Thursday, 16 April 2015

BIOGRAFI ABU AL-A’LA AL-MA’ARI




Abu al-A’la al-Ma’ari adalah seorang penyair arab terkemuka. Ia lahir di sebuah kota kecil bagian utara Suriah yang berjarak 70 km darisebelah selatan Aleppo atau sebelah utara Hims, tepatnya pada hari jum’at tanggal 28 Rabiul awal 363 H (26 Desember 973 M). Pada usia empat tahun, ia terserang penyakit cacar sehingga menyebabkan dia kehilangan pengelihatan. Meskipun cacat (tuna netra), ia terus melanjutkan studinya dan menjadi penyair sekaligus menjadi filosof ternama yang mempunyai pengaruh besar pada masanya dan itu berlanjut sampai masa modern terutama seorang tokoh sastra yang bernama Toha Husain yang menjadi spesialist dalam mentelaah karya dari Ma’ari . Selama lima belas tahun, ia mengajar Sastra dan Filologi Arab. Selama periode ini, popularitasnya sebagai penyair dan ilmuan tersebar luas keseluruh jazirah arab yang membentang dari irak sampai magribi. Kemudian, ia pindah ke Bagdad pada usianya yang sudah berkepala tiga tidaklaian karena mengunjungi perpustakaan darul Ilmi atau darul Kutub karena kecintaanya menelaah buku-buku. Perpindahannya ke Bagdad menjadi momen terpenting dalam sejarah hidupnya yang selanjutnya Setelah setahun tujuh bulan tinggal di Bagdad telah menjadi sebuah koridor pemisah antara dua priode kehidupannya, ia kembali ke kampung halamannya dan mulai menjalani kehiduban sebagai seorang asketik atau orang zuhud.
Yang paling menarik dari Ma’ri ini ialah kendati kecintaanya kepada ilmu pengetahuiaan sangat tinggi itu terbukti ia meninggalkan Suriah dan pindah kebagdad yang lebih urgen lagi ialah alas an ia meninggalkan bagdad karena mendengar bahwa ibunya juatuh sakit kendati ia sudah menjadi seorang tokoh ternama di bagdad ia tidak lupa kepada kampong halamannya dan siapa yang membesarkannya. Pada pekan akhir bulan ramadhan 400H/1010M, Ma’ari mualai melakukan perjalanan pulang dengan melewati Mosul dan Mayyafariqin. Akan tetapi setibanya beliau di rumah ia mendapati ibunya sudah tiada. Sungguh ia merasa terpukul untuk kedua kalinya, yang kemudian perasaan sedihnya itu diekspresikan dalam sebuah syair eliginya. Ia mengatakan lebih senang meninggal lebuh dahulu dari ibunya karena merasa baktinya kepada ibunya belum tuntas. Tapi faktanya sekarang penghiburan yang tersisa ia malah ingin dan berharap agar ia bias dikubur dekat dengan ibunya. Setelah kejadian ini belia memutuskan utuk mengucilkan diri dari masyarakat dari masyarakat luas dan melakukan tiga hal yakni; mengucilkan diri layaknya seekor binatang, hijrah dari dunia seperti seekor anak burung pergi darinduknya tanpa menikah dan punya anak, dan mentap dikampung halamannya meskipun saat itu semua penduduknya lari ketakutan karena serangan dari bangsa Romawi timur (Bezantium).
Dalam urusan agama, ia sangat ortodok dalam artian sangat memegang teguh prinsif hukum islam mengingat jalan yang ditempuh beliau adalah jalan sufistik dan menjauhkan diri dari kegemerlapan duniawi. Dalam masalah-masalah metafisika, seperti kebangkitan orang yang mati, atau alam dan keabadian jiwa, ia berpandangan bahwa pemahaman manusia tidak bisa menerapnya secara hakiki. Dalam salah satu puisinya, ia mengatakan bahwa kaum Muslim, Kristen, Yahudi, dan Majusi semuanya mengikuti jalan yang salah dalam presfektif tertentu. Menurutnya, ras manusia bisa dibagi menjadi dua kelas, yaitu orang yang cerdas tetapi ragu-ragu dan orang bodoh yang beriman. Meskipun pandangan terhadap islam diluar kebiasaan, ia memiliki popularitas yang pantas dipertimbangkan. Ia meninggal pada meninggal pada hari jum’an 2 Rabiul awal 449 H (9 Mei 1057 M).
Dalam Bal-i-jibril, Allamah M Iqbal mendramatisasi sebuah episode yang menarik tentang Abu al-A’la al-Ma’ari. Yaitu, bahwa al-Ma’ari ada seorang vegetarian dan tidak makan daging. Sekali waktu, seorang teman al-Ma’ari mengirimnya ayam panggang. Hidangan dengan bumbu yang sedap sangat menggiurkan. Namun, al-Ma’ari tidak memakannya. Sebaliknya, ia justru berfilsafat dan menunjuk ke ayam hutan yang mati dipanggang itu, begini:
“Hai burung malang, ceritakan kepadaku apa kesalahanmu sehingga engkau dihukum seperti itu. Sayang skali, engkau bukanlah seekor burung elang, dan kau tidak bisa memahami rahasia alam. Keputusan sang Penentu takdir adalah bahwa kelemahan adalah kejahatan yang dapat dihukum dengan kematian”

No comments:

Post a Comment