A. Sejarah
Hidup
Ibnu Sab’in adalah Abd al-haq bin Ibrahim bin Muhammad
bin Nashr bin Muhammad. Sang teosof kenamaan Andalus, yang telah dikenal di dunia
Barat, Eropa, dengan jawaban-jawaban cerdas atas pertanyaan-pertanyaan seputar
permasalahan filosofis yang telah diajukan oleh Frederic II, seorang raja
Romawi. Ibnu Sab’in memiliki segudang jejuluk,
di antaranya “Aby Muhammad”, di dunia Timur-Islam dikenal dengan “Qatb
al-Dien”. Dia juga mendapatkan jejuluk
yang telah disandarkan kepada nama negara kelahirannya, seperti “al-Andalusi”,
dan disandarkan pada nama salah satu daerah yang ada di Andalus, seperti
“al-mursiy”, “Riqatiy”, “al-Isbiliy” dan “al-Qasthalani”. Akan tetapi jejuluk yang paling tenar
dan banyak dipakai adalah “Ibnu Sab’in”.[1]
Sudah barang tentu
pasti ada anggapan yang terbersit di benak, Ibnu Sab’in adalah nama dan julukan
yang cukup aneh dan sekaligus nyentrik. Secara pemaknaan literalisnya, Ibnu
Sab’in adalah ‘Sang Anak Tujuh Puluh’. Namun hal ini adalah benar adanya jika
kita menghindari dari anak dalam pemaknaan yang bersifat biologis. Mengapa dia
dijuluki Ibnu Sab’in? Para ahli benganalisa,
karena setiap menulis nama dengan menggunakan nama Abd al-Haq dan sambil
ditulis sebuah lingkaran: O. Dan satu waktu namanya ditulis dengan nama “Ibn O”
(Anak Lingkaran). Dan Firuz Abadi dalam al-Qamus
al-Muhiyt mengatakan bahwa “Lingkaran” (=O) adalah sesuatu yang
meliputi segala sesuatu seperti sebuah kawasan, yang menurut ilmu Huruf sama
sebanding atau senilai dengan huruf ‘Ain
yang senilai 70 (tujuh puluh). Jadi jika dia menulis namanya dengan “Ibnu O”=’Ain=Ibnu Sab’in (Anak
Tujuh Puluh).[2] Dan dia juga disapa dengan Syekh al-Sab’iniyah, yang
telah disandarkan pada nama tarekat yang didirikannya, yang diberinama oleh
para pengikutnya dengan tarekat al-Sab’iniyyah.
Dan para analis
kesusahan menelisik lebih jauh siapa gerangan master atau guru bagi sang teosof
kita, Ibnu Sab’in. Sebagian berpendapat ada tiga master yang dianggap sebagai
guru Ibnu Sab’in, yaitu pertama, Ibn Daqqaq, yaitu Ibrahim bin al-Yusuf bin
Muhammad bin al-Daqqaq al-Uwesy, yang terkenal disapa dengan Aby al-Ishaq atau
Aby al-Mir’ah. Dia adalah seorang teolog yang cukup lama bermukim di Andalus,
di mana pada waktu di Andalus, dia telah mengajar tentang teologi, tasawwuf,
dan disiplin ilmu yang lainnya. Dia pindah ke Mursiya sampai wafatnya pada 611
H. (1214 M.—1215 M.), meninggalkan beberapa karya di antaranya, komentar atas Kitab al-Irsyad, Aby
al-Ma’aly al-Juwaeni, komentar atas al-Asma’
al-Husna, komentar atas al-Mahasin
al-Majalis, Aby al-‘Abbas Ahmad bin al-‘Aryf dan sejumlah karya
yang lain. Kedua, Al-Buni, yaitu Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Ali Yusuf al-Qursy
Muhyi al-Din. Dia adalah pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf, wafat
pada 622 H. (1225 M.), di mana dia telah berhasil menulis karya dalam bidang
yang digelutinya, yaitu Syamsul
al-Ma’arif wa al-Lathaif al-‘Awarif dan karya yang lain dalam
bidang yang sama. Dan ketiga, al-Harani, yaitu Abu al-Hasan bin Ali bin
Muhammad bin Ibrahim bin Muhammad al-Hurani, wafat pada 538 H., dia adalah
seorang pakar dalam bidang ilmu nama-nama dan huruf dan dia termasuk gurunya
al-Buny.
Kalau kita analisa
lebih jeli adalah mustahil jika Ibnu Sab’in belajar secara langsung (talaqi) dengan ketiga
guru yang telah di sebutkan di atas, karena melihat tahun kelahiran Ibn Sab’in
pada 614 H., sementara Ibn al-Daqqaq wafat pada 611 H., al-Buni wafat pada 622
H. dan al-Hurani wafat pada 538 H.. Dan yang benar adalah bahwa Ibn Sab’in
telah mempelajari semua karya ketiga master itu secara outodidak, belajar
sendiri, dengan tanpa bertemu secara langsung dengan mereka, dan dia
terpengaruh serta mengadopsi pemikiran-pemikirannya. Asumsi ini diperkuat oleh
pernyataan salah satu murid Ibn Sab’in, komentator Risalah al-‘Ahd, yang menyatakan dengan
jelas, bahwa gurunya (Ibnu Sab’in) telah menghasilkan atau menimba ilmu para
pendahulu dengan murni mempelajari dari buku-buku karya mereka. Dan dikatakan
bahwa “Ibnu Sab’in tidak tidur setiap malam demi mempelajari dan
membolak-balikkan lembaran kertas yang berisi tiga puluh tulisan orang lain.”[7]
B. Karya-karyanya
Ibnu Sab’in adalah tergolong teosof yang cukup
produktif. Dan tulisan-tulisannya syarat dengan simbolisme yang tidak mudah
untuk ditembus, sebagian dari tulisannya hanya bisa difahami melalui disiplin
ilmu nama-nama dan huruf. Di antara karyanya dalam bidang tasawuf falsafi
yaitu, Badu al-‘Arif,
Risalah al-Fath al-Musyrik,
Jawab Shahib Shaqaliyyah, Risalah al-Ihathah, Kitab al-Alwah atau Khithabullah Bi Lisani Nurihi,
al-Risalah al-Qausiyyah, Kitab al-Qisth, Risalah Li Ibn Sabin: Istami’ Li Ma
Yuha wa Yustaqra, Risalah Ibn Sabin Awwaluha, Risalah Ibn Sabin Awwaluha,
Rukrah ‘Irfah, Natijah al-Hikam, al-Risalah al-Usbi’iyyah, al-Risalah fi
al-Hikmah, Kitab al-Buhat, al-Kitab al-Kabir, al-Jauhar, Kitab al-Kid, Risalah
al-Tawajjuh, dan Diwanu
Syi’ir.
Karya-karyanya
yang membicarakan seputar moralitas tasawuf dan ritual-aplikatif, yaitu Risalah al-‘Ahd, al-Risalah
al-Nuriyah, atau lebih tenar disebut Kitab al-Nasihah, al-Risalah al-Faqiriyyah, al-Risalah dan al-Ridwaniyyah. Ibnu
Sab’in juga menulis tentang doktrin untuk murid-murid dan pengikutnya yang
berisi tiga poin doktrin, yaitu Kitab
al-Safar, Hizb al-Fathi wa al-Nur, Hizb al-Faraj wa al-Ihtikhlash,
dan Da’wah Harf al-Qaf.
Dan karya-karyanya
yang berkaitan dengan bidang ilmu huruf dan nama-nama, yaitu Kitab al-Daraj, al-Durrah
al-Mudzhiyah wa al-Khafiyyah wa al-Syamsiyyah, Lisan al-Falak al-Natiq ‘An
Wajhi al-Haqaiq, Risalah Fi Asrar al-Kawakib wa al-Darraj wa al-Buruj wa
Khawasiha, Syarkh Kitab Idris (AS.), dan Lamhah al-Huruf.
Ada beberapa karya
yang sebenarnya bukan tulisan Ibn Sab’in, akan tetapi sebagian kelompok
menganggap karya Ibn Sab’in, yaitu Asrar
al-Hikmah al-Masryqiyyah, al-Adwar, Kalamun Fi al-‘Irfan, Risalah al-Washaya wa
al-‘Aqaid, dan Risalah
Tartib al-Suluk.
C. Sikap Kritis Ibnu Sab’in Kepada Para Filosof Pendahulu
Ibnu Sab’in memiliki tradisi kepustakaan ilmiyah yang
sangat luas dan bermacam-macam. Dia adalah teosof yang berhasil mempelajari
secara kritis terhadap tradisi filsafat dari semua penjuru peradaban. Dia
mempelajari aliran-aliran filsafat Yunani, filsafat Timur kuno seperti
Hermesian, filsafat Persia dan India, aliran-aliran filsafat Islam bagian Timur
seperti al-Farabi dan Ibn Sina, aliran-aliran filsafat Islam bagian Barat
seperti Ibnu Bajah, Ibnu Thufeil dan Ibnu Rusyd, mempelajari secara mendalam Rasa’il Ihwan al-Shafa,
mengetahui secara detail aliran teologi khususnya al-Asy’ariyah, dan tidak
ketinggalan dimensi tasawuf juga dia kuasai dengan baik.
Dia juga dianggap
terpengaruh oleh tarikat al-Syaudziyyah, sebuah tarikat yang dinisbahkan pada
al-Syawdzy al-Isybiliy, guru Ibn Daqqaq, yang termasuk tarikat yang
memodifikasi antara unsur filsafat dan tasawuf. Ibn sab’in dianggap
perpanjangan dari aliran Ibn Masarah (269-319 H.), seorang sufi Andalus yang sangat
berpengaruh, akan tetapi Ibnu Sab’in menghampirinya dengan kritis. Ibnu Sab’in
mengkritik filsafat Ibnu Arabi sebagai filsafat pemula.
Ibnu Sab’in
meninggalkan tarikat sufi yang dinamai dengan al-Sab’iniyyah, yang, bagi
tradisi sufistik, dianggap sebagai tarikat yang nyentrik dan sekaligus nyeleneh. Para pengikutnya, memiliki silsilah maha guru-guru
tarikat itu lain dari tarikat manapun. Silsilah maha guru-guru tarikat itu
yaitu Hermes, Socrates, Plato, Aristoteles, Iskandar Agung, al-Hallaj, al-Nifari,
al-Hibaysy, Qulayb al-Ban, al-Syudy, al-Suhrawardi al-maqtul (sang martir), Ibnu al-Faridl,
Ibnu Qusay, Ibnu Masarah, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Thufeil, Aby Madyan
(al-Talamsany), Ibnu Arabi, al-Hurani, ‘Adi bin Musafir, dan Ibnu Sab’in.
Tarikat ini adalah tarikat eklektis, yang dibangun dari nilai-nilai positif dan
asumsi-asumsi ilmiyah yang ada pada konsep-konsep Yunani, filsafat Islam bagian
Barat dan filsafat Islam bagian Timur.[23]
Meskipun Ibnu Sab’in
mengadopsi filsafat para pendahulunya, dia tidak kehilangan daya kritisnya. Dia
mengkritisi Ibnu Rusyd sebagai intelektual dan filsuf yang tidak orisinil,
taklid buta atas filsafat Aristoteles, dan sejatinya dia hanya sedikit ilmu
yang dimilikinya.[24] Akan tetapi menurut Abdurahman Badawi bahwa yang
dimaksud dengan perkataan Ibnu Sab’in bahwa hanya sedikit ilmu yang miliki Ibnu
Rusyd, bahwa Ibnu Rusyd miskin dengan ilmu hakikat dan penyingkapan sufistik.[25] Sementara ilmu yang lainnya, Ibnu Rusyd sangat luas
dan tidak bisa diragukan lagi.
Dia mengkritik
al-Farabi sebagai filosof yang dalam beberapa pernyataan filosofisnya
kontradiktiv dan kacau. Dia menilai bahwa pendapat-pendapat al-Farabi sering
bertentangan antara pendapat yang ada pada salah satu karyanya dengan karya
yang lain, seperti dalam permasalahan kekalnya jiwa. Akan tetapi dia sangat
respek terhadap al-Farabi. Dia menilai al-Farabi adalah filsuf Islam yang
paling faham ilmu para pendahulu, tidak ada yang lainnya.[26]
Dia telah mengkritik
pedas Ibnu Sina, yang dia katakan sebagai, “palsu, sofis, banyak dentaman,
sedikit faidah”. Dan dia juga mengkeritik dengan tidak kalah pedasnya pada
al-Ghazali bahwa Ghazali adalah “lidah tanpa penjelasan, suara tanpa ungkapan,
seorang yang paradok, kebingungan yang mengiris hati. Satu saat seorang sufi,
saat yang lain sebagai seorang filosof, ketiga, seorang Asy’ariyyah, kelima,
seorang ahli fiqh. Dan pencapaiannya terhadap ilmu para pendahulu sangat lemah,
lebih lemah daripada jahitan jejaring laba-laba dan memasuki dunia tasawuf pun
dalam keadaan darurat atau ‘genting’ sehingga tidak bisa dicapai.” Namun, Ibnu
Sab’in mengapresiasi al-Ghazali sebagai ulama yang memiliki banyak pengikut.[27]
Dan masih banyak
lagi keritik pedas yang dialamatkan kepada para filsuf Islam dan Yunani,
lebih-lebih keritik yang tidak kenal ampun dialamatkan juga kepada musuh
bebuyutannya, yaitu ulama fiqh. Kritik bisa muncul setelah betul-betul
menguasai dan memahami sesuatu yang dia kritik, untuk kemudia dia berusaha
mengusung nalar dan filsafat baru.
Wihdatul al-Mutlaqah
“Allah faqat!” (Allah saja), begitulah ungkapan yang berulang kali
diucapkan Ibn Sab’in di setiap lembaran yang ada pada salah satu karya, al-Alwah, dan ini adalah
premis mayor dalam pandangannnya yang berkaitan dengan wahdah al-mutlaq. Ibn
Sab’in adalah pendiri trend
wahdah al-Mutlaq dalam menjelaskan entitas wujud. Landasar
berfikirnya cukup simpel, yaitu bahwa wujud adalah satu, hanya wujud Allah
saja, sementara wujud semua maujud adalah wujud dari entitas wujud yang satu,
tidak ada tambahan apa-apa, dan wujud di sini pada hakikatnya adalah premis
yang satu dan yang tetap.
Wujud Allah adalah
sumber bagi entitas yang ada dan entitas yang akan ada, wujud materi yang bisa
dilihat dikembalikan pada wujud mutlak yang bersifat ruhy (immateri/spiritual). Dari
sini, Ibn Sab’in memaknai wujud adalah wujud yang bersifat immateri, bukan
materi.
Wujud, menurut Ibnu
Sab’in, adalah esa, dia adalah satu premis yang di dalamnya mencakup semua sesuatu
yang ada, al-haq
(sang kebenaran) yang bersama semua sesuatu, di dalam pengetahuan-Nya atas
segala sesuatu ada di masa azali
dan kekal, ilmu-Nya adalah esensi-Nya... dan dia berkata, “Segala sesuatu yang
bisa dicapai oleh akal dan panca indera adalah wujud dan gradasi. Akal adalah
gradasi, panca indera adalah gradasi, sementara gradasi adalah musnah dan wujud
adalah tetap. Dan yang tetap adalah haq
(benar), dan yang musnah adalah illusi dan menipu.[28]
Lebih
jelasnya agar kita tidak kebingungan dan terjebak kepada kerancuan, terlebih
dahulu kita harus memetakan atau menjelaskan dengan rlatif tepat seputar wujud,
ketiadaan (‘adam),
mendenahkan dikotomisasi maujud (entitas yang ada) dan entitas yang tidak ada (ma’dum), dan peniadaan (i’dam), dalam perspektif
Ibnu Sab’in, yang tentunya memilik khas paradigma dan pola pemikirannya sendiri
yang berbeda dengan para filsuf Islam yang lain.
Wujud atau bisa
dikatakan dengan “gradasi wujud”, menurut Ibnu Sab’in, terbagi menjadi wujud mutlaq, muqayyad dan muqaddar, ketiga wujud
ini berada pada tataran kesusastraan atau wacana. Wujud mutlaq adalah Allah, muqayyad adalah Aku dan
Kamu, dan muqaddar
adalah segala sesuatu yang independen. Akan tetapi, wujud dalam makna hakikinya
adalah hanya sang esa, sehingga jika wujud mutlak menyebut dirinya maka niscaya
menyebut segala sesuatu, jika muqayyad
menyebut dirinya maka dia tidak menyebut apa-apa, karena dia bukanlah sang
penyebut dan yang disebut, dan begitu juga dengan muqaddar.[29]
Esensi ketiadaan (‘adam)
adalah segala sesuatu (baca. makhluk) yang bukan entitas wujud mutlak yang Esa
dan wajibul al-wujud
(wajib ada). Entitas itu, di satu sisi bisa dikatakan sebagai ketiadaan, dan di
sisi lain sebagai wujud. Karena itu, maka tidak ada maujud—secara mutlak—dan
tidak ada yang esa—pada hakikatnya—kecuali Allah. Dan Ibnu Sab’in membagi
ketiadaan ke dalam tiga macam ketiadaan: pertama,
tidak ada jenis entitas yang dalam natural atau tabiatnya tidak ditemukan.
Seperti tidak ada tumbuh-tumbuhan yang memiliki pancaindra (al-hissi). Kedua, tidak ada entitas
yang sejatinya, dalam tabiat atau tipenya, ditemukan atau wujud. Seperti
manusia buta. Entitas obyek yang tidak bisa dilihat oleh mata manusia yang
buta, baginya bahwa entitas itu tidak ada, tapi sejatinya ada. Ketiga, tidak ada entitas
yang ditemukan dalan kategori tipenya, tidak natural atau tabiatnya. Seperti
kelelawar. Ia ada satu waktu yang tidak bisa dipastikan, tapi bisa dilihat
kategori tipe hewaninya.[30]
Tidak ada (‘adam) anonim/lawan
katanya adalah wujud. Karena itu maujud adalah anonimnya kata ma’dum (entitas yang
tidak ada). Segala sesuatu yang dikatakan sebagai sesuatu yang tidak ada, maka
ia adalah sesuatu yang tidak wujud—meski untuk mengkategorisasikan maujud dan
ma’dum adalah hal yang relatif, kecuali batasan yang bersifat universal. Ibnu
Sab’in berkata,
“Al-ma’dumu ma laysa bi syaiin, wa ma laysa bi syaiin
fa huwa ma’dumun, wa ma huwa syaiun fa laysa bi ma’dumin. Al-ma’dumu ma laysa
bi maujudin, li anna kulla ma laysa bi maujudin fa huwa ma’dumun, wa ma huwa
maujudun laysa bi ma’dumin”.[31]
Jika kita menelaah dengan cermat perkataan Ibnu Sab’in
yang saya kutip itu, maka kita menjadi jelas bahwa “entitas yang tidak ada
adalah entitas yang bukan apa-apa (in-eksistensi), dan entitas yang bukan
apa-apa (in-eksistensi) adalah entitas yang tidak ada, serta entitas yang bisa
dikategorikan sebagai sesuatu yang eksis maka entitas itu tidak bisa
dikategorikan sebagai entitas yang tidak ada. Entitas yang tidak ada adalah
entitas yang buka maujud, karena segala sesuatu yang buka maujud adalah ma’dum
(entitas yang tidak ada), dan segala sesuatu yang maujud adalah bukan entitas
yang tidak ada”. Dengan kata lain segala sesuatu yang tidak ada dimasukkan ke
dalam kategori in-eksistensi, sementara segala sesuatu yang ada masuk pada
kategori eksistensi.
Karena itu tidak
tepat jika kita mengartikan atau memahami kata al-ghaib sebagai entitas yang tidak ada,
tapi yang tepat diartikan sebagai entitas yang tersembunyi atau tidak hadir di
depan mata. Kata al-ghaib
adalah anonim kata al-hadir
(hadir dan bisa diraba dengan pancaindra). Tidak tepat jika kita
mengkategorikan segala sesuatu yang tidak wujud adalah al-ghaib, tapi yang tepat
adalah al-ma’dum
(sesuatu yang tidak ada/tidak wujud). Semisal dzat Allah, malaikat-malaikat,
dan segala macam makhluk-makhluk yang telah diciptakan yang, tidak bisa
ditembus atau diraba oleh pancaindra adalah termasuk pada kategori al-ghaib (entitas-entitas
yang tersembunyi), tidak tepat jika dikategorikan sebagai al-ma’dum (entitas yang
tidak wujud/tidak ada). Lantaran hakikatnya entitas-entitas itu ada, tapi
sayang pancaindra kita tidak bisa merabanya. Dan kita tidak bisa
mengkategorisasikannya sebagai entitas-entitas yang in-eksistensi, karena
sejatinya entitas-entitas tersebut adalah eksistensi yang bersifat metafisika
dan meta-historis.
Sementara
entitas yang tidak wujud (ma’dum)
menurut Ibnu Sab’in terbagi menjadi lima
macam ma’dum: pertama, entitas yang
tidak ada dan mustahil diwujudkan. Seperti sekutu bagi Allah, sabda dan segenap
karakter-karakter-Nya. Hal ini adalah ma’dum
yang keberadaannya tidak dibenarkan. Demikian juga sepertihalnya mengumpulkan
dua sesuatu yang berlawanan di dalam satu tempat atau meletakkan entitas yang
satu berada pada dua tempat dalam satu waktu sekaligus. Kedua, entitas yang tidak
ada dan bisa diwujudkan, serta direalisasikan. Seperti mewujudkan segala
sesuatu yang ada di alam semesta ini, semenjak awal penciptaannya sampai detik
ini, dan bisa direalisasikan tersur dalam menciptakan segala sesuatu yang belum
tercipta. Ketiga,
entitas yang tidak ada, bisa diwujudkan, tapi tidak ditemuka atau belum
terwujud. Seperti berkaitan dengan kemampuan Allah untuk menciptakan alam
semesta yang kedua atau menciptakan tiga alam semesta, dan seterusnya. Hal ini
dianggap sah terwujud, tapi tidak ada. Keempat,
ma’dum yang
wujudnya dianggap sah atau bisa diwujudkan, tapi tidak ada. Seperti sikap
orang-orang penduduk neraka yang meminta dikembalikan ke alam dunia. Dikatakan
bagi Allah mampu-mampu saja atau bisa-bisa saja diwujudkan keinginan mereka,
tetapi tidak diwujudkan, sehingga dikatakan sebagai ma’dum. Dan kelima, ma’dum yang bisa diwujudkan, dan
belum diwujudkan, serta pasti akan diwujudkan. Seperti hari Kiamat,
membangkitkan dari kematian (hasyr
atau nasyr),
perhitungan amal (hisab),
imbalan pahala, balasan dosa, siksa, dan sejenisnya.[32]
Namun
peniadaan (i’dam),
menurut Ibnu Sab’in, adalah “laysa
ma’nan” (tidak ada artinya)—bagi Allah. Karena itu, peniadaan tidak
pantas dikaitkan dengan Sang Pelaku Sejati (al-Fa’il).
Peniadaan adalah sebuah sikap sang pelaku tidak berbuat apa-apa. Hal ini adalah
nihilis, yang tidak mengandung eksistensi makna. Karena sesungguhnya peniadaan
jika dikatakan sebagai makna, maka eksistensinya harus kekal bersama Allah
selama-lamanya, di jaman azali, dan hal ini adalah mustahil. Dan jika wujud
peniadaan mustahil dikategorikan sebagai sesuatu yang tidak kekal, abadi, maka
mustahil wujudnya dianggap sebagai eksistensi yang kekal. Tidak dibenarkan
seseorang yang berkata: bahwa peniadaan terkait dengan Sang Pelaku (al-fa’il); karena sesuatu
yang bukan makna adalah sesuatu yang diciptakan atau sesuatu yang baru (muhdats), yang tidak bisa
dikaitkan atau disematkan pada Sang Pelaku.[33] Jelas bahwa Sang Pelaku yang dikehendaki oleh Ibnu
Sab’in adalah Sang Pelaku sesungguhnya dan hakiki, yaitu Allah, bukan yang
lainnya.
Ibnu Sab’ien menjelaskan dalam salah satu tulisan pendeknya (risalah) yang berjudul “al-Alwah”, menafsirkan
tipologi maujud, dengan menggunakan metode aliran para filsuf paripatetik,
bahwa “maujud adakalanya wajib ada (wajibul
al-wujud), yaitu universal dan identitas (huwiyyah). Adakalanya
mungkin ada (mumkinul
al-wujud), yaitu partikular dan esensi (mahiyah). Maka rububiyyah adalah identitas universal.
Sementara ‘ubudiyyah
adalah esensialisme partikular. Tidak ada hakikat yang bisa disematkan kepada
identitas (huwiyyah),
sejatinya, kecuali hakikat itu dinamakan universalitas. Tidak ada hakikat yang
bisa disematkan kepada esensi, sejatinya, kecuali hakikat itu dinamakan dengan
partikular. Maka menyatunya universalitas dengan partikularitas dan berkelindan
keduanya dengan entitas asal (pusat) adalah wujud. Dan jika keduanya terpisah
dan bercerai-berai serta bersama dengan cabang (far’), maka ia yang bisa disebut dengan
pluralitas dan perbedaan (homogen). Orang-orang kebanyakan dan orang-orang
bodoh akan dikuasai oleh entitas yang insidental atau baru, yaitu kemajemukan
dan kebiasan-kebiasaan. Orang-orang khusus, yang dikuasai oleh entitas asal
(pusat/sumber), ia adalah kesatuan wujud (wihdatul
al-wujud), maka orang itu bersama entitas asali, yang tidak
bermetamorfosa, tidak bertransformasi dan tetap-kekal atas ilmu dan
investigasinya (tahqiq).
Dan barang siapa yang selalu bersama dengan entitas cabang (far’), maka ia akan
selalu bermetamormosa, bertransformasi, dan sejumlah sesuatu yang majemuk akan
menyelimutinya, sehingga ia bisa lupa, lalai, dan bodoh”.[34]
Lebih lanjut,
penyatuan dan perpisahan dianalogikan antara magnet dan besi. Pencakupan
bagaikan magnet, dan segala yang maujud bagaikan besi. Sementara entitas
penyatupaduan atau perekat antara keduanya (magnet dan segala maujud) adalah
identitas wujud (huwiyyah),
dan entitas yang memisahkan keduanya adalah illusi wujud. Konsepsi filosofis
sedemikian rupa ini dinamakan dengan al-ihathah
(pencakupan). Syahdan, Ibnu Sab’ien berkata,
“Aku adalah bejana atas bejana-benaja, yang lain (aniyatul al-aniyât),
identitas atas identitas-identitas, yang lain (huwiyatul al-huwiyyât), dan esensi atas
esensi-esensi, yang lain (al-mahiyyatul
al-mahiyyât). Semua itu, sedikit atau banyak, adalah satu makna.
Dan makna di sini yaitu, Dia adalah aku, dan barang siapa yang berkata
bersamaku, aku akan sekuat tenaga bersamanya dalam keasyik-masyukan yang masygul
....[...].. Maka Dia adalah aku. Dan aku adalah Dia. Dan aku dan Dia sejatinya
adalah satu makna, yaitu aku”.[35]
Gradasi wujud yang berbeda-beda, menurut Ibnu Sab’in adalah materi-materi bagi wujud, dan materi yang tidak kekal dalam investigasi adalah menipu dan illusi selama-lamanya. “Kullu syaiin halikun” adalah gradasi illusi, dan “Illa wajhah” adalah kemulyaan dan wujud hakiki.
Dan dalam wujud,
Ibnu Sab’in mempresepsikan ada perbedaan dalam tataran ungkapan antara huwiyah (identitas) dan mahiyah (esensi atau
substansi). Huwiyah
(identitas) adalah al-kulli
dan mahiyah
(esensi) adalah al-juziy.
Mahiyah adalah
wajib ada (al-wajib
al-wujud) dan huwiyah
adalah mungkin ada (mumkin
al-wujud). Huwiyah,
menurutnya, adalah rububiyyah
(ketuhanan) dan mahiyyah
adalah ubudiyyah.
Dan di dalam kebenaran, tidak ada huwiyah
tanpa mahiyyah
seperti halnya tidak ada mahiyyah
tanpa huwiyyah,
keduanya menyatu laksana menyatunya kulli
dengan juziy,
cabang dengan asal, dan tidak ada perbedaan sama sekali keduanya dalam tahqiq (investigasi),
bahkan di sini adanya penyatuan mutlak, sementara adanya banyak atau pluralitas
merupakan illusi orang-bodoh dan awam.[36]
Allah adalah wujud
mutlak yang telah meliputi wujud muqayyad,
tidak ada perbedaan antara keduanya wujut itu kecuali dalam tataran illusi,
karena entitas keduanya adalah satu. Maka kamu melihat wujud mutlak di dalam
wujud muqayyad
atau melihat sang maha luas di dalam kesempitan, dan satu di antara keduanya
adalah wujud mutlak. Dan wujud yang berkelindan adalah satu. Sehingga Ibnu
Sab’in telah mengingkari adanya wujud muqayyad,
yang ada hanya satu wujud yang mengumpulkan semua sesuatu, dan dia adalah
Allah, di mana semua entitas sesuatu adalah entitas wujud yang mutlak, maka
tidak ada dualisme secara mutlak.[37]
Jelaslah dalam
pandangan Ibnu Sab’in hanya ada satu entitas wujud, dan tidak ada perbedaan
antara wujud muqayyad
dan wujud mutlak. Dari sini, hampir mirip dengan teosof Islam lainnya, seperti
kelompok yang mengusung wahdah
al-wujud seperti Ibnu Arabi, akan tetapi sejatinya Ibnu Sab’in
lebih ekstrim di atas Ibnu Arabi, dalam menetapkan satu entitas wujud dan
menafikan dualisme.[38]
Ibnu Sab’in
berpendapat bahwa, bejana Allah, maksudnya, wujud Allah adalah “awal wujud,
akhir identitas, penampakan kosmos dan esensi yang kekal.” Dia berkata, “tidak
ada yang hidup pada hakikatnya kecuali Tuhan”. Dan “tidak ada yang esa pada
hakikatnya kecuali Tuhan, kecuali al-haq
(sang kebenaran), kecuali al-kull
(sang universal), kecuali al-huwa
huwa (Dia atas Dia), kecuali sang yang disandari, kecuali al-jami’ (sang
penghimpun/kolektor), kecuali sang wujud, kecual sang asal, kecuali sang esa”.
Perkataan ini dikomentari dan dijelaskan dengan rinci oleh Ibnu Sab’in sendiri,
di mana yang dikehendaki dengan itu adalah proses transmisi sang salik (pelaku spiritual)
agar sampai ke level spiritual puncak, yaitu wahdatu
al-mutlaq.[39]
Awwal dan akhir,
eksoteris dan esoteris, azali
dan abadi, dan dikotomisasi yang lainnya tidak ada perbedaan sama sekali, dalam
pandangan Ibnu Sab’in, ditinjau dari segi wujud yang hakiki. Allah adalah
kolektor bagi segala sesuatu di dalam diri-Nya, dan dzat yang meliputi segala
wujud, wujud eksoteris dan esoteris. Dan segala maujud yang mewujud tidak dari
ketiadaan, atau dengan kata lain penciptaan tidak dari ketiadaan (creatin ex nibilo),
melainkan melalui proses emanasi dari wujud yang esa. Karena dia tidak
mempercayai ketiadaan.[40]
Meliputi segala
sesuatu yang bertentangan satu dengan yang lainnya dalam satu entitas, paradok,
yang diistilahkan Ibnu Sab’in adalah al-ihathah
(peliputan), di mana yang dimaksud adalah semua wujud dengan karakter yang
satu. Dalam peliputan, terjadi peliputan (pergumulan) antara yang genap dan
yang ganjil, antara kotoran (tinja) dan kembang mawar, dan secara global bisa
dikatakan, Sabtu adalah Ahad... yang telah berlalu berjalan dari sebuah masa
adalah yang hadir, awwal dalam entitas adalah akhir, eksoteris dalam jiwa
adalah esoteris, mukmin dalam jiwa adalah kafir dan seorang yang miskin adalah
kaya. Penyatuan semua yang paradoksal dalam sebuah peliputan ini hampir sama
dengan teori yang diusung Hegel dalam masalah “imajinasi”, yang di dalamnya
terdapat dialektika yang hidup dan dinamis. Akan tetapi jika Ibn Sab’in dalam
tataran alam spiritual (ruhaniyyah),
namun Hegel dalam tataran alam rasionalitas. Dan perkataan Ibnu Sab’in yang
berupa, “yang berlalu berjalan dari sebuah masa adalah yang hadir”, adalah juga
pemikiran tentang kehadiran abadi (peternal
present) yang diusung oleh L. Lavelle, seorang filsosuf Perancis
modern, yang terkenal konsen membidik filsafat spiritual. [41]
Dan yang membedakan
antara Ibnu Sab’in dan para filosof seperti Hegel, jika Hegel tidak terfokus
pada kawasan ketuhanan, sementara Ibnu Sab’in menggarap hanya pada kawasan
ketuhanan saja. Tujuan Ibnu Sab’in adalah tauhid mutlak, artinya wahdah al-mutlaq dalam
wujud. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu selain Allah, bahkan segala sesuatu
adalah Allah.[42]
Wahdah
al-mutlaqah yang diusung Ibnu Sab’in menentang semua sufi yang berbicara tentang
tauhid. Pandangan mereka kaum sufi yang telah membedakan antara tauhid dzat
Tuhan, tauhid sifat-sifat Tuhan dan tauhid al-af’al
(pekerjaan Tuhan), justru jika diletakkan dalam pandangan Ibnu Sab’in, semuanya
itu adalah illusi belaka. Seperti yang telah dikatakannya, “khithabu Allah bi lisani nurihi”
(wawasan tentang Allah dengan cahaya lisan-Nya).[43]
Merambah pada
dimensi filosofis yang lain, Ibnu Sab’in berpendapat bahwa jiwa dan akal,
sebuah misal, tidak ada wujud kedua entitasnya, akan tetapi kedua wujud itu
dari wujud yang satu. Keduanya tidak keluar dari kerangka wujud yang satu.
Moralitas pun, menurut Ibnu Sab’in, berwarna-warni sesuai dengan warna-warni wahdah al-mutlaqah.
Kebaikan, kenikmatan dan kebahagiyaan masuk dalam investigasi dengan yang esa.
Kebaikan dan keburukan tidak ada perbedaan sama sekali, jika keduanya ditinjau
dari segi hakikat wujud, karena wujud adalah entitas yang esa, dia adalah
kebaikan mutlak. Jadi penilaian hitam-putih, benar-salah, dan baik-buruk menjadi
absurd. Dan Ibnu Sab’in mengganti “La
Ilaha Illa Allah” (tidak ada Tuhan selain Allah) dengan “La Maujuda Illa Allah”
(tidak ada maujud selain Allah).[44]
Dalam mengusung wahdah al-mutlaqah, bukan
sebatas dengan menggunakan pemikiran rasio dan intuisi an sich, akan tetapi
diperkuat dengan argumentasi ayat-ayat al-Quran sebagai pijakannya, seperti
firman Allah “Huwa
al-Awwalu wa al-Akhiru wa al-Dzhahiru wa al-Bathinu” (Dia (Allah)
adalah awwal dan akhir, dzhahir dan bathin), (al-Hadyd: 3). Dan “Kullu syaiin halikun illah wajhah”
(Segala sesuatu akan rusak (tidak kekal) kecuali esensi-Nya), (al-Qhashas: 88),
serta beberapa hadits.
Al-Muhaqqiq (periset): Konsepsi Sufistik Manusia Sempurna
Ibnu Sab’in menjelaskan, di dalam wahdah al-mutlaqah, muhaqqiq (periset), satu trend yang relativ baru
dalam tradisi tasawuf-falsafi Islam. Meski pun, pada esensinya, trend ini mirip dengan
konsep al-haqiqah
al-muhammadiyyah, al-qutb
seperti yang digagas Ibnu Arabi dan Ibnu al-Faridl, dan al-insan al-kamil
(manusia sempurna) versi Abdul Karim al-Jili.
Muhaqqiq adalah individu manusia sempurna. Dia adalah seorang
yang terlaksana dengan wujud mutlak yang esa, seorang yang mencakup segala
kesempurnaan dari seorang ahli fiqh, teolog, semisal al-Asy’ari, filosof dan
sufi, dan ditambah lagi dengan pengetahuan gnostik (‘irfan) yang spesifik, yaitu ilmu tahqiq (investigasi),
yang merupakan satu pintu menuju Nabi. Dia adalah pengatur alam semesta, di
mana dia, dari segi hakikat yang bersifat immateri (ruhiyyah), telah menyatu dengan Nabi. Dan
seperti yang dikatakan salah satu murid Ibnu Sab’in, komentator Risalah al-‘Ahd, yang
mengatakan, “dan untuk sampai kepada Allah tidak akan bisa kecuali dengan
melalui Nabi, dan Nabi tidak diketahui kecuali dengan melalui sang pewaris, di
mana sang pewaris adalah muhaqqiq.
Maka orang-orang rasional akan mencari dan membutuhkan dia.[45]
Pandangan Ibnu
Sab’in dan para pengikutnya bahwa Ibn Sab’in lah yang layak dan berhak diklaim
sebagai sang muhaqqiq
itu, untuk jamannya. Sementara level kesempurnaan yang dikehendaki oleh Ibnu
Sab’ien sendiri, adalah seorang yang dikaruniai keutamaan dan kesempurnaan oleh
Tuhan atas makhluk-makhluk yang lain, yaitu Nabi Muhammad Saw. dia berkata: “di
antara sesuatu yang telah kita ketahui bersama bahwa al-muhaqiq (periset) yang
agung adalah Sang Nabi pemilik sunnatullah,
yang tidak bisa tergantikan.[46] Dan sebagian orang yang menuduh bahwa Ibnu Sab’in
telah melecehkan Nabi—seperti yang telah saya uraikan di atas—adalah sebuah
fitnah atau “isapan jempol” belaka dan tanpa bukti.
Keelokan ragawi dan spiritual Nabi adalah cahaya
terang yang belum pernah mata manusia melihatnya, irama not-not langgam yang
membentuk nyanyian mistik yang belum pernah telinga manusia manapun
mendengarnya, dan laksana cahaya cinta yang menembus dan menggerayangi hati dan
perasaan, untuk kemudian digerakkan dengan gerakkan yang menggetarkan dan
mengguncang-guncang hati dan pedalaman manusia, yang siapa pun belum pernah
merasakan kepuasan secara total semacam itu. Kita tahu bahwa mata, telinga dan
hati adalah motor penggerak seluruh organ tubuh manusia, jika salah satu dari
ketiga organ itu disentuh dan merasakan, langsung peka merespon dan menyalurkan
atau menebarkan pengaruh kepada organ-organ tubuh yang lain. Karena itu, sangat
logis jika Ibnu Sab’in hanya menyebut ketiga organ tubuh saja. Lantaran
organ-organ tubuh yang lain hanya baru bisa bergerak dan berbuat setelah
mendapatkan komando dari salah satu dari mata, telinga, dan hati.
Lalu bukan berarti
bahwa level al-muhaqqiq adalah level dominasi Nabi Muhammad an sic, tapi siapa pun
mendapatkan kesempatan yang sama, alias bisa mendaki sampai pada level
al-muhaqqiq—meski pun tidak selevel Nabi Muhammad. Karena itu, seperti yang
dikatakan Ibnu Sab’in bahwa al-muhaqqiq
(periset) tidak bisa sampai kepada wahdah
al-mutlaqah kecuali dengan melalui perjalanan suluk (lelaku spiritual) yang
panjang, yang diistilahkan oleh Ibnu Sab’in dengan safar (sebuah perjalanan). Dan setelah
melalui perjalanan itu, kondisi dan keadaan dia akan lebih baik dan lebih
tinggi daripada seorang yang dianggap filsuf yang menggunakan akal secara
total, karena sang periset tidak merasa puas kecuali dengan wahdah al-mutlaqah.
Sejatinya wahdah
al-mutlaqah sudah diketahi di dalam jiwa sebelum tashawwur (konsepsi atau
ide-imajinatif) dan tashdyq
(pembuktian atau legalitasi). Wahdah
al-mutlaqah adalah sesuatu yang fitrah (primordial) yang ada di
dalam jiwa, yang tidak ada jalan agar sampai kepadanya kecuali dengan intuisi,
tidak dengan akal.[49]
Tahqiq (riset) yang dibicarakan Ibnu Sab’in adalah salah satu bentuk dari
gnostik-intuitif, yang bisa dikatakan sebagai kontribusi kreatif dalam
memperkaya tradisi teosofi Islam.
Mantik al-Muhaqqiq: Logika-Intuitif
Para sufi (teosof) kebanyakan tidak menggunakan logika
formal Aristotelian, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para teolog
(mutakallimin) dan para filsuf Islam, yang menggunakan jalan (metode) teorotis.
Sementaram para teosof tidak menggunakan metode teoritikal, melainkan dengan
menggunakan pendekatan metode intuisi dan kasyf
(penyingkapan). Sebagian teosof mengkritik pedas mantik (logika) Aristotelian,
seperti yang telah dilakukan oleh Syuhrawardi, sang teosof illuminasi dan Ibnu
Sab’in.
Tidak berhenti pada
sikap kritis yang membabi-buta dan serampangan. Tapi justru dengan kritikan
yang produktif, dan bisa menawarkan logika tanding sebagai ganti atas logika
Aristotelian yang telah dihancurkannya. Syuhrawadi mengkonstruksi ‘ilmu al-hudluri (ilmu
dengan kehadiran)[50] dan Ibnu Sab’in mengkonstruksi mantik al-muhaqqiq (logika
periset), sebagai logika tanding Aristotelian, yang—bagi mereka—paling layak
untuk digunakan dalam meraih kebenaran yang hakiki.
Ibnu Sab’in
menghancurkan mantik Aristoteles, dengan berusaha sungguh-sungguh meletakkan
dasar-dasar mantik yang baru yang bersifat illuminatif. Mantik baru yang
diusung oleh Ibnu Sab’in ini bisa dinamakan dengan mantik periset (al-muhaqqiq). Mantik yang
tidak berpijak pada penalaran rasio, akan tetapi berpijak pada nilai-nilai
ketuhanan, yang dengan mantik ini manusia bisa melihat sesuatu yang tidak
terlihat dan bisa mengetahui sesuatu yang tidak bisa diketahui. Karena itu, ini
adalah mantik intuitif. Dan kesimpulan penting yang dicapai Ibnu Sab’in dalam
mantiknya adalah bahwa hakikat-hakikat mantik adalah bersifat primordial
(fitrah) yang bersemayam dalam entitas manusia, sementara kalimat-kalimat
mantiki yang ada enam, yaitu jinis,
elemen (nau’), fashl, khashah, ‘irdl, dan sya’khs, yang telah
mengandaikan pluralitas wujud adalah semata-mata adalah illusi. Yang ditekankan
pada mantik Aristoteles, satu kelemahan yang fatal adalah adanya pluralitas
wujud, yang pada hakikatnya bersifat illusi, di mana sejatinya hakikat wujud
adalah satu.[51]
Dalam mengusung
logika illuminatif-intuitif, terlebih dahulu ia mengkritik dan menghancurkan burhan
(argumentasi/dalil) mantiq
al-sury (logika formal Aristotelian), yang pembahasannya berpusat
pada: al-hudud
(definisi-definisi/batasan), al-alfadl
al-sittah (enam kalimat penentu rancang bangun logika), sepuluh
kategori-kategori logika dan konsekwensi-konsekwensinya, formasi makna dalam
satu permasalahan serta analogi. Dikatakan bahwa penghancurannya cukup dengan
menghancurkan dalil-dalil (burhan)
di mana semua logika formal tersebut dibangun di atasnya. Dan yang paling
mencolok dari kelemahan yang mendasar adalah mendatangkan—untuk mempertegas
suatu tujuan—sebuah presepsi-presepsi para filsuf yang saling kontradiktif
dalam satu persoalan, kemudian mentransformasikan ketetapan logika, dengan
melalui hukum-hukum logikanya itu, pada kubang kesalahan.
Ibnu Sab’in
berpendapat bahwa segala sesuatu yang dikatakan di dalam “al-hudul”
(definisi-definisi) adalah sesuatu yang salah, karena “mempertegas definisi
adalah termasuk persoalan-persoalan yang bersifat illutif (baca. tidak jelas).
Lantaran sejatinya gambaran definisi-definisi dan dalil-dalil demonstratif (al-barahin), dalam
entitas keadaan dan kondisinya, adalah kekal-abadi dan tidak berubah, meskipun
berubah dalam penampakannya”.[52]
Diperkuat lagi
dengan argumen bahwa sejatinya al-‘alim
(dzat yang mengetahui) tidak butuh definisi dalam entitas dirinya. Justru ia
butuk terhadap definisi untuk menjelaskan pengetahuan-pengetahuan dirinya
kepada pihak lain. Dan pada akhirnya meskipun kebenaran-kebenaran sejati adanya
di dalam entitas dzat Yang Maha Tahu. Dan Ibnu Sab’ien berkata bahwa
“wujud mutlak dan abadi adalah entitas yang esensialis dan entitas
permulaan—tidak ada yang mendahului. Dan kita tahu bahwa definisi diuraikan
dengan tiga formasi: wujud, karakteristik entitas, dan uraian yang bersifat
tematis yang dimiliki entitas itu. Ketiga formasi tersebut tidak diperhitungkan
lantaran pada hakikatnya tidak ada yang kekal di dalam definisi kecuali wujud
murni (baca. wujud sejati)”.[53]
Ibnu Sab’in menelisik al-alfadl al-sittah (enam kalimat), yaitu
jenis, al-nau’
(tipe), al-fashl
(pembatas atau pembeda), al-khassah
(kekhususan atau spesialisasi), al-‘irdl,
al-syakhsh
(individualitas), sebagai penentu rancang bangun logika Aristoteles, yang
diistilakan oleh Aristoteles sendiri dengan “Isagoji”, ketika Aristoteles
mengajarkan filsafat kepada muridnya, yaitu Iskandar, dengan berkata:
“pelajarilah isagoji dengan baik”—yang isinya enam kalimat tersebut. Di sini
saya tidak akan mengupas satu per satu dari keenam kalimat isagoji tersebut
secara definitif. Melainkan saya hanya akan memaparkan pandangan dan kritikan
Ibnu Sab’in terhadap isagoji tersebut. Dengan mempertimbangkan efesiensi
tulisan.
Ibnu Sab’in mengkritik tajam—sudah barang tentu dengan
logika al-tahqiq-nya—atas
pemikiran jenis dan al-nau’
(tipe), dan berkata bahwa jika kita mantap dengan Entitas yang Esa, maka kita
sudah pasti lepas dari illusi jenis dan al-nau’. Wujud adalah satu atau esa,
yang di dalamnya tidak ada keterpisahan antara jenis dan al-nau’. Dan periset (muhaqqiq) selalu bersama
dengan yang Esa, dan selalu menganggap wujud yang sejati adalah Esa, tidak
banyak.[54] Karena itu Ibnu Sab’in berkata: “ketahuilah bahwa
jenis adalah sebuah bentuk universal, bentuk materi murni, formasi mekanis, dan
illusi-illusi sejenisnya yang bersifat indrawi. Dan sang periset telah
mengembalikan semua dan mengoperasionalkan formasi itu kepada hakikat yang Esa,
wujud yang mencakup segala maujud. Melepaskan tendensi-tendensi, menyatuka
partikel-partikel yang, dianggap, tercecer dan berbeda, dan akhirnya sampai
pada kesimpulan bahwa susah untuk menerima entitas yang banyak dan majemuk,
bahkan tidak mungkin samasekali!”.[55]
Lalu Ibnu Sab’in menjelaskan dan mengkritik al-fashl (pemisah atau
pembeda), bahwa al-fashl
telah mengandung makna tendensi antara dua entitas wujud. Padahal, pada
hakikatnya, wujud adalah Esa. Al-fashl
adalah illusi dalam kacamata periset, yang tidak keluar dari lingkaran wujud
mutlak.[56] Dan apa yang dijabarkan oleh para filsuf yang
beraliran Aristotelianisme berkaitan dengan al-khassah,
menurut Ibnu Sab’in, adalah sesuatu yang tidak diimani oleh sang periset.
Karena al-khassah,
dalam capaian-capaian wujud, mengindikasikan adanya wujud yang majemuk atau
plural. Sementara sang periset mengimani wujud mutlak yang tidak majemuk. Dan
“wujud al-khassah
adalah dikategorikan wujud yang mungkin ada (mumkinul
al-wujud), yang termasuk wujud kedua, yang diwujudkan dari dari
wujud yang Esa, wujud mutlak. Bagi orang yang memiliki akal yang sehat tidak
logis jika dia mengkhusus-khususkan entitsa yang tidak ada (wujud yang mungkin
ada atau wujud kedua), dan tidak logis jika melakukan pembagian atas entitas
yang Esa, menjadikan sebagian bagi-Nya dan sebagian yang lain bagi selain
entitas yang Esa. Maka hal ini adalah mustahil”.[57]
Sementara komentar Ibnu Sab’in atas al-‘irdl dan syakhsh, bahwa al-‘irdl, menurut Ibnu
Sab’in, adalah wujud al-muqayyad
(yang terbatas), yang pada hakikatnya bukan wujud sejati. Karena wujud muqayyad esensinya adalah
wujud mutlak.[58] Dan sang periset pun mengingkari kebenaran al-syakhs
yang dikonsepsikan para filsuf Aristoteliasnisme, karena sang periset
berpandangan bahwa al-syakhsh
adalah entitas bayangan Sang Kebenaran hakiki, dan sebuah nama yang tidak
tepat. Al-syakhsh
yang dikonsepsikan itu mengindikasikan wujud muqayyad
atau wujud pinjaman—sebagaimana al-‘irdl,
yang pada hakikatnya ia adalah wujud mutlak. Periset tidak akan mencari wujud
pinjaman, dengan melalui jalan yang tidak hakiki (majazi). Dan kritik pedas Ibnu Sab’in, bahwa
konsep al-syakhsh
itu mengasumsikan individu tidak ada kecuali individu atau entitas yang materi
dan jasadi. Sementara menurut Ibnu Sab’in bahwa entitas ada dua, yaitu jasadi
(fisik) dan ruhi
(non-fisik/meta-fisika), yang pada hakikatnya wujud inderawi adalah bayangan
Sang Maha Benar, karena wujud inderawi (fisik) hakikatnya adalah wujud
pinjaman. Dan wujud mutlak bagi periset tidak ada perbedaan wujud antara madzhar (entitas yang
tampak di luar) dan mudzhir
(entitas yang ditampakkan), sebagaiman tidak ada perbedaan antara entitas yang
ruhaniyyah (non-fisik atau meta-fisika) dan jasadi, karena wujud hakiki adalah
entitas yang Esa, yang merengkuh segala sesuatu (jâmi’un li kulli syaiin).[59]
Sikap Ibnu Sab’in terhadap apa yang disebut oleh
mantik Aristoteles dengan Kotigoras, yang mengandung sepuluh landasan normatif
bagi logika formal, dengan mengembalikan satu persatu ke dalam pertimbangan
logika periset, yang menganggap wujud adalah Esa dan mutlak. Menurut Ibnu
Sab’in, bahwa sepuluh landasan normatif itu adalah alam. Manusia berada di
dalam alam. Dan semua alam adalah penyerupaan. Sementara entitas yang
menyerupai dengan sesamanya adalah satu. Maka alam dan manusia adalah satu.
Kemudian di dalam pembahasan relasi antara Allah, alam semesta, dan manusia,
yang dipersepsikan sebagai entitas-entitas yang mandiri dan berbeda oleh para
filsuf, sementara oleh Ibnu Sab’in dipersepsikan sebagai entitas yang satu atau
manunggal. Karena wujud adalah Esa. Dan semua dualisme dan pluralisme di dalam
wujud adalah tidak tepat dan illusi, maka tidak ada yang kekal segala sesuatu
kecuali wujud mutlak yang meliputi semua entitas, di mana entitas esensi bagi
semua maujud dan entitas-entitas lain adalah Allah. Dan al-Haq adalah sebab
bagi segala yang maujud.[60]
Akhirnya sang
pencari kebenaran sejati sudah tidak menoleh pada bilangan, uraian-uraian,
nama-nama, perdebatan, celaan, cemoohan, sikap ingin menang dan mengalahkan.
Karena orang-orang yang sudah sampai kepada level atau tingkatan ini,
berpandangan bahwa entitas yang mengetahui (al-‘alim)
dan entitas yang diketahui (al-ma’lum)
adalah satu, serta entitas yang mempersepsi dan entitas yang dipersepsikan
adalah satu.