Abu al-A’la al-Ma’ari adalah seorang
penyair arab terkemuka. Ia lahir di sebuah kota kecil bagian utara Suriah yang
berjarak 70 km darisebelah selatan Aleppo atau sebelah utara Hims, tepatnya
pada hari jum’at tanggal 28 Rabiul awal 363 H (26 Desember 973 M). Pada usia
empat tahun, ia terserang penyakit cacar sehingga menyebabkan dia kehilangan
pengelihatan. Meskipun cacat (tuna netra), ia terus melanjutkan studinya dan
menjadi penyair sekaligus menjadi filosof ternama yang mempunyai pengaruh besar
pada masanya dan itu berlanjut sampai masa modern terutama seorang tokoh sastra
yang bernama Toha Husain yang menjadi spesialist dalam mentelaah karya dari
Ma’ari . Selama lima belas tahun, ia mengajar Sastra dan Filologi Arab. Selama
periode ini, popularitasnya sebagai penyair dan ilmuan tersebar luas keseluruh
jazirah arab yang membentang dari irak sampai magribi. Kemudian, ia pindah ke
Bagdad pada usianya yang sudah berkepala tiga tidaklaian karena mengunjungi
perpustakaan darul Ilmi atau darul Kutub karena kecintaanya menelaah buku-buku.
Perpindahannya ke Bagdad menjadi momen terpenting dalam sejarah hidupnya yang
selanjutnya Setelah setahun tujuh bulan tinggal di Bagdad telah menjadi sebuah
koridor pemisah antara dua priode kehidupannya, ia kembali ke kampung
halamannya dan mulai menjalani kehiduban sebagai seorang asketik atau orang
zuhud.
Yang paling menarik dari Ma’ri ini
ialah kendati kecintaanya kepada ilmu pengetahuiaan sangat tinggi itu terbukti
ia meninggalkan Suriah dan pindah kebagdad yang lebih urgen lagi ialah alas an
ia meninggalkan bagdad karena mendengar bahwa ibunya juatuh sakit kendati ia
sudah menjadi seorang tokoh ternama di bagdad ia tidak lupa kepada kampong
halamannya dan siapa yang membesarkannya. Pada pekan akhir bulan ramadhan
400H/1010M, Ma’ari mualai melakukan perjalanan pulang dengan melewati Mosul dan
Mayyafariqin. Akan tetapi setibanya beliau di rumah ia mendapati ibunya sudah
tiada. Sungguh ia merasa terpukul untuk kedua kalinya, yang kemudian perasaan
sedihnya itu diekspresikan dalam sebuah syair eliginya. Ia mengatakan lebih
senang meninggal lebuh dahulu dari ibunya karena merasa baktinya kepada ibunya
belum tuntas. Tapi faktanya sekarang penghiburan yang tersisa ia malah ingin
dan berharap agar ia bias dikubur dekat dengan ibunya. Setelah kejadian ini
belia memutuskan utuk mengucilkan diri dari masyarakat dari masyarakat luas dan
melakukan tiga hal yakni; mengucilkan diri layaknya seekor binatang, hijrah
dari dunia seperti seekor anak burung pergi darinduknya tanpa menikah dan punya
anak, dan mentap dikampung halamannya meskipun saat itu semua penduduknya lari
ketakutan karena serangan dari bangsa Romawi timur (Bezantium).
Dalam urusan agama, ia sangat
ortodok dalam artian sangat memegang teguh prinsif hukum islam mengingat jalan
yang ditempuh beliau adalah jalan sufistik dan menjauhkan diri dari
kegemerlapan duniawi. Dalam masalah-masalah metafisika, seperti kebangkitan orang
yang mati, atau alam dan keabadian jiwa, ia berpandangan bahwa pemahaman
manusia tidak bisa menerapnya secara hakiki. Dalam salah satu puisinya, ia
mengatakan bahwa kaum Muslim, Kristen, Yahudi, dan Majusi semuanya mengikuti
jalan yang salah dalam presfektif tertentu. Menurutnya, ras manusia bisa dibagi
menjadi dua kelas, yaitu orang yang cerdas tetapi ragu-ragu dan orang bodoh
yang beriman. Meskipun pandangan terhadap islam diluar kebiasaan, ia memiliki
popularitas yang pantas dipertimbangkan. Ia meninggal pada meninggal pada hari
jum’an 2 Rabiul awal 449 H (9 Mei 1057 M).
Dalam Bal-i-jibril, Allamah M Iqbal
mendramatisasi sebuah episode yang menarik tentang Abu al-A’la al-Ma’ari.
Yaitu, bahwa al-Ma’ari ada seorang vegetarian dan tidak makan daging. Sekali
waktu, seorang teman al-Ma’ari mengirimnya ayam panggang. Hidangan dengan bumbu
yang sedap sangat menggiurkan. Namun, al-Ma’ari tidak memakannya. Sebaliknya,
ia justru berfilsafat dan menunjuk ke ayam hutan yang mati dipanggang itu,
begini:
“Hai burung malang, ceritakan
kepadaku apa kesalahanmu sehingga engkau dihukum seperti itu. Sayang skali,
engkau bukanlah seekor burung elang, dan kau tidak bisa memahami rahasia alam.
Keputusan sang Penentu takdir adalah bahwa kelemahan adalah kejahatan yang
dapat dihukum dengan kematian”
No comments:
Post a Comment