Saturday 4 April 2015

Pemikiran Filsafat Islam Abbas Mahmud Aqqad



                                                                  Abbas Mahmud Aqqad

Abbas adalah seorang pemikir ulung, filosof serta ulama sekaligus jurnalis dipenghujung-awal abad 19 dan 20. Putra dari Ibrahim Mahmud Al-Aqqad ini lahir pada hari Jum`at di Kota Aswan, dalam ruang lingkup keluarga terhormat yang amat memperhatikan pertumbuhannya. Ayah beliau sendiri bertugas disalah satu Kantor Arsip Provinsi Aswan, yang pada saat itu kondisi kodifikasi arsip Mesir sendiri dalam keadaan yang memang kurang kondusif. Keadaan ini memaksa ayahandanya untuk selalu menghabiskan waktu di meja kantornya.
Kakek beliau bernama Muhammad Aga As-Syarif yang mana garis keturunannya sampai kepada Abbas bin Abdel Mutallib kakek dari Rasulullah SAW. Secara garis keturunan Abbas dapat kita simpulkan bahwa beliau termasuk kedalam ahlul bait.
Pada masa kecilnya beliau sering mengikuti halaqah yang diisi oleh salah seorang ulama Azhar yaitu Sheikh Ahmad Al-Jadawi bersama ayahandanya. Dimana Ahmad Al-Jadawi sendiri banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani. Jadi sebenarnya dari masa yang amat belia sekali tanpa Aqqad sadari telah tertanam didalam dirinya beragam dan corak dari tokoh-tokoh keislaman pada masa itu. Ditambah lagi, Aqqad sendiri sangat mengagumi Mostafa Kamil.
Dimasa kecilnya beliau memiliki kemampuan yang amat lain dari teman-teman sebayanya. Seperti halnya dibangku sekolah, pada masa yang amat belia sekali ia sudah dapat memahami hal-hal yang berkenaan dengan sosial. Aqqad juga gemar membaca, salah satu kitab yang amat ia gandrungi adalah “Kisah 1001 satu malam” dan Diwan Baha Al-Zuhairi juga kitab yang dikarang oleh Al-Abshihi yang berjudul “Al-Mustathraf fil Fannil Mustazhraf”.
Imam Muhammad Abduh pada saat berkunjung ke Sekolah Dasar Nasional dimana Aqqad berseragam SD-nya berkata mengenai intelektual yang dimiliki Aqqad melalui karya-karya sicilik Aqqad, sambil berdecak kagum Imam Muhammad Abduh berkata: “Sesiapapun yang menulis ini akan menjadi penulis nantinya”. Namun pendidikan formal yang dienyam–nya tidaklah seperti yang diharapkan, karena pada usia yang sangat muda sekali yaitu ketika ia berumur 15 tahun ia meninggalkan bangku sekolah atau setelah menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar.
Adapun sebab yang mendorong beliau untuk meninggalkan pendidikannya adalah kemauan dirinya sendiri, dengan kata lain Aqqad sendiri lebih gemar untuk membaca sendiri daripada untuk mengenyam pendidikan secara formal. Mungkin jika beliau meneruskan pendidikannya sampai pada bangku kuliah, maka akan lain lagi kisah petualangan seorang penulis ini, bisa jadi ia akan berangkat ke Eropa dan akan setara dengan para pemikir-pemikir terkemuka Mesir lainnya pada masa itu. Menurut pemaparan saudara Aqqad yaitu Sayyed Aqqad, Abbas memiliki kemampuan ingatan diatas rata-rata, jarang sekali ia membuka ulang buku-buku ia telah ia baca sebelumnya, ia hanya cukup meminta pertolongan Sayyed sendiri dalam memastikan buku-buku yang telah ia baca sebelumnya baik itu dari segi halaman buku maupun kepastian dari intisari yang telah ia baca.
Namun bagi beliau pendidikan formal bukanlah segala-galanya, dengan terputusnya pendidikan tidak menjadikan beliau berhenti untuk mendalami apa yang ia rasa menarik bagi dirinya, hal ini dapat dilihat ketika ia mulai bekerja sebagai salah seorang buruh upahan disebuah Pabrik Sutra di kota Demyaat. Ia memanfaatkan gaji dan waktu luang untuk membeli buku-buku, membaca dan menulis terutama di bidang politik dan sastra.
Aqqad berkata didalam sebuah karyanya yang berjudul Abqareyyas Siddiq: “aku tidak menulis tentang sejarah kekhilafahannya dan bukan juga tentang tragedi-tragedi yang terjadi pada masa itu, akan tetapi yang kutuliskan adalah gambaran pribadi dari seorang khalifah besar dimana kita dapat mengenalnya lebih dekat untuk lebih memperjelas kreasi-kreasi beliau serta faktor-faktor yang mendorong kesuksesan beliau”. Dari paparan yang disampaikan beliau kami mencoba untuk mengambil intisari apa sebenarnya yang terbesit dari pemikiran Aqqad dalam karyanya yang satu ini, bahwa sebenarnya bagi setiap generasi penerus yang terpenting adalah mampu untuk mengembangkan prilaku-prilaku serta faktor-faktor yang mendukung kesuksesan baik itu dari segi dakwah, akhlak kepada manusia dan yang tak kalah pentingnya lagi akhlak terhadap sang Khalik.
Karena bagi Aqqad sendiri yang terpenting dalam setiap penulisan karya-karyanya adalah penyampaian poin yang akan dijelaskan lebih penting dari pada harus menghamburkan kata-kata dalam arena puja-memuji seorang tokoh yang dibahas. Hal ini jelas seperti apa yang disampaikan beliau dalam buku yang sama: “…tidaklah penting bagi kita kecil besarnya kepribadian Abu Bakar dimata ummat Islam, karena pada dasarnya ia akan mengecil dan membesar, karena semua itu tergantung pada kaca-mata orang-orang yang memandangnya, karena pada dasarnya hal-hal yang kecil memiliki hal yang lebih penting dari pada hal-hal yang terkesan besar namun memiliki kepentingan yang sedikit.
Disaat Aqqad mulai menuangkan tinta pikirannya ketika mendalami hal-hal yang berkenaan dengan jurnalistik dan pers, Aqqad memiliki pengalaman yang berbeda seperti apa yang dialami para wartawan atau jurnalis-jurnalis lain pada masa itu. Ia harus bekerja keras membagi waktu menjadi seorang pegawai Jalur Lintas Perusahaan Kereta Api di kota Zaqaziq provinsi Sharkeyya dan menjadi seorang yang mengamati permasalahan sastra dan politik Mesir pada saat itu. Pada umur 16 tahun tepatnya pada tahun 1905 M ia bertolak menuju ibu kota, dengan berbekalkan berbagai pengalaman menulis, ia memberanikan diri untuk datang menghadap para tokoh-tokoh yang ada pada masa itu di kota Kairo, yang diantara lain adalah: Ya`qub Shoorof, George Zidane dan Mohammad Farid yang pada saat menjadi salah seorang tokoh nasionalis terkemuka. Setelah berselang 2 tahun yaitu pada tahun 1907 Aqqad bertemu dengan salah seorang pemuka jurnalis keislaman dan seorang evaluator politik dan sastra Mohammad Farid Wajdi. Aqqad datang pada Farid Wajdi dan menawarkan diri untuk menjadi salah satu staffnya diharian Dustur. Dan pada tahun yang sama Aqqad bertemu dengan Saad Zaghlool dimana beliau pada masa itu menjabat menjadi Menteri Penerangan, dimana pada masa itu siasat politik Saad Zaghlool yang ia terapkan diperkantoran divisi penerangan sendiri banyak ditentang oleh banyak kalangan.
Hubungan yang erat antara guru dan murid -red. Aqqad dan Farid- ini semakin akrab, hal ini dikarenakan seluruh kolom serta rubrik yang diterbitkan pada setiap edisinya ditangani langsung oleh mereka berdua. Dimana Aqqad sendiri menangani editorial dan terjemah. Aqqad terjun langsung pada harian ini mulai dari awalnya sampai pada akhir dari edisi ini.
Setelah terhentinya harian perdana dimana Aqqad banyak belajar bagaimana tentang percaturan dunia pers, Aqqad kembali bekerja sebagai penulis sastra di Kementrian Wakaf, namun tugas yang emban dikementrian tak membuatnya betah sehingga ia meninggalkan pekerjaanya itu pada tahun 1913. Dan pada tahun yang sama Aqqad mencoba kembali untuk kembali ke dunia pers yaitu bekerja sebagai wartawan diharian yang mendukung perjuangan politik Khadaiwi Abbas Helmi. Kembali lagi seperti biasanya ia kembali hengkang dari harian tersebut karena merasa visi dan misi partai tersebut kurang sejalan dengan alur pemikiran yang dimiliki Aqqad dimana saat itu pimpinan redaksi adalah Sheikh Ali Yosef.
Aqqad juga pernah menjabat sebagai salah seorang staff pengajar bersama-sama dengan salah seorang penulis legendaris Mesir yaitu Ibraheem Abdel Kadir Al-Mazni. Pengalaman mengajar bagi Aqqad sendiri disini bukanlah untuk yang pertama kalinya, karena pada umur yang relatif muda yaitu; 15 tahun, Aqqad telah terhimpun dalam staff pengajar muda di Kota Aswan yang dipimpin oleh Mostafa Kamil sendiri.
Dunia tulis menulis adalah dunianya Aqqad, ia tidak pernah menyerah untuk selalu menyelami air-air dimana ia dapat menimba ilmu dari sesiapapun. Hal ini dapat dicermati melalui sahabat-sahabat pena yang dipilih oleh Aqqad sendiri. Aqqad sendiri sangat menjunjung idelismenya sebagai seorang wartawan ataupun penulis. Walaupun kondisi pers dan jurnalistik Mesir pada saat itu sangat tidak kondusif. Hal itu dikarenakan masa transisi dari pemerintahan kolonial kepemerintahan revolusi. Dan Tidak sekali Aqqad berpindah-pindah rumah redaksi dimulai dari tahun ia datang ke Ibu Kota diantara rumah-rumah redaksi yang pernah ia datangi adalah Harian El-Ahali yaitu pada tahun 1917, Harian Al-Ahram yang terbit di Alexandria pada tahun 1919.
Tak sekali Aqqad sendiri mengalami ancaman ataupun intimidasi melalui tulisan-tulisannya disetiap harian dimana ia bertugas menjadi dewan redaksi didalamnya. Namun segala ancaman tadi tak membuatnya ketar-ketir dalam melantunkan penanya diatas kertas, karena dengan menulis bagi Aqqad sendiri adalah kebebasan segala-galanya, baik itu kebebasan berpikir, ekspresi maupun membumikan ide-ide yang tersimpan baik didalam benaknya.
Berkisar pada tahun yang sama juga, Aqqad mulai membumikan karya-karyanya, yang pada awalnya ia lebih banyak berkonsentrasi pada bidang sastra dimana pada saat yang sama juga khazanah kesusastraan jazirah arab dipenuhi para pakar-pakar sastra diantaranya adalah Amirus Syua`ra Ahmad Syauqi. Yang mana Aqqad sendiri banyak menentang buah-buah pikir Ahmad Syauqi yang banyak tertuang kedalam syair-syair yang dikumandangkan Syauqi. Diantara karya-karya Aqqad adalah:
“Khalasatul Yaumeyya”, 1912, Dar Heelal “Sudzuur”, 1913 “El-Insaan Ats-sani”, 1913
“Yaqdzatus Sabah”, 1916, Karya sastra Aqqad Perdana.
Salah satu petisi Aqqad yang jelas-jelas menentang Syauqi adalah apa yang Aqqad sampaikan sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir adalah: “Kita telah mendengar keributan yang ditimbulkan seorang yang bernama Syauqi tentang perihal kehebatannya, namun kita lalui semua itu dengan diam (tanpa reaksi-red) seperti halnya kita melalui hiruk-pikuknya keributan yang telah dilalui sebelumnya. Yaitu dengan tidak memperdulikan kemasyhurannya juga dengan tidak mencounter karya-karyanya dalam sastra. Karena sesungguhnya hasil karya Syauqi sendiri adalah salah satu pengikut mazhab ‘self-desructive’ yang kami anggap sebagai buah karya dari para orang-orang yang sombong.”
Aqqad menilai bahwa kesuksesan Syauqi sendiri didukung karena ia kerap akrab dengan orang-orang pers yang tidak segan-segan untuk mengelu-elukannya dalam media, begitu juga dengan hubungannya dengan orang-orang pemerintah dimana Aqqad menganggapnya adalah sebuah kebetulan.
Aqqad sendiri juga tidak segan-segan untuk menulis dibeberapa majalah edisi-edisi yang banyak menjadi sorotan khalayak umum pada masa itu, yaitu menjadi penulis dimajalah: Ruzel Yosser, Heelal, Akhbarul Yom dan Majalah Azhar.
C. Aqqad dan Percaturan Politik
Sebagai seorang pengamat politik Aqqad tidak pernah luput dalam mencermati segala gejolak serta polemik politik masa itu, ditambah lagi sebagai seorang jurnalis, sudah barang tentu ia menuangkan pikirannya mengenai politik kedalam rubrik-rubrik dimana ia terjun sebagai penulisnya langsung. Karena tidak ada hal lain yang menyibukkan Aqqad sendiri selain sastra, politik, jurnalis dan pengajaran. Salah satu moment penting yang dialaminya adalah ketika ia dipilih menjadi salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Dimana salah satu jurus Aqqad yang menggiringnya kedalam jeruji dan harus mendekam didalamnya yaitu; penolakan Aqqad sebagai salah seorang wakil rakyat dalam prihal revisi dua mata undang-undang yang di amini oleh Raja Fuad dimana undang-undang tersebutkan berisikan bahwa rakyat adalah sumber pemerintahan (pemerintahan ditangan rakyat-red) dan para menteri bertanggungjawab di hadapan para anggota parlementer.
Secara langsung dan jahreyyan dalam sebuah rapat parlementer Aqqad secara lantang mengatakan bahwa: “Dengan senang hati rakyat akan memenggal kepala seorang pahlawan yang mengkhianati rakyat dan mencemarkan nama baik undang-undang dasar”. Karena Aqqad sendiri menilai bahwa pemerintahan yang menyelewengkan wewenang rakyat adalah pemerintahan yang diktator. Aqqad mendekam didalam penjara dengan tuduhan konspirasi terhadap wewenang Kerajaan, dimana pada saat itu Mesir masih berada dalam pemerintahan monarki. Setelah selesai menjalani sentence selama 9 bulan hukum kurung, Aqqad tetap berada dalam beranda politik yaitu sebagai aktifis Partai Wafd, walaupun ia tetap bertentangan secara visi politik dengan seorang nasionalis ternama yang terhimpun dalam satu rumpun yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mostafa Nuhas.
Waktu yang dihabiskannya didalam penjarapun tak terbuang percuma begitu saja. The Experiences is The Best Teacher, kiranya filsafat ini tertanam kokoh didalam benak Aqqad sendiri. Beliau lebih banyak menghabiskan waktu-waktunya dipenjara dengan menulis, mengamati, berpikir serta tidak henti-hentinya memikirkan dan membayangkan apa yang sedang terjadi diluar rutan yang ia huni. Kesemuanya itu terhimpun dalam sebuah karya besar Aqqad yang berjudul “A`lamus Sudud wal Quyud” pada tahun 1937.
Gejolak politik Mesir saat itu tidak berbuahkan revolusi saja, namun sempat berakhir kepada konspirasi pemusnahan para tokoh-tokoh yang ada pada masa itu, termasuk Aqqad sendiri yaitu sekitar penghujung 40-an. Dimulai dari gejolak dialog sastra atau para pemikir yang berakhir kepada ring adu pemikiran dan sastra yang berhujung kepada percobaan pembunuhan. Dimana tragedi ini berulang kembali kepada Najeeb Mahfudz pada era 90-an.
Karena sebuah perseteruan tanpa barisan yang kecewa karena terkalahkan maupun yang dikalahkan sangat mustahil. Dimana tragedi tersebut sangat bertentangan sekali dengan etika dialog yang dianut oleh Islam sendiri, dimana Islam sendiri mengedepankan untuk selalu berbaik sangka dan tidak mengedepankan emosional buah pikir dalam sebuah sesi dialog.
Aqqad sendiri termasuk kedalam para perwira-perwira revolusi yang bersenjatakan pena, hal ini terlihat jelas dalam sebuah artikel panjang yang dipaparkannya tepat 2 bulan setelah pecahnya revolusi di Mesir pada tahun 1954 yang berbunyi: “sangat jelas sekali bahwa pemerintahan Farouq yang cukup panjang ini menyimpan hal-hal yang patut untuk dicurigai “. Dimana Aqqad menuai sebuah penghargaan yang amat bernilai yaitu “Al-Jaezah At-Taqdereyya” dari presiden Jamal A. Nasser yang berakhir kepada dialog empat mata antara dua tokoh besar ini pada tahun 1960.
Aqqad dan Abqareyyatnya
Aqqad mengungkapkan sebuah statement penting dalam pembahasan khalifah ke-3 yang bertuliskan: “kejadian-kejadian dan tragedi-tragedi akan selalu berulang dari setiap masa kemasa, walaupun kita dapat membayangkan perbedaan antara tragedi dan kejadian itu namun akan tetap ditemukan kesamaannya dari setiap waktu maupun tempat kejadian walau harus terpisahkan kurun waktu yang tidak singkat”. Aqqad memberikan istilah lain dalam serial para petinggi-petinggi dan rasul-rasul Allah pada masa kejayaan Islam, ia memberikan istilah taraajum. Tepat pada pembukaan tahun 1935 Aqqad hengkang dari dunia jurnalistik. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dibelakang meja sibuk dengan karya-karyanya yang satu ini. Dari masa kecil hingga menjelang tutup usia, Aqqad tidak pernah berhenti membaca. Karena baginya dengan membaca ia dapat menarik jutaan dari milyaran kesimpulan yang tersimpan dalam ratusan buku yang telah ia baca.
Ia sendiri tidak pernah mencoba untuk membuat sebuah kreasi baru dalam dunia “buku”. Ia tetap memberikan “jembatan” bagi para pembaca karya-karyanya akan karya-karya klasik yang telah ada sebelumnya. Ibnu Rumi Hayatihi wa Sya`rihi, adalah salah satu “jembatan” tadi.
Dapat diseksamai bahwa sebenarnya Aqqad sendiri sangat menjunjung tinggi para guru-guru, tokoh-tokoh maupun rasul-rasul Allah SWT. Jikalau seseorang ingin menggambarkan wawasan yang dimiliki para pendahulu, maka buku tulis yang dimiliki para pelajar masa kini tidak akan mampu menghimpunnya.
Begitu banyak karya-karya yang dibuahkan oleh Aqqad dalam kurun waktu yang memang relatif singkat untuk umur seorang hamba. Dan juga tak sebanding dengan karya-karya para pakar ilmuwan ataupun sastra yang ada. Namun setidaknya jalan hidup yang dipenuhi dengan liku ini telah dilalui oleh Aqqad dengan penuh kesadaran yang nyata dan terencana.
Abqareyya Khalid, Abqareyyal Imam, Abqareyya Siddiq, Hayat Al-Masih, Amr ibn Ash, Beelal bin Rabbah, Hossain dan Ali, Imam Muhammad Abduh dan masih banyak lagi lainnya diantara karya-karya beliau yang tidak kami paparkan satu persatu dalam makalah ini.
Tepat pada 12 Maret 1964 Aqqad menghembuskan nafasnya yang terakhir menghadap sang Khalik yang memang akan tetap adil dan akan tetap adil pada semua hambanya. 42 tahun sudah Aqqad meninggalkan kita secara jasad, namun secara karya serta tulisan-tulisan yang ia bumikan tetap setia menemani kita dibelakang meja.
“Maaf” adalah kata yang paling tepat dan tetap kami mintakan kepada seluruh pembaca artikel yang memang tak seberapa ini. Kami yakin dengan ribuan huruf ini kami tak mampu untuk menggambarkan siapakah sebenarnya Abbas Ibrahim Aga Al-Syarif Mahmud Al-Aqqad itu, apalagi dari segi sastra dan adab yang memang tidak kami paparkan, namun setidaknya kami sudah berusaha untuk mencari tahu tentang alur hidup seorang tokoh yang patut kita tauladani, baik itu melalui karya-karyanya maupun dari garis kritis gaya pemikiran yang dimilikinya.

No comments:

Post a Comment