pesantren modern Gontor Ponorogo. Setelah itu ia melanjutkan studinya ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968.
Selama menjalani aktifitas kemahasiswaannya, Nurcholish Madjid aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Diantaranya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan sekaligus pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode sejak 1966-1969 dan 1969-1971). Pada tahun 1967-1969, ia menjadi Presiden Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students Organizations tahun 1969-1971. Sejak 1978 ia melanjutkan studinya di University of Chicago USA dan meraih gelar Doktor (Ph.D Study Agama Islam) pada tahun 1984 dengan disertasi berjudul Ibn Taimiyah on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam, (Ibn Taimiyah Tentang Kalam dan Filsafat: Suatu Persoalan Hubungan Antara Akal dan Wahyu Dalam Islam). Setelah kembali ke tanah air pasca menyelesaikan studinya di AS, NM kemudian mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina. Selain menjadi staf pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1972, Nurcholish Majdid juga menjadi Guru Besar tamu pada McGill University, Montreal, Canada tahun 1991-1992. Nurcholish majdid menjadi Ketua Yayasan Paramadina sejak 1985, dan mejadi Rektor Universitas Paramadina Mulya sejak 1998-2005. Nur kholish Majdid wafat Pada 29 Agustus 2005.
2. Ide Pemikiran
Debut intelektual Cak Nur mulai mengemuka diawal tahun 70-an dengan tema-tema besarnya yang muncul dalam beberapa kesempatan diskusi antara lain “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” dan “Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia”. Tidak seperti sekarang, gagasan Cak Nur sangat tidak lazim dalam diskursus Islam di Indonesia, bahkan berada diluar arus utama pemikiran Islam sehingga begitu banyak mengundang polemik. Umat Islam Indonesia saat itu masih sangat jauh dari perdebatan-perdebatan seperti itu.
Pada tahun 1970 dalam acara diskusi yang di selenggaran oleh HMI, PII, GPI, dan Persami, Nurcholish Madjid membawakan makalah dengan judul “Keharusan pembaruan pemikiran Islam dan masalah integrasi umat”, dalam kesempatan tersebut muncul slogan “Islam Yes Partai Islam No”, diikuti dengan istilah sekulariasi yang kemudian banyak mengundang polemik, dan Nurcholish Madjid banyak mendapat kritikan karena idenya tersebut. Kritikan yang cukup tajam datangnya dari Prof. H. M. Rasyidi dan Abdul Kadir Djailani. Prof. Rasyidi menilai Nurcholish Madjid telah menggunakan istilah tersebut secara arbitrair atau semau gue.
Sejak munculnya gagasan sekularisasi pada era 70-an, Nurcholish Madjid dijuluki sebagai penarik gerbong kaum pembaru. Bergulirnya ide sekularisasi tersebut, Nurcholish Madjid sepertinya telah membuka sebuah babakan baru dalam khazanah intelektual Islam yang sampai hari ini masih terus berkembang.
A. Modernisasi
Diskursus tentang modernitas merupakan wacana pemikiran yang menarik perhatian dan mampu membangkitkan birahi intelektual untuk didiskusikan. Tema ini sangat menarik terutama bila dihadapkan dengan sebuah pertanyaan penting, apakah Islam itu kompatibel dengan modernitas?.
Modernitas sebagai gerakan pembaharuan yang berawal di Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap fenomena kebudayaan. Modernitas muncul sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad pertengahan oleh nilai-nilai baru modernis. Kekuatan rasional digunakan untuk memecahkan segala persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos tradisional. Modernisasi ditandai oleh kreatifitas manusia dalam mengatasi kesulitan hidupnya di dunia. Arnold Toynbee (seorang ahli sejarah), mengatakan bahwa modernitas telah mulai sejak akhir abad ke lima belas ketika orang Barat “berterima kasih bukan kepada Tuhan, tetapi kepada dirinya sendiri karena ia telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan”.
Menurut Samuel Huntington, modernitas adalah produk perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat manusia mampu membentuk serta mengendalikan alam. Modernitas ditandai dengan proses perubahan yang sangat cepat dengan melibatkan industrialisasi, urbanisasi, dari suatu masyarakat primitif menuju masyarakat berperadaan. Jika modernisasi merupakan produk perkembangan ilmu pengetahuan, maka Islam menurut Nurcholish Madjid, adalah agama yang sangat modern bahkan terlalu modern untuk zamannya,karena Islam adalah agama yang secara sejati memiliki hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan tersebut dalam kerangka keimanan, maka kaum Muslim hendaknya yakin bahwa Islam bukan saja tidak menentang ilmu pengetahuan, tetapi justru menjadi pengembangannya dan tidak melihat perpisahan antara iman dan ilmu. Salah satu agama yang mendapat penganut dari kalangan bangsa kita, bangsa Indonesia ialah agama Islam, agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, yang dalam bentuk mutakhirnya diajarkan melalui Nabi Muhammad SAW. Tuhan adalah Maha Esa, kemanusiaan universal adalah satu, inti dari ajaran itu adalah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Argumentasi Nurcholish Madjid tersebut berkembang dari pandangannya tentang historisitas sejarah Islam yang sempat mengalami puncak kejayaannya sejak masa kekhalifaan sampai runtuhnya kerajaan-kerajaan awal Islam di zaman klasik yang kesemuanya memiliki kultur pengembangan ilmu pengetahuan yang sangat kuat. Kultur ini terjadi karena di zaman itu (zaman klasik Islam) terjadi usaha-usaha yang serius dalam hal interpretasi teks-teks kitab suci yang dampak positifnya masih terasa hingga sekarang.
Untuk memberikan sebuah batasan asumsi tentang modernisasi, kita lihat pendapat Nurcholis Madjid sebagi berikut: Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantikannya dengan bola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya-guna dan efisiensi yang maksimal. Jadi sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam…
Sebagai seorang Muslim yang dengan sepenuhnya meyakini Islam sebagi Way of Life, yang juga akan menganut cara berfikir Islami, menurut Nurcholish Madjid, pemaknaan terhadap substansi modernis harus berorintasi kepada nilai-nilai besar Islam. Dengan demikian akan memperkuat keyakinan kita bahwa modernisasi berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja secara maksimal merupakan perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar. Karena manusia para prinsipnya akan selalu mengalami perubahan dalam setiap kurun waktu, maka modernitas merupakan kelanjutan wajar dan logis dari sejarah perkembangan manusia yang lambat atau cepat pasti akan muncul.
Hakikat zaman modern menurut Nurcholish Madjid bukan karena kebaruannya yang seolah-olah tidak ada lagi tahap yang berikutnya, modern mengisyaratkan penilaian tertentu yang cenderung positif (modern berarti maju dan baik). Bagi Nurcholis Madjid, menjadi modern juga berarti progresif dan dinamis, jadi tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada, karena itu bersifat merombak tradisi-tradisi yang tidak benar, tidak rasional, tidak ilmiah, tidak sesuai dengan hukum alam.
Zaman sekarang yang di sebut zaman modern bukanlah akhir dari perkembangan peradaban manusia, ataupun klimaks dari segala pemanfatan fungsi inderawi manusia terutama fungsi akal, karena boleh jadi setelah zaman modern ini akan ada zaman lain yang otoritas dan tingkatan ilmu pengetahuannya lebih berkembang dan canggih dari yang kita saksikan sekarang. Ini merupakan konsekuensi logis dinamika kehidupan manusia, sebab peradaban manusia telah beberapa kali mengalami (yang biasanya kita kenal) revolusi, dari revolusi Industri (teknologis) di Inggris Tahun 1793, revolusi Perancis (sosial-politik) 1798, dan juga revolusi Rusia 1917.
Meski demikian, kemodrenan kata Nurcholish Madjid adalah relatif sifatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu yang dikatakan modern dapat dipastikan menjadi kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang, sedangkan yang modern secara mutlak adalah yang benar secara mutlak, yakni Tuhan. Jadi modernitas berada dalam suatu proses penemuan kebenaran yang relatif menuju penemuan kebenaran yang mutlak, yaitu Allah.
Dalam perspektif ini, kemodrenan dengan segala implikasi sosialnya merupakan usaha kritis manusia dalam memenuhi tuntutan hidupya. Karena ia merupakan usaha manusia maka dengan sendirinya ia menjadi relatif, sebab pada dasarnya kebenaran insani apapun bentuknya menjadi relatif, dan kebenaran mutlak adalah milik Allah. Tidak seorang manusiapun berhak mengatakan kebenaran insani sebagai kebenara mutlak, sebaliknya, karena menyadari kerelatifan manusia, setiap orang harus menerima dan mendengarkan kebenaran dari orang lain. Dengan demikian akan terjadi suatu proses kemajuan yang terus menerus dari kehidupan manusia sesuai dengan fitrah dan wataknya yang hanif yakni mencari dan merindukan kebenaran.
Modernisasi sering dikaitkan erat dengan dunia Barat, karena secara kebetulan momentum zaman modern dimulai oleh Eropa Barat, sehingga akan menjadi masalah bagi bangsa-bangsa bukan Barat ketika memasuki atau tepatnya ingin melakukan usaha-usaha menuju proses modernisasi. Bangsa-bangsa non-Barat akan diperhadapkan secara dilematis antara usaha mempertahankan keaslian budaya mereka dengan sistem modernisasi yang sepenuhnya dianggap telah menyatu dengan budaya Barat.
Masalahnya semakin kompleks ketika diperhadapkan dengan asumsi sosial bahwa karena modernisasi merupakan produk Barat, maka bangsa-bangsa (terutama bangsa non-Barat) yang ingin menjadi modern harus terlebih dulu ter-Barat-kan, menggantikan budaya lokal mereka dengan kebudayaan yang mirip Barat atau mengalami westernisasi, karena westernisasi adalah pintu menuju modernisasi, seperti misalnya yang di lakukan oleh Mustafa Kemal Attaturk (Kemalisme) yang menciptakan Turki Baru di atas puing-puing kekuasaan Turki Usmani dan melakukan upaya kearah Westernisasi dan modernisasi.
Dalam menaggapi hal ini, Nurcholish Madjid menolak anggapan diikutinya proses westernisasi dalam hal modernisasi. Nurcholish Madjid mengatakan:
Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisai yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah westernisasi, sebab kita menolak westernisme. Dan westernisme yang kita maksudkan itu ialah bahwa suatu keseluruhan paham yang membentuk suatu total way of life, di mana faktor yang paling menonjol ialah sekularisme, dengan segala percabangannya…
Hal senada juga di dikatakan oleh Samuel Huntington bahwa, argumen yang didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat modern harus bercorak Barat, bahwa peradaban modern adalah peradaban Barat, bagaimanapun juga, sepenuhnya merupakan pengidentifikasian yang salah.”. Modernisasi pendek kata tidak harus berarti Westernisasi. Masyarakat non-Barat dapat saja melakukan modernisasi sekaligus mengadopsi nilai-nilai, institusi-institusi dan praktik-praktik Barat, tanpa meninggalkan budaya mereka sendiri.
Seperti yang dilakukan oleh orang Jepang dengan slogan Wakon, Yosei, “semangat Jepang, teknik Barat”. Nurcholish Madjid menilai keberhasilan Jepang dalam mengadopsi teknologi Barat modern dan membuatnya sesuai selera kejepangan merupakan keberhasilan mentransfer modernitas dari Barat sehingga menyatu dengan sistem budaya mereka secara otentik dan absah.
Melalui cara-cara yang fundamental, dunia bisa saja menjadi lebih modern dan tidak begitu ter-Barat-kan. Kasus bangsa Jepang diatas begitu meyakinkan bahwa modernisasi tidak mesti westernisasi. Ikatan-ikatan kultural, budaya-budaya pribumi, identitas-identitas lokal dan keagamaan, tetap saja dipertahankan bahkan mestinya diletakkan sebagai instrumen “filterisasi” budaya asing yang umumnya telah bercampur aduk dan dikalim menjadi bagian dari modernsasi.
Dalam memposisikan Islam dengan moderitas yang oleh kebanyakan orang dinilai dikotomis, mestinya kita kembali melihat Islam dalam semangatnya yang lebih dalam. Islam adalah sebuah agama yang mempunyai watak, visi, dan pandangan yang ke arah kemajuan. Islam justru sangat memuka peluang dan memberi tempat pada modernitas. Dalam hal ini masyarakat Islam bisa saja hidup di alam kemodrenan dengan tetap mempertahankan dan memegang teguh nilai-nilai agama yang di anut. Menjadi modern itu tidak harus menghalangi seseorang untuk tetap teguh dan kaffah dalam menjalankan ajaran agamanya. Fraseologinya seseorang bisa menjadi modern dengan tetap setia kepada Islam.
2. Sekularisasi
Pemikiran Nurcholis yang sempat menggegerkan kalangan umat Islam adalah menganjurkan suatu keharusan sekularisme dalam Islam. Makna intrinsik terkandung dalam istilah sekularisasi itu, bahwa ada kesan profanitas yang berlebihan dan kecenderungan mengabaikan masalah yang bersifat transendental.
Ide sekularisasi Nurcholish Madjid pertama kali mucul saat kesempatan memberikan ceramah dalam acara beberapa organisasi mahasiswa pada 3 Januari 1970. Nurcholish Madjid mengajurkan sekularisasi sebagai sebuah bentuk pembebasan dari segala pandangan-pandangan keliru yang dianggapnya telah mapan, namun Nurcholish Madjid sendiri tidak bermaksud menerima paham sekularisme, bahkan secara tegas ia menolaknya. Memulai anjurannya, Nurcholish Madjid mengatakan;
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia baru yang tertutup yang dipandang berfungsi sangat mirip dengan agama. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang di sangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal…
Dari penegasan tersebut, nampaknya Nurcholish Madjid ingin menjelaskan bahwa antara sekularisasi dan sekularisme merupakan dua hal yang berbeda. “Sekularisasi” cenderung kepada sebuah proses, dan “sekularisme” dengan isme-nya merupakan bentuk kepercayaan yang dianggap sebagai padanan agama, seperti yang ada pada dua ideologi besar dunia, sosialisme-komunis dan kapitalisme-sekuler yang dalam prosesnya berusaha melepaskan ketergantungan manusia dari asuhan agama.
Dengan mengutip pandapat Talcoot Parson, Nurcholish Madjid menunjukkan bahwa sekularisasi sebagai suatu proses sosiologis, lebih banyak mengisyaratkan pengertian pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma dan nilai kemasyarakatan.
Penegasan lebih jelas tentang penggunaan istilah sekularisasi, Nurcholish Madjid mengatakan; Jadi sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut, sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas dunawi manusia sebagai “khalifah Allah di bumi”. Fungsi sebagai khalifah Allah itu memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tidakan dalam rangka perbaikan-perbaikan hidupnya di atas bumi ini…
Secara sosiologis, sekularisasi adalah manifestasi pandangan manusia sebagai khalifah Allah. Dunia dan alam diserahkan kepada kebebasan dan tanggungjawab manusia, untuk di manfaatkan. Maka seperti yang di katakan Nurcholish Madjid, sekularisasi adalah pembebasan dari asuhan agama, sebagai cara beragama secara dewasa, beragama dengan penuh kesadaran dan pengertian, tidak sekedar konfensional belaka.
Dalam hal penggunaan istilah sekularisasi diatas, Nurcholish Madjid seakan ingin memberikan sebuah pemahaman tentang pentingnya membedakan agama dan paham keagamaan. Menurut Nurcholish Madjid, agama dan paham keagamaan adalah sesuatu yang berbeda. Agama adalah sesuatu yang mutlak karena berasal dari Tuhan, yang maha mutlak, tetapi pemahaman keagamaan, cara manusia memahami agama tersebut terdapat unsur-unsur yang berbeda dalam lingkungan daya dan kemampuan manusia untuk melaksanakannya. Daya dan kemampuan manusia adalah bernilai manusiawi, karena ia berada pada diri manusia itu sendiri.
Pemahaman keagamaan menurut Nurcholish Madjid lahir dari pada usaha-usaha keras (ijtihad) manusia terhadap pesan-pesan yang di sampaikan Tuhan, sehingga jelas mengisyaratkan adanya intervensi manusia dalam mamahami agama itu sendiri. Pemahaman terhadap agama itu sendiri, oleh Nurcholish Madjid tidak boleh disaklarkan, sehingga diperlukan secara kontinyu usaha-usaha membangkitkan kembali ilmu pengetahuan yang telah hilang di masa-masa kejayaan masyarakat salaf untuk memahami kembali pesan-pesan agama.
Matinya ilmu pengetahuan dalam Islam menurut Nurcholish Madjid adalah akibat melemahnya kondisi sosial politik dan ekonomi dunia Islam, disebabkan percekcokan yang tidak habis-habisnya dikalangan mereka tidak dalam bidang-bidang pokok melainkan dalam bidang-bidang kecil seperti masalah fiqih dan peribadatan. Perdebatan itu justru diakhiri dengan menutup sama sekali pintu ijtihad, dan mewajibkan setiap orang taqlid kepada para pemimpin atau pemikir keagamaan yang telah ada, yang berakibat mematikan kreatifitas individual dan sosial kaum Muslim.
Dalam hubungan ini, dapatlah kita mengerti mengapa Nurcholish Madjid menyesalkan keputusan para pemuka Islam untuk menutup pintu ijtihad. Sehingga yang terjadi ialah umat Islam kehilangan kreatifitas dalam kehidupan duniawi, dan mengesankan seolah-olah mereka telah memilih untuk tidak berbuat, dengan kata lain mereka telah kehilangan semangat ijtihad.
Umat Islam sekarang, menurut Nurcholish Madjid cenderung memahami Islam hanya dari satu sisi ilmu tradisional Islam saja, yakni ilmu fiqih yang hanya membidangi segi-segi formal peribadatan dan hukum, sehingga tekanan orientasinya sangat eksoteristik, mengenai hal-hal lahiriah. Sementara ilmu-ilmu tradisional Islam lain, yakni Falsafah, Kalam, dan Tasawuf masih kalah mendalam dan meluas. Nampaknya Nurcholish Madjid menginginkan umat Islam tidak secara parsial memahami Islam dengan hanya menakankan pada masalah fiqhiyah. Apalagi fiqih itu sendiri tak lebih merupakan usaha-usaha ulama dalam mengkontektualisaikan ajaran Islam. Secara logis karena ulama itu sendiri adalah manusia, maka tafsiran ulama tersebut tidak bisa dilepaskan dari sifat kemanuisaannya, dan tak pantas dianggap absolut. Karena mengabsolutkan pikiran ulama – sama artinya mengabsolutkan sesuatu selain Tuhan – secara theologis bisa berakibat pada kesyirikan kepada Allah, Tuhan yang maha absolut. Bagi saya inilah titik pangkal semangat istilah sekularisasi yang di maksudkan Nurcholish Madjid.
Selain paham sekularisme Nurcholish juga membawa paham “Islam Yes, Partai Islam No”, jika partai-partai Islam itu merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, maka ide-ide itu dalam keadaan tidak menarik. Penolakan terhadap partai Islam atau Negara Islam bertolak dari pengertian hakikat Islam itu sendiri. Dalam konteks tersebut Nurcholish menggambarkan bahwa pengertian Islam hakiki bukanlah struktur atau kumpulan hukum, yang bias melahirkan formalism agama, tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid yang bias melahirkan jiwa yang hanif, terbuka, demokratis atau paling tidak mampu menempatkan dirinya dalam konfigurasi pluralistik
3. Desaklarisasi
Kalau diteliti lebih serius, ide sekularisasi secara substantif sudah inklud didalamnya semangat ide desaklarisasi Nurcholish Madjid. Tapi baiklah karena bagi penulis ada semacam keharusan untuk membuat sub bab khusus mengenai ide desaklarisasi, penulis akan mencoba menguraikannya secara ringkas. Karena adanya tuntutan tersebut, maka dalam menguraikan ide sekularisasinya penulis tidak terlalu jauh membahas masalah teologis, sebab menurut penulis ide desaklarisasi lebih ditekankan pada masalah teologis.
Ide desaklarisiasi Nurcholish Madjid berpangkal pada semangat perkataan “Tawhid” (di Indonesiaan menjadi tauhid) yang mengandung makna pembebasan, yakni pembebasan dari segala obyek duniawi, moral maupun material berupa nilai-nilai dan benda-benda. Jadi sederhananya, menurut Nurcholish Madjid, Tauhid yang mengajarkan sikap memahaesakan Tuhan itu memiliki konsekusensi pembebasaan diri dari segela sesuatu yang membelenggu selain Tuhan. Menyangkut konsekuensi perkataan tauhid tersebut Nurcholish Madjid menjelaskan;
…Sebenarnya pandangan yang wajar dan apa adanya kepada dunia dan masalahnya, secara otomatis harus dipunyai oleh seorang Muslim, sebagai konsekwensi logis dari tauhid. Pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, sebenarnya, harus melahirkan desaklarisasi pandangan terhadap selain Tuhan, yaitu dunia dan masalah-masalah serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya. Sebab saklarisasi kepada sesuatu selain Tuhan itulah, pada hakikatnya yang dinamakan syirik, lawan tauhid. Maka sekularisasi itu memperoleh maknanya yang konkret, yaitu desaklarisasi terhadap segala sesuatu selain hal-hal yang benar-benar bersifat Ilahiah (transendental), yaitu dunia ini.
Dari semangat Tauhid ini, lahir istilah – yang biasanya digunakan Nurcholish Madjid –“monoteisme radikal”. Semangat Tauhid tidak hanya berimplikasi sebagai mehamesakan Tuhan saja, tetapi juga memiliki efek pembebesan diri dan pembebasan sosial yang sangat kuat. Efek pembebasan itu sesuai dengan semangat dan fitrah kemanusiaan sebagai ciptaan Tuhan yang paling tinggi, yang karenanya manusia itu harus merdeka.
Disebutkan dalam kitab suci bahwa manusia harus meletakkan dirinya dalam keimanan, karena dia secara alami dan merupakan sifat bawaan untuk cenderung kepada kebenaran (hanif-an) karena manusia secara alami adalah lurus. Kecederungan tersebut adalah konsekuensi sifat alami manusia yang telah ditanamkan dalam manusia. Sifat alami kepada kelurusan tak dapat di ubah dan bukan merupakan hal yang dapat di ubah selamanya, karena merupakan sifat perennial pada manusia. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surah ar-Rum/30:30;
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Perkataan Tauhid dan masalah percaya kepada Tuhan yang maha Esa menurut Nurcholish Madjid, masih harus di bicarakan kembali, sebab ada kesan bahwa ber-Tauhid hanyalah berarti percaya kepada Tuhan. Ternyata jika kita teliti lebih mendalam dan teliti al-Qur’an, tidaklah sepenuhnya demikian. Masih ada hal penting yang harus diikuti dari semangat perkataan Tauhid itu, yakni menghilangkan paham syirik, paham yang menganggap Tuhan memiliki serikat atau sekutu. Inilah salah satu bentuk semangat Tauhid yang belum sepenuhnya mendasari konsekuensi logis paham ke-Tuhan-an.
Nurcholish Madjid mencontohkan hal tersebut dengan orang-orang musyrik di Makkah yang dalam al-Qur’an digambarkan, mereka juga percaya kepada Allahnamun mereka tidak bisa dikatakan sebagai kaum beriman (al-mu’minun) dan kaum bertauhid al-muwahhidun), tapi sebaliknya disebut kaum yang mempersekutukan Tuhan atau memperserikatkan Tuhan (al-musyrikun, penganut paham syirik, yakni oknum yang menyertai Tuhan dalam hal keilahian. Padahal merekapun tahu dan sadar betul bahwa sekutu Tuhan itu adalah ciptaan Tuhan juga, bukan Tuhan itu sendiri. Hal ini digambarkan dalam al-Qur’an;
Dan sungguh jika kamu (Muhammad) bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan mereka (sesama manusia yang mereka sembah selain dari Allah it?), niscaya mereka menjawab, “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari kebenaran)?.
Tradisi masyarakat Arab seperti yang digambarkan al-Qur’an diatas memberikan gambaran bahwa, percaya kepada Allah tidak dengan sendirinya berarti tauhid. Sebab percaya kepada Allah itu masih ada kemungkinan percaya kepada yang lain-lain sebagai peserta Allah dalam keilahian, Dan inilah problem manusia. Jika manusia tidak melakukan ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan secara mutlak, maka yang terjadi adalah manusia pasti akan tunduk kepada yang relatif. Manusia harus memperkuat ikatan dengan Tuhannya sehingga manusia dapat terbebaskan dari ikatan-ikatan atau dominasi sesuatu yang derajatnya lebih rendah dari manusia itu sendiri. Yaitu manusia yang sikap tauhidnya belum tercemari oleh nafsu pemujaan terhadap berhala materi.
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, problem utama umat manusia ialah politheisme, bukan ateisme, maka program pokok al-Qur’an ialah membebaskan manusia dari belenggu paham Tuhan banyak itu dengan mencanangkan dasar kepercayaan yang diungkapkan dalam kalimat “al-nafy wa al-itsbat” atau “negasi-konformasi” yaitu La ilaha illa Llahyang oleh Marshall Hodgson disebut sebagai ”rumusan kepercayaan Muslim”. Dengan negasi itu dimulai proses pembebesan yaitu pembebasan dari belenggu kepercayaan kepada hal-hal yang palsu. Tetapi demi kesemprunaan kebebesan itu manusia harus mempunyai kepercayaan kepada sesuatu yang benar. Sebab hidup tanpa kepercayaan sama sekali adalah sesuatu yang musthail.
Dengan demikian, Nurcholish Madjid merupakan salah satu tokoh pembaruan pemikiran Islam Indonesia pada dekade 1970-an. Dasar pembaruannya adalah tauhid yang dalam khazanah pembaruan pemikiran Islam Indonesia pada masa itu justru di anggap radikal. Namun kini pemikiran seperti itu tidak terlalu mengejutkan lagi karena kedewasaan intelektual umat Islam sudah dianggap baik disbanding masa lalu atau tahun 70-an. Karenanya Nurcholish telah menambah khazanah pemikiran dalam Islam. Beberapa pemikiran Nurcholish di atas telah menggugah umat Islam dari tidur yang panjang karena sejak pintu ijtihad tertutup, umat Islam telah mengalami degenerasi dan dekadensi akidah serta kehidupan sosial yang bertentangan dengan semangat egalitarian seperti diajarakan Islam. Dengan meraja lelanya bid’ah, dan khufarat yang membuat Islam buta terhadap ajaran Islam serta umat dalam kondisi statis, sehingga Islam menjadi mundur. Pemikiran Nurcholish sungguh cemerlang untuk membawa umat Islam menjawab tantangan zaman, yaitu penggunaan akal sebagai upaya pembebasan manusia dari kungkungan kultural, pemikiran keagamaan yang membelenggu dan menghalangi manusia untuk berpikir. Penggunaan akal merupakan petunjuk agama yang harus dilaksanakan oleh umat Islam sebagaimana dianjurkan Al-Qur’an.
3. Analisis
(Pertanyaan Diskusi)
1. Sejak kapan Nurcholish Madjid mempunyai ide pemikiran Modernisasi dan sekukerisasi? sejak menjadi Mahasiswa apa Setelah lulus dari Chicago Amerika?
2. Apakah Nurcholish Madjid menganggap Islam tidak modern?Jika iya, apa tedensi Nurcholish madjid?
3. Panji Gumilang adalah seseorang yang ingin membuat Negara Islam di Indonesia, melihat konsep Nurcholish Madjid tentang Islam yes, Partai Islam No,apakah sama ide pemikiran Nurcholish dengan Panji Gumelang?
4. Bagaimana kaitan Nurcholish Madjid dengan Nabi Muhammad SAW dengan pembentukan Negara Madinah, Bagaimana Negara Islam yang kaffah?
Hasil Analisis
Nurcholis Madjid dibesarkan dilingkungan keluarga kiai terpandang. Ayahnya bernama KH. Abdul Madjid, seorang ulama terkemuka di kalangan NU. Pendidikan yang ditempuh sejak Sekolah Rakyat dan Madrasah Ibtidaiyah, Pesantren Darul-ulum, Kulliyatul Mu’allimin (KM) Pondok pesantren modern Gontor Ponorogo. Setelah itu ia melanjutkan studinya ke IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968. Selama menjalani aktifitas kemahasiswaannya aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Diantaranya adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan sekaligus pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI selama dua periode sejak 1966-1969 dan 1969-1971). Pada tahun 1967-1969, ia menjadi Presiden Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students Organizations tahun 1969-1971. Awalnya Nurcholish Madjid menolak konsep Modernisasi yang ditawarkan konsep barat yang artinya sebagai gerakan pembaharuan yang berawal di Eropa menawarkan cara pandang baru terhadap fenomena kebudayaan. Modernitas muncul sebagai sejarah penaklukan nilai-nilai lama abad pertengahan oleh nilai-nilai baru modernis. Kekuatan rasional digunakan untuk memecahkan segala persoalan kamanusiaan dan menguji kebenaran lain seperti wahyu dan mitos tradisional, kemudian Nurcholish Madjid diundang untuk menghadiri undangan di barat berdiskusi modernisasi, setelah selesai Nurcholish Madjid tidak langsung pulang ke Indonesia, akan tetapi, mengunjungi beberapa Negara di Timur Tengah, setelah itu kembali ke Indonesia, setelah itu Nurcholish Madjid merasa di Barat banyak menemukan nilai-nilai Islam daripada di Timur tengah yang mayoritas Islam,seperti toleransi, disiplin,dll. Setelah itu muncullah ide modernisasi, umat Islam harus mengubah pola pikir, yang mana menurut Nurcholish Madjid modernisasi ialah rasionalisai yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. maka Islam menurut Nurcholish Madjid, adalah agama yang sangat modern bahkan terlalu modern untuk zamannya,karena Islam adalah agama yang secara sejati memiliki hubungan organik dengan ilmu pengetahuan dan mampu menjelaskan kedudukan ilmu pengetahuan tersebut dalam kerangka keimanan. Sejak 1978 ia melanjutkan studinya di University of Chicago USA dan meraih gelar Doktor (Ph.D Study Agama Islam) pada tahun 1984 dengan disertasi berjudul Ibn Taimiyah on Kalam and Falsafah: Problem of Reason and Revelation in Islam, (Ibn Taimiyah Tentang Kalam dan Filsafat: Suatu Persoalan Hubungan Antara Akal dan Wahyu Dalam Islam). Setelah kembali ke tanah air pasca menyelesaikan studinya di AS, NM kemudian mendirikan Yayasan Wakaf Paramadina.
Sesuai dengan rumusan Nurcholish Madjid bahwa wujud nyata masyarakat madani tersebut untuk pertama kalinya dalam sejarah umat manusia merupakan hasil usaha Nabi Muhammad SAW di kota Yastrib, kemudian di kota Madinah, maka untuk menyusun masyarakat Madani Nabi menetapkan suatu dokumen Piagam Madinah, dengan piagam ini proses pembentukan masyarakat madani dapat terlaksana, sebab dapat menyatukan berbagai komunitas yang sangat majemuk dan heterogen di Yastrub ketika itu. Sebelum itu kota Madinah terdiri dari Yahudi dan Arab. Yang mana Yahudi dan Nasrani terpecah menjadi beberapa kelompok.
Setibanya di Yastrib, Muhammad mulai membangun tatanan hidup kemajemukan penghuni kota Yastrib yang meliputi semua golongan yang ada di kota Yastrib, menurut Nurcholish Madjid, inilah gebrakan terpenting yang dilakukan Nabi yaitu mempersaudarakan muhajirin dan anshar, sedemikian kentalnya, meskipun tidak mempunyai hubungan darah, dan dapat saling mewarisi. Menurut Nurcholish Madjid, inilah dokumen politik pertama dalam sejarah umat manusia yang meletakkan dasar-dasar pluralisme dan toleransi. Islam Yes, Partai Islam No, Dalam konteks Indonesia yang sedang mengalami proses modernisasi dalam berbagai bidang sosial, politik, dan ekonomi, jelas dibutuhkan sebuah agama yang mampu memberikan landasan nilai dan moral universal. Dalam kaitan ini, komitmen Nurcholish Madjid begitu tinggi dan terlihat jelas pada Islam, bukan pada keislaman. Sehingga ia melontarkan gagasan Islam Yes, Partai Islam No, sebuah pemikiran baru yang dilontarkan Nurcholish Madjid untuk mengkounter banyaknya bermunculan partai-partai Islam ketika itu. Lontaran Nurcholish Madjid, Islam Yes Partai Islam No, juga berangkat kekecewaan atas partai-partai Islam yang tidak berhasil membangun image positif dan simpatik, bahkan yang ada sebaliknya.
Dengan kata lain, penolakan terhadap instituti kepartaian politik Islam haruslah dipahami sebagai penolakan bukan karena Islamnya, tetapi penolakan terhadap penolakan terhadap pemanfaatan atas Islam oleh mereka yang terlibat dalam kehidupan partai politik Islam. Tingkat laku politik dan pemanfaatan atas Islam oleh mereka terlibat dalam kehidupan partai politik Islam. Tingkah laku politik dan pemanfaatan Islam seperti itu pada gilirannya justru menjatuhkan nilai-nilai ajaran Islam yang sebenarnya. Menurut Nurcholish Madjid memandang umat Islam tidak patut mendirikan Negara Islam dengan menjadikan Islam sebagai kendaraan politiknya. Pemikiran ini cukup beralasan mengingat bangsa Indonesia yang sangat majemuk, bukan hanya dari suku, bangsa, bangsa dan agama, tetapi kemajemukan yang sangat komplek sekali.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Biografi
Tokoh kelahiran Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H dari keluarga kalangan pesantren. Nurcholish Majdid dibesarkan dilingkungan keluarga kiyai terpandang. Ayahnya bernama KH. Abdul Madjid, seorang ulama terkemuka di kalangan NU. Nurcholish Majdid wafat Pada 29 Agustus 2005.
2. Ide Pemikiran
A. Modernisasi
modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantikannya dengan bola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaanya ialah untuk memperoleh daya-guna dan efisiensi yang maksimal. Jadi sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam alam. Menurut Nurcholish Madjid modernisasi ialah rasionalisai yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Sekularisasi
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme, sebab sekularisme adalah nama sebuah ideologi, sebuah pandangan dunia baru yang tertutup yang dipandang berfungsi sangat mirip dengan agama. Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk perkembangan yang membebaskan. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang di sangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal…
Jadi sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya. Dengan demikian, kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral ataupun historis, menjadi sifat kaum Muslimin.
3. Desaklarisasi
Ide desaklarisiasi Nurcholish Madjid berpangkal pada semangat perkataan “Tawhid” (di Indonesiaan menjadi tauhid) yang mengandung makna pembebasan, yakni pembebasan dari segala obyek duniawi, moral maupun material berupa nilai-nilai dan benda-benda. Jadi sederhananya, menurut Nurcholish Madjid, Tauhid yang mengajarkan sikap memahaesakan Tuhan itu memiliki konsekusensi pembebasaan diri dari segala sesuatu yang membelenggu selain Tuhan.
Dengan demikian, Nurcholish Madjid merupakan salah satu tokoh pembaruan pemikiran Islam Indonesia pada dekade 1970-an. Dasar pembaruannya adalah tauhid yang dalam khazanah pembaruan pemikiran Islam Indonesia pada masa itu justru di anggap radikal. Namun kini pemikiran seperti itu tidak terlalu mengejutkan lagi karena kedewasaan intelektual umat Islam sudah dianggap baik disbanding masa lalu atau tahun 70-an. Karenanya Nurcholish telah menambah khazanah pemikiran dalam Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadir Djaelani, Menelusuri Kekeliruan Pembaharuan Pemikiran Islam Nurcholis Madjid, Yadia;Bandung, 1994
Abdulah, M. Amin, Dialektika Agama Antara Profanitas dan Sakralitas, Pengantar dalam Moh. Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, Mencari Solusi Perdebatan Tradisionalisme dan Liberalisme, (Cet; I, Jogjakarta, IRCiSoD; 2006
Ali, Fachry, dalam, Jalaluddin Rahmat, et.al, Prof. Dr. Nurcholis Madjid, Jejak Pemikiran Dari Pembaharu Sampai Guru Bangsa, Cet;II,Yogyakarta,Pustaka Pelajar;Agustus 2003
Halim, Abdul, Menembus Batas Tradisi, Menuju Masa Depan Yang Membebasaskan, Refleksi atas Pemikiran Nurcholis Madjid, Cet, II; Jakarta, Kompas; Oktober 2006
Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam, Consciense and History in a World Civilization, Jilid I. Diterjemahkan oleh Mulyadhi Kartanegara dengan judul The Venture of Islam, Iman dan Sejarah Dalam Peradaban Dunia, Cet; II, Jakarta, Paramadina; Agustus 2002
Hidayat, Komaruddin dan M. Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan, Perspektif Filsafat Perennial, Terbitan Ulang Paramadina, Jakarta; Maret 2003
Madjid, Nurcholis, Islam Doktirn dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentag Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodrenan, Penerbit; Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, Cet; I, 1992
Madjid, Nurcholis, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia, Cet, I; Jakarta, Paramadina; Januari 1997
Madjid, Nurcholish,. Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan.,Bandung: Mizan.1998
Madjid, Nurcholis dkk, Islam dan Humanisme, Artikulasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal, Cet;I, Yogyakarta,Pustaka Pelajar;Januari 2007
Rasyidi, M. Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid Tentang Sekularisasi, (Bulan Bintang;Jakarta 1972
Ridwan, M. Deden. Tempo dan Gerakan Neo- Modernisme Islam Indonesia, “ Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Ulumul Qur’an, Edisi Nomor 3 Vol VI
Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, di terjemahkan oleh M. Sadat Ismail dengan judul, Benturan Antarperedaban dan Masa Depan Politik Dunia, Cet, XI; Yogyakarta, Qalam; Juni 2005
Taufik, Akhmad,dkk. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam,Jakarta: Raja Grafindo. 2005
No comments:
Post a Comment