BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muhammad Abduh adalah tokoh muslim yang sangat
dikenal oleh pelajar atau mahasiswa Islam. Beliau dikenal dengan sosok seorang
pemikir yang profesional terutama dalam dunia pendidikan, Pemikiran Muhammad Abduh mengenai pendidikan
ini, ialah pemikiran pendidikan
yang lebih dilatar belakangi faktor situasi sosial keagamaan dan situasi
pendidikan Islam yang sedang mengalami kemunduran baik di bidang ilmu
pengetahuan dan bidang keagamaan.[1]
Dan konsep pendidikan sampai dewasa ini
nampaknya belum menghasilkan suatu perumusan yang mantap.Hal ini benar, dan
kenyataan tersebut disebabkan bukan saja oleh kompleksnya masalah pendidikan,
melainkan juga karena dunia pendidikan juga dituntut terus untuk memberikan
jawaban baru yang relevan terhadap perubahan sosial yang bergerak begitu cepat.
Maka dari sinilah makalah
yang akan kami sajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan bagi kita, dan
yang kita ambil dari pemikiran filusuf muslim yang terkenal yaitu “ Muhammad
Abduh”.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Dasar Dan Corak Pemikiran
Pendidikannya?
2.
Bagaimana Ide Pemikiran dan Pembaharuan
Muhammmad Abduh mengenai Pendidikan?
C. Tujuan Makalah
1.
Untuk Mengetahui Dasar Dan Corak Pemikiran
Pendidikannya.
2.
Untuk Mengetahui Ide Pemikiran dan Pembaharuan Muhammmad Abduh
mengenai Pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Dan Corak
Pemikiran Pendidikannya
Dengan latar belakang pendidikan, pengalaman serta
motivasinya yang kuat untuk memajukan dunia Islam, Muhammad Abduh selain itu,
corak pemikiran pendidikan Muhammad Abduh juga berdasar pada teologi rasional,
filsafat dan sejarah. Dengan
dasar dan corak pemikirannya yang demikian itu, maka Muhammad Abduh dapat
mengemukakan gagasan dan pemikirannya dengan cara yang segar dan sesuai dengan
perkembangan zaman pada waktu itu.[2]
Abduh
memiliki ide-ide yang berbeda dengan gurunya Jamaludin Al-Afgani. Al-Afgani
menghendaki pembaharuan umat Islam melalui pembaharuan negara, sedangkan Abduh
berpendapat bahwa pembaharuan negara dapat dicapai melalui pembaharuan umat.
Abduh tidak menghendaki jalan revolusi tapi melalui jalan evolusi. Oleh karena
itu ia tidak menghendaki sikap konfrontatif terhadap penjajah agar dapat
memperbaiki umat dari dalam.[3]
B. Ide Pemikiran dan Pembaharuan Muhammad Abduh
tentang Pendidikan
Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh
tampaknya lebih dilatar- belakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial
keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu.Yang dimaksud dengan situasi sosial keagamaan dalam hal
ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh umat di Mesir dalam memahami dan
melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sikap tersebut tampaknya tidak jauh berbedah
dari apa yang dialami umat Islam dibagian dunia Islam lainnya. Pemikiran yang
statis, taklid, bid’ah dan khufarat yang menjadi ciri dunia Islam saat itu,
juga berkembang di Mesir.Muhammad Abduh memandang pemikiran yang jumud itu
telah merambat dalam berbagai bidang, bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem
masyarakat.[4]
Muhammad Abduh berpendapat bahwa penyakit tersebut,
antara lain, berpangkal dari ketidak tahuan umat Islam pada ajaran sebenarnya,
karena mereka mempelajarinya dengan cara yang tidak tepat.
Situasi lain yang memunculkan pemikiran pendidikan
Muhamad Abduh adalah sistem pendidikan yang
ada saat itu. Seperti diketahui pada abad ke-19 Muhammad Abduh memulai
pembaharuan pendidikan di Mesir pembaharuannya yang hanya menekankan
perkembangan aspek intelek, mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke-20.Tipe
pertama adalah sekolah-sekolah agama dengan al-Azhar sebagai lembaga pendidikan
yang tertinggi.Sedangkan tipe kedua adalah sekolah-sekolah modern, baik yang dibangun
oleh pemerintah Mesir, mupun yang didirikan oleh bangsa asing.Kedua tipe
sekolah tersebut tidak mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya,
masing-masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan
pendidikannya.Sekolah-sekolah agama berjalan di atas garis tradisional, baik
dalam kurikulum maupun metode pengajaran yang diterapkan.[5]
Ilmu-ilmu
Barat tidak diberikan di sekolah-sekolah agama. Dengan demikian pendidikan
agama kala itu tidak mementingkan perkembangan intelektual, padahal Islam
mengajarkan untuk mengembangkan aspek jiwa tersebut sejajar dengan perkembangan
dengan aspek jiwa yang lain. Dari itulah agaknya pemikiran yang statis tetap
mendominasi corak pemikiran guru dan murid saat itu, bukan hanya dalam tingkat
awal dan menengah, tetapi juga dalam kalangan al-Azhar sendiri.
Sekolah-sekolah pemerintah di pihak lain tampil dengan
kurikulum yang memberikan ilmu pengetahuan Barat sepenuhnya, tanpa memasukkan
ilmu pengetahuan agama ke dalam kurikulumnya.
Dengan demikian, terjadi dualisme pendidikan yang
melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda.Tipe sekolah yang
pertama memproduksi ulama’ serta tokoh masyarakat yang enggan menerima
perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi.Tipe sekolah yang kedua
melahirkan kelas elite generasi muda, hasil pendidikan yang dimulai pada abad
kesembilan belas.
Langkah yang di tempuh Muhammad Abduh untuk meminimalisir
kesenjangan dualisme pendidikan adalah uapaya menselaraskan, menyeimbangkan
antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum.Hal ini di lakukan untuk
memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan
pendidikan agama kedalam kurikulum moderen. Muhammad Abduh mempunyai beberapa
langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam; untuk memberdayakan
sistem pendidkan Islam, Muhammad Abduh menetapkan tujuan, pendidikan Islamyang
dirumuskan sendiri yakni: “Mendidik jiwa
dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat
mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat”.
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan
kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.Dengan
menanamkan kebiasaan berpikir.MuhaMmad Abduh berharap kebekuan intelektual yang
melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual
diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis,
juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.[6]
Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral; sistem pendidikan yang
di perjuangkan oleh Muhammad Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang
bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki
maupun perempuan.Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti membaca, menulis,
dan menghitung.disamping itu, semua harus mendapatkan pendidikan agama.
Bagi
sekolah dasar, diberikan pelajaran membaca, menulis, berhitung, pelajaran
agama, dan sejarah Nabi. Sedangkan bagi sekolah menengah, diberikan mata
pelajaran syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu
pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan.
Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika,
prinsip penalaran dan tata cara berdebat.
Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi
guru dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang
mencakup antara lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas,
prinsip-prinsip fiqh, histogarfi, seni berbicara.
Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari
kurikulum yang di berikan pada setiap jenjang pendidikan.
Dengan kurikulum yang demikian Muhammad Abduh mencoba
menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan, adapun usaha Muhamad Abduh
menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain [7]; Memasukan ilmu-ilmu
modern yang berkembang di Eropa kedalam al-Azhar, mengubah sistem pendidikan
dari mulai mempelajari ilmu dengan system hafalan menjadi sistem pemahaman dan
penalaran, menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid,
Dan membuat peraturan-peraturan
tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan
syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa
untuk empat tahun pertama.
Dalam bidang pendidikan nonformal Muhammad Abduh menyebutnya
sebagai ishlah(usaha perbaikan).
Dalam penyelenggaraan pendidikan ini ia melihat perlunya campur tangan
pemerintah, terutama dalam mempersiapkan para pendakwah. Muhammad Abduh
menekankan mereka dari golongan yang terdidik yang telah mendapatkan pendidikan
dengan kurikulum pendidikan tingkat atas. Tugas mereka yang terutama adalah; Menyampaikan kewajiban dan
pentingnya belajar, mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang
mereka lupakan atau belum mereka ketahui, Dan meniupkan kedalam jiwa mereka cinta
pada Negara, tanah air dan pemimpin.
Pemikiran pendidikan Muhammad Abduh yang demikian adalah merupakan
konsep-konsep yang disusunnya yang belum pernah diterapkannya disekolah mana
pun. Mungkin itulah sebabnya mengapa Muhammad al-‘Imarah menyebutnya sebagai
suatu ide, bukan fakta yang disusunnya dari hasil pengalaman atau percobaan
yang dilakukannya pada sebuah lembaga pendidikan.Meskipun demikian,
konsep-konsep yang disusunnya itu menggambarkan pemikiran dan ide-ide baru yang
dinamis, yang merupakan suatu terobosan yang dihargai dan disadari nilainya
setelah wafat.[8]
3.
Metode Pendidikan Islam
Yang dimaksud dengan metode
pendidikan Islam adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik anak.
Oleh karena itu, metode yang dimaksud di sini mencakup juga metode
pengajaran.Sesungguhnya, membicarakan metode pengajaran terkandung juga dalam
pembahasan materi pelajaran karena dalam materi pelajaran secara tidak langsung
juga membicarakan metode pengajaran.
Sebagai
seorang idealis yang rasionalistis, Muhammad Abduh dalam kegiatan mengajar
menekankan pada metode yang berprinsip atas kemampuan rasio dalam memahami
ajaran Islam dari sumbernya yaitu al-Qur’an dan al-Hadist, sebagai ganti metode
verbalisme (menghafal).Sering pula mengajarkan bahasa Arab dengan metode
demonstrasi tentang cara-cara menulis huruf Arab dengan jelas dan sederhana.
Metode
yang digunakan, oleh Muhammad Abduh diantaranya sebagai berikut:
a)
Metode Menghafal
Dalam bidang
metode pengajaran Muhammad Abduh menggunakan metode menghafal yang telah
dipraktekkan di sekolah sekolah saat itu.Karena metode menghapal ini pulalah
Muhammad Abduh frustasi dan membenci belajar saat ia belajar di masjid Ahmadi
Thanta.
Muhammad Abduh mengkritik metode menghapal
bukan berarti membenci metode tersebut, ia tidak setuju dengan metode ini kalau
berhenti sampai di situ. Selanjutnya ia mengatakan: "Saya kata Muhammad
Abduh, telah mengalami pengajaran seperti ini, belajar setahun setengah tanpa
memahami sesuatu dari al-Kafrawi dan Ajrumiyah. Metode pengajaran ilmu nahwu
tanpa memahami istilah-istilahnya telah membuatku (Muharnmad Abduh) tidak
memahami sesuatu, akhirnya saya benci belajar dan putus asa, tetapi Allah
ternyata menghendaki lain, bapak saya memaksaku untuk kembali belajar dan
ditengah jalan saya menyimpang [pergi ke Kanisah Urin] ”
Hendaknya metode menghafal ini hendaknya
diteruskan pada pemahaman, sehingga dimengerti apa yang dipelajari. Menurut
Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, ia tidak menjelaskan
metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari pengalamannya mengajar di
Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan metode diskusi.
b) Metode
Diskusi
Dari
pengalaman belajar Muhammad Abduh dan kritikannya terhadap metode menghapal,
dapat diketahui bahwa ia mementingkan pemahaman, hal itu didukung oleh fakta
metode yang ia praktekkan dan ia sukai metode diskusi.
Sewaktu Muhammad Abduh
menafsirkan sebuah QS.al-Nisa ayat tiga puluh lima, dalam keterangannya
tentang:
إِحْسَانًا وَبِالْوَالِدَيْنِ "Wa bi walidain ihsaanan”
Disebutkan bahwa metode orang tua dalam
mendidik anak di Mesir membuat anak sebagai manusia pasif, sehingga mereka
(para orang tua) mendidik anak-anak dengan cara diktator. Kebanyakan orang tua
mencetak anak-anak sesuai dengan kehendak mereka.Anak-anak dijadikan
berpengetahuan atau berilmu sesuai dengan pengetahuan orang tua, anak-anak
marah sesuai dengan marahnya orang tua. Anak-anak berbuat sesuai dengan
keinginan orang tua, selanjutnya Muhammad Abduh berpikir dan kemudian bertanya:
“Apakah dengan metode pendidikan seperti ini akan menghasilkan umat yang kuat
dan adil sehingga mereka bebas dalam berbuat baik dalam bidang politik maupun
dalam hukum ?”
Rumah adalah
lembaga yang menciptakan pendidikan kediktatoran yang buruk dan mencetak
kader-kader pemimpin yang zhalim dan yang hina.Para orang tua yang mendidik
anak secara diktator sesungguhnya mereka yang gila akan kehinaan mereka anggap
suatu kenikmatan dan keselamatan. Selanjutnya, Muhammad Abduh mengatakan,
“Wahai ulama agama dan adab, hendaknya kalian menerangkan kepada umat baik di
sekolah-sekolah atau majlis-majlis apa kewajiban orang tua terhadap anak dan
apa kewajiban anak terhadap orang tua, dan kewajiban umat terhadap dua kelompok
itu.Hendaklah kalian tidak lupa kaidah atau teori kemerdekaan dan kebebasan.Dua
kaidah itu adalah landasan dasar berdirinya bangunan Islam.Para sosiolog bagian
utara yang berkuasa pada zaman ini (Roma) mengakui bahwa peradaban mereka maju
karena mereka berlandaskan dua dasar di atas [kebebasan berpikir dan berbuat].
Pada penjelasan
tersebut di atas, Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode pendidikan dan
pengajaran hendaknya memperhatikan kemampuan bakat dan minat anak didik. Dalam kata lain, metode pengajaran yang
memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi dalam pendidikan dan pengajaran
adalah metode diskusi. Metode diskusi inilah yang banyak dipraktekkan oleh
Muhammad Abduh dalam mengajar di Universitas al-Azhar Mesir. Menghapal dalam proses
belajar tidak mungkin di dinafikan karena ia sangat esensial.Terbukti umat
Islam banyak yang hapal al-Qur'an termasuk Muhammad Abduh, Dengan demikian,
dapat dipastikan bahwa Muhammad Abduh tidak mengharamkan metode menghapal,
tetapi dapat diketahui dari pengalaman dan kritiknya terhadap metode menghapal,
sepertinya ia berpendapat bahwa metode menghapal tanpa pemahaman tidak baik
(untuk tidak mengatakan buruk).
c) Metode
Tanya Jawab
Manusia berhak membuka jalan bagi penuntut ilmu
untuk meneliti dalam berbagai ilmu pengetahuan. Contohnya:ia menerangkan kaidah
atau sebuah teori, kemudian ia mencari kecocokannya dalam berbagai aspek
pekerjaan. Dalam hal ini metode pengajaran, hendaknya guru mengajarkan kepada
anak didik cara untuk mengetahui kesalahan dan cara kembali kepada yang benar.
Cara yang demikianlah yang dipraktekkan oleh Muhammad Abduh ketika belajar
sehingga ia menjadi seorang seorang ahli.
Muhammad Qodri
Luthfi mengatakan bahwa Muhammad Abduh dalam mengajar menggunakan metode hiwar
(tanya-jawab) dan munaqasah [diskusi] tidak hanya ceramah Memang dua metode
tanya jawab dan diskusi bisa berdampingan bahkan pada setiap diskusi ada metode
tanya jawab, tetapi mutlak dalam metode tanya jawab ada metode diskusi.
d) Metode
Darmawisata.
Muhammad
Abduh dalam pemikirannya sering membuat terobosan dalam pendidikan dan
pengajaran.Dalam hal metode darmawisata misalnya menyebutkan bahwa rihlah
adalah rukun dalam pendidikan.Ketika ingin mengajarkan kepada anak didik materi
"pesawat" hendaknya mereka dibawa langsung ke bandara.Ketika ingin
mengajarkan "kapal" hendaknya anak didik dibawa ke pelabuhan. Mereka
sulit memahami sesuatu yang abstrak,
Kalau
dilihat contoh metode darmawisata tersebut di atas, dapat dipahami bahwa salah
satu fungsi metode ini untuk dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini
untuk dapat memahami materi kepada anak didik.Selain itu, metode darmawisata
salah satu indikasi bahwa belajar tidak hanya di kelas.
e) Metode
Demontrasi
Dalam
menyampaikan materi Ilmu-ilmu praktis (fi'liyah) hendaknya tidak hanya
diajarkan dengan menyampaikan ilmunya dengan caraberceramah, kemudian anak
didik disuruh untuk menghafalnya ilmu-ilmu fi'liyah harus diajarkan dengan cara
menyertakan prakteknya, seperti mengajarkan tata cara shalat lima waktu dengan
mendemontrasikannya baik di depan kelas maupun di masjid.
f) Metode
Latihan
Untuk mengintegrasikan antara
pendidikan akal dan jiwa, guru di sekolah harus menyuruh anak didik untuk
melakukan shalat lima waktu. Bagi sekolah yang memiliki anak didik beragama non
Islam seperti Kristen, maka guru hendaknya tidak menyuruh mereka untuk
melaksanakan shalat, namun meskipun anak didik yang non Islam tidak
melaksanakan shalat, tetapi nilai-nilai spiritual tersebut tidak boleh hilang
dari mereka.
g) Metode
Teladan
Pendidik harus dapat mendidik anak
didik untuk memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama manusia.Dalam
mengajarkan pesan kasih sayang itu, guru dapat memberi tauladan kepada anak
didik.Tauladan yang baik jauh lebih berpengaruh kepada jiwa anak didik dari
pada sekedar teori. Selain aspek tauladan, guru juga harus memperhatikan dan
memilih gaya bahasa yang serasi untuk menyampaikan pesan sifat kasih sayang
itu. Gaya bahasa yang digunakan guru juga harus memperhatikan aspek efektivitas
dan efesiensi.
Dari
beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia
aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif
terhadap lembaga pendididkan Islam.Usaha Muhammad Abduh kurang begitu lancar
disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada
tradisi lama teguh dalam mempertahankanya.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konsep
pendidikan Muhammad Abduh ditelah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan
adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional,
yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki
iman dan takwa serta masih ada yang relevan pada bab yang lain yang dijabarkan
pada pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut.
Berangkat
dari persoalan tersebut di atas, MuhammadAbduh mengkaji lebih jauh pemikiran
tentang pendidikan Islam yang mewakili kelompok modernis-rasionalis. Atau
dengan kata lain, kajian tentang pemikiran pendidikan Islam Muhammad Abduh
berada pada wilayah historisitas-empiris yang responsif terhadap adanya
perubahan.
Dengan
demikian, Muhammad Abduh melakukan pembaharuan dalam pendidikan Islam dengan
cara memgintegrasikan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Pendidikan baginya
bukan hanya bertujuan mengembangkan aspek kognitif (akal) semata, tetapi
jugaperlu menyelaraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik
(keterampilan). Sehingga Umat Islam terhindar dari kejumudan, keterbelakangan
dalam berfikir dan taklid yang berlebihan.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam Jilid I,
(Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005).
Arifin, Muzayyin. 2009. Filsafat Pndidikan Islam.Jakarta: PT Bumi Aksara.
Fatah, Yasin, A. 2008. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam.Malang: UIN Press.
Jalaluddin, Usman, S. 1996. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT.
Grafindo Persada.
Lubis, Arbiyah.1993. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: PT. Bulan
Bintang.
Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam.Jogjakarta: Ar-ruzz Media.
Taufik, Akhmad. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam.Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Akhmad Taufik, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernnisme Islam.
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammdiyah dan
Muhammad Abdu. Hal. 152-156.
[1] Dr. Arabiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah dan Muhammad abduh (Jakarta; Bulan Bintang. 1993). Hal.152
[3] A. Bakir Ihsan, Ensiklopedia Islam Jilid I,
(Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005) hal. 257
[4] Dr. Arabiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah dan Muhammad abduh (Jakarta; Bulan Bintang. 1993). Hal. 153
No comments:
Post a Comment