BIOGRAFI IMAM GHAZALI
A. Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin
Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan
As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah
6/191). Para ulama nasab berselisih dalam
penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama
beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan
oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah
seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin
Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah
anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah
salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al
Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan
keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali).
Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang
benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang
pertama dan berkata, “Saya telah
bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka
mengingkari keberadaannya.” Ada
yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak
perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat
Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan
keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam
catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota
Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz
Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’
19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/193 dan 194).
B. Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang
pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang
wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan
orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh
saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin
memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon
engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk
keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu,
hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta
maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang
dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah
oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian.
Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan
kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu.
Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab
kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali,
hingga beliau berkata, “Kami
menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya
karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan
kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau
berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta
memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih),
beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di
majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk
diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali
menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli
dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih
dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan
untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke
Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota
Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan.
Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih
khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun
memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang
menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al
Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar
A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan
Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu,
sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka.
Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484
H beliau berangkat ke Baghdad
dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah
beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.
C. Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam
diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap
filsafat, seperti kitab At
Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau
menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja
kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam
hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar
meneliti kitab Ikhwanush Shafa
dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Al Ghazali dalam
perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab
Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.”
(Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Perkataannya di Ihya
Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak,
berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu.”
(Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih,
tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan
sunah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran.
Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan
membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki
bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang
hakiki
.
Adz Dzahabi berkata, “Orang
ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut.
Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya,
dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah
memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau
senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan
penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang
yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf
dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama muslimin
membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi
mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar
dan tidak mampu.” (Majmu’
Fatawa 4/164).
D. Polemik Kejiwaan Imam Ghazali
Kedudukan
dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia.
Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang
menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali
kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H
beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai
penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari.
Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus
beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok
tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang
dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana
dan menulis kitab Ihya Ulumuddin,
Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para
ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu
Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis
dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi.
Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al
Hafshi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk
menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan
jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal
menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke
Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.”
(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil
hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke
Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa
tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk
beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk
orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an,
berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat
dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
E. Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau
dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya.
Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada
akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan
ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau
berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau
belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa
orang putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam
kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh
hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.”
Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan
berkata, “Saya patuh dan taat
untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya
dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi
hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada
hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath
Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah
6/201).
F. Karya-Karyanya
Beliau seorang yang
produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di antara karyanya
yang terkenal ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
1.
Arba’in Fi
Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2.
Qawa’idul Aqa’id, yang
beliau satukan dengan Ihya’
Ulumuddin pada jilid pertama.
3.
Al Iqtishad Fil
I’tiqad.
4.
Tahafut Al
Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan
pemikiran para filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5.
Faishal At Tafriqah
Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan
tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat banyak. Secara ringkas dapat kita
kutip yang terkenal, di antaranya:
(1) Al Mustashfa Min Ilmil Ushul.
Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih. Yang sangat populer dari
buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu kalamnya. Dalam kitab ini
Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang mencampur adukkan pembahasan
ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam pernyataannya, “Para ahli
ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan pembahasan kalam ke
dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya. Sehingga kecintaannya
tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi kemudian
beliau berkata, “Setelah kita
mengetahui sikap keterlaluan mereka mencampuradukkan permasalahan ini, maka
kita memandang perlu menghilangkan dari hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena
melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sangatlah sukar……”
(Dua perkataan beliau ini dinukil dari penulis Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari Al Mustashfa
hal. 17
dan 18).
Lebih
jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan mukadimah
khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa pun yang
tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya.” (Mauqif Ibnu Taimiyah Minal Asya’irah dari
Al Mustashfa hal. 19).
Kemudian
hal ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang akalnya sehat, maka berarti dia
itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang sama sekali tidak mengenal
ilmu manthiq!” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Demikianlah, karena para
sahabat juga tidak mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta
pemahamannya jauh lebih baik dari para ahli manthiq.
- Mahakun Nadzar.
- Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
- Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
- Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
- Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
- Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
- Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi.
Banyak
pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu Syaikhul Islam,
menyatakan, “Adapun mengenai
kitab Al Madhmun Bihi Ala
Ghairi Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar
yang mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan
perkataannya.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/329). Kitab ini diterbitkan terakhir
dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
- Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
- Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
- Qanun At Ta’wil.
- Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
- Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
- Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
- Ar Risalah Alladuniyah.
- Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang kitab ini, di antaranya:
Abu
Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu
Hamid telah memenuhi kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang
lebih banyak kedustaan darinya, kemudian beliau campur dengan
pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush Shafa. Mereka
adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat diusahakan.”
(Dinukil Adz Dzahabi dalam Siyar
A’lam Nubala 19/334).
Dalam
risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun penjelasan Anda tentang Abu Hamid,
maka saya telah melihatnya dan mengajaknya berbicara. Saya mendapatkan beliau
seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki kecerdasan akal dan pemahaman.
Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya, bahkan hampir seluruh usianya.
Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke dalam kancah para pejabat
tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan ahlinya dan menekuni
ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was syaitan. Sehingga
beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran wihdatul
wujud).
Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir tergelincir
keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang
ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak
memiliki keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi
kitabnya dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari
perkataan ini dengan pernyataannya, “Adapun
di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil dan terdapat
kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara
jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang.” (Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 19/339-340).
Imam
Subuki dalam Thabaqat Asy
Syafi’iyah (Lihat 6/287-288) telah mengumpulkan hadits-hadits yang
terdapat dalam kitab Al Ihya’
dan menemukan 943 hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim
Al Iraqi mentakhrij hadits-hadits Al
Ihya’ dalam kitabnya, Al
Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal Akhbar. Kitab ini
dicetak bersama kitab Ihya
Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits kepada sumber rujukannya
dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak dari hadits-hadits
tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada asalnya dari
perkataan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para penulis, khathib,
pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin.
(17) Al Munqidz Minad Dhalalah.
Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
(18) Al Wasith.
(19) Al Basith.
(20) Al Wajiz.
(21) Al Khulashah. Keempat kitab ini
adalah kitab rujukan fiqih Syafi’iyah yang beliau tulis. Imam As Subki
menyebutkan 57 karya beliau dalam Thabaqat
Asy Syafi’iyah 6/224-227.
G. Aqidah
dan Madzhab Beliau
Dalam masalah fikih, beliau seorang
yang bermazhab Syafi’i. Nampak dari karyanya Al Wasith, Al Basith dan Al Wajiz. Bahkan kitab beliau Al Wajiz termasuk buku induk dalam mazhab Syafi’i. Mendapat
perhatian khusus dari para ulama Syafi’iyah. Imam Adz Dzahabi menjelaskan
mazhab fikih beliau dengan pernyataannya, “Syaikh Imam, Hujjatul Islam, A’jubatuz zaman, Zainuddin Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi Asy Syafi’i.”
Sedangkan
dalam sisi akidah, beliau sudah terkenal dan masyhur sebagai seorang yang
bermazhab Asy’ariyah. Banyak membela Asy’ariyah dalam membantah Bathiniyah,
para filosof serta kelompok yang menyelisihi mazhabnya. Bahkan termasuk salah
satu pilar dalam mazhab tersebut. Oleh karena itu beliau menamakan kitab
aqidahnya yang terkenal dengan judul Al Iqtishad Fil I’tiqad. Tetapi karya beliau dalam aqidah
dan cara pengambilan dalilnya, hanyalah merupakan ringkasan dari karya tokoh
ulama Asy’ariyah sebelum beliau (pendahulunya). Tidak memberikan sesuatu yang
baru dalam mazhab Asy’ariyah. Beliau hanya memaparkan dalam bentuk baru dan
cara yang cukup mudah. Keterkenalan Imam Ghazali sebagai tokoh Asy’ariyah juga
dibarengi dengan kesufiannya. Beliau menjadi patokan marhalah yang sangat
penting menyatunya Sufiyah ke dalam Asy’ariyah.
Akan
tetapi tasawuf apakah yang diyakini beliau? Memang agak sulit menentukan
tasawuf beliau. Karena seringnya beliau membantah sesuatu, kemudian beliau
jadikan sebagai aqidahnya. Beliau mengingkari filsafat dalam kitab Tahafut,
tetapi beliau sendiri menekuni filsafat dan menyetujuinya.
Ketika
berbicara dengan Asy’ariyah tampaklah sebagai seorang Asy’ari tulen. Ketika
berbicara tasawuf, dia menjadi sufi. Menunjukkan seringnya beliau
berpindah-pindah dan tidak tetap dengan satu mazhab. Oleh karena itu Ibnu Rusyd
mencelanya dengan mengatakan, “Beliau
tidak berpegang teguh dengan satu mazhab saja dalam buku-bukunya. Akan tetapi
beliau menjadi Asy’ari bersama Asy’ariyah, sufi bersama sufiyah dan filosof
bersama filsafat.” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 110).
Adapun
orang yang menelaah kitab dan karya beliau seperti Misykatul Anwar, Al Ma’arif Aqliyah, Mizanul Amal, Ma’arijul Quds,
Raudhatuthalibin, Al Maqshad Al Asna, Jawahirul Qur’an dan Al Madmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi,
akan mengetahui bahwa tasawuf beliau berbeda dengan tasawuf orang sebelumnya.
Syaikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud menjelaskan tasawuf Al Ghazali
dengan menyatakan, bahwa kunci mengenal kepribadian Al Ghazali ada dua perkara:
Pertama,
pendapat beliau, bahwa setiap orang memiliki tiga aqidah. Yang pertama,
ditampakkan di hadapan orang awam dan yang difanatikinya. Kedua, beredar dalam
ta’lim dan ceramah. Ketiga, sesuatu yang dii’tiqadi seseorang dalam dirinya.
Tidak ada yang mengetahui kecuali teman yang setara pengetahuannya. Bila
demikian, Al Ghazali menyembunyikan sisi khusus dan rahasia dalam aqidahnya.
Kedua,
mengumpulkan pendapat dan uraian singkat beliau yang selalu mengisyaratkan
kerahasian akidahnya. Kemudian membandingkannya dengan pendapat para filosof
saat beliau belum cenderung kepada filsafat Isyraqi dan tasawuf, seperti Ibnu
Sina dan yang lainnya. (Mauqif
Ibnu Taimiyah Minal Asyariyah 2/628).
Beliau
(Syeikh Dr. Abdurrahman bin Shalih Ali Mahmud) menyimpulkan hasil penelitian
dan pendapat para peneliti pemikiran Al Ghazali, bahwa tasawuf Al Ghazali
dilandasi filsafat Isyraqi (Madzhab Isyraqi dalam filsafat ialah mazhab yang
menyatukan pemikiran dan ajaran dalam agama-agama kuno, Yunani dan Parsi.
Termasuk bagian dari filsafat Yunani dan Neo-Platoisme. Lihat Al Mausu’ah Al Muyassarah Fi Al Adyan Wal
Madzahibi Wal Ahzab Al Mu’ashirah, karya Dr. Mani’ bin Hamad Al
Juhani 2/928-929). Sebenarnya inilah yang dikembangkan beliau akibat pengaruh
karya-karya Ibnu Sina dan Ikhwanush Shafa. Demikian juga dijelaskan pentahqiq
kitab Bughyatul Murtad
dalam mukadimahnya. Setelah menyimpulkan bantahan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
terhadap beliau dengan mengatakan, “Bantahan
Ibnu Taimiyah terhadap Al Ghazali didasarkan kejelasannya mengikuti filsafat
dan terpengaruh dengan sekte Bathiniyah dalam menta’wil nash-nash, walaupun
beliau membantah habis-habisan mereka, seperti dalam kitab Al Mustadzhiri.
Ketika tujuan kitab ini (Bughyatul Murtad, pen) adalah untuk membantah orang
yang berusaha menyatukan agama dan filsafat, maka Syaikhul Islam menjelaskan
bentuk usaha tersebut pada Al Ghazali. Yang berusaha menafsirkan nash-nash
dengan tafsir filsafat Isyraqi yang didasarkan atas ta’wil batin terhadap nash,
sesuai dengan pokok-pokok ajaran ahli Isyraq (pengikut filsafat
neo-platonisme).” (Lihat Mukadimah kitab Bughyatul Murtad hal. 111).
Tetapi
perlu diketahui, bahwa pada akhir hayatnya, beliau kembali kepada ajaran
Ahlusunnah Wal Jama’ah meninggalkan filsafat dan ilmu kalam, dengan menekuni Shahih Bukhari dan Muslim. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Penulis
Jawahirul Qur’an (Al Ghazali, pen) karena banyak meneliti perkataan para
filosof dan merujuk kepada mereka, sehingga banyak mencampur pendapatnya dengan
perkataan mereka. Pun beliau menolak banyak hal yang bersesuaian dengan mereka.
Beliau memastikan, bahwa perkataan filosof tidak memberikan ilmu dan keyakinan.
Demikian juga halnya perkataan ahli kalam. Pada akhirnya beliau menyibukkan
diri meneliti Shahih Bukhari dan Muslim hingga wafatnya dalam keadaan demikian.
Harrah's Cherokee Casino & Hotel - Mapyro
ReplyDeleteFind all information 안양 출장안마 and best deals of 화성 출장샵 Harrah's Cherokee Casino & 밀양 출장마사지 Hotel in 경기도 출장안마 Murphy, NC, including fully refundable rates with free 계룡 출장마사지 cancellation.