Abbas Mahmud Aqqad
Abbas adalah seorang pemikir ulung, filosof serta
ulama sekaligus jurnalis dipenghujung-awal abad 19 dan 20. Putra dari Ibrahim
Mahmud Al-Aqqad ini lahir pada hari Jum`at di Kota Aswan, dalam ruang lingkup
keluarga terhormat yang amat memperhatikan pertumbuhannya. Ayah beliau sendiri
bertugas disalah satu Kantor Arsip Provinsi Aswan, yang pada saat itu kondisi
kodifikasi arsip Mesir sendiri dalam keadaan yang memang kurang kondusif.
Keadaan ini memaksa ayahandanya untuk selalu menghabiskan waktu di meja
kantornya.
Kakek beliau bernama Muhammad Aga As-Syarif yang mana
garis keturunannya sampai kepada Abbas bin Abdel Mutallib kakek dari Rasulullah
SAW. Secara garis keturunan Abbas dapat kita simpulkan bahwa beliau termasuk
kedalam ahlul bait.
Pada masa kecilnya beliau sering mengikuti halaqah
yang diisi oleh salah seorang ulama Azhar yaitu Sheikh Ahmad Al-Jadawi bersama
ayahandanya. Dimana Ahmad Al-Jadawi sendiri banyak mengadopsi
pemikiran-pemikiran Jamaluddin Al-Afghani. Jadi sebenarnya dari masa yang amat
belia sekali tanpa Aqqad sadari telah tertanam didalam dirinya beragam dan
corak dari tokoh-tokoh keislaman pada masa itu. Ditambah lagi, Aqqad sendiri
sangat mengagumi Mostafa Kamil.
Dimasa kecilnya beliau memiliki kemampuan yang amat
lain dari teman-teman sebayanya. Seperti halnya dibangku sekolah, pada masa
yang amat belia sekali ia sudah dapat memahami hal-hal yang berkenaan dengan
sosial. Aqqad juga gemar membaca, salah satu kitab yang amat ia gandrungi
adalah “Kisah 1001 satu malam” dan Diwan Baha Al-Zuhairi juga kitab yang
dikarang oleh Al-Abshihi yang berjudul “Al-Mustathraf fil Fannil Mustazhraf”.
Imam Muhammad Abduh pada saat berkunjung ke Sekolah
Dasar Nasional dimana Aqqad berseragam SD-nya berkata mengenai intelektual yang
dimiliki Aqqad melalui karya-karya sicilik Aqqad, sambil berdecak kagum Imam
Muhammad Abduh berkata: “Sesiapapun yang menulis ini akan menjadi penulis
nantinya”. Namun pendidikan formal yang dienyam–nya tidaklah seperti yang
diharapkan, karena pada usia yang sangat muda sekali yaitu ketika ia berumur 15
tahun ia meninggalkan bangku sekolah atau setelah menyelesaikan pendidikan
Sekolah Dasar.
Adapun sebab yang mendorong beliau untuk meninggalkan
pendidikannya adalah kemauan dirinya sendiri, dengan kata lain Aqqad sendiri
lebih gemar untuk membaca sendiri daripada untuk mengenyam pendidikan secara
formal. Mungkin jika beliau meneruskan pendidikannya sampai pada bangku kuliah,
maka akan lain lagi kisah petualangan seorang penulis ini, bisa jadi ia akan
berangkat ke Eropa dan akan setara dengan para pemikir-pemikir terkemuka Mesir
lainnya pada masa itu. Menurut pemaparan saudara Aqqad yaitu Sayyed Aqqad,
Abbas memiliki kemampuan ingatan diatas rata-rata, jarang sekali ia membuka
ulang buku-buku ia telah ia baca sebelumnya, ia hanya cukup meminta pertolongan
Sayyed sendiri dalam memastikan buku-buku yang telah ia baca sebelumnya baik
itu dari segi halaman buku maupun kepastian dari intisari yang telah ia baca.
Namun bagi beliau pendidikan formal bukanlah
segala-galanya, dengan terputusnya pendidikan tidak menjadikan beliau berhenti
untuk mendalami apa yang ia rasa menarik bagi dirinya, hal ini dapat dilihat
ketika ia mulai bekerja sebagai salah seorang buruh upahan disebuah Pabrik
Sutra di kota Demyaat. Ia memanfaatkan gaji dan waktu luang untuk membeli buku-buku,
membaca dan menulis terutama di bidang politik dan sastra.
Aqqad berkata didalam sebuah karyanya yang berjudul
Abqareyyas Siddiq: “aku tidak menulis tentang sejarah kekhilafahannya dan bukan
juga tentang tragedi-tragedi yang terjadi pada masa itu, akan tetapi yang
kutuliskan adalah gambaran pribadi dari seorang khalifah besar dimana kita
dapat mengenalnya lebih dekat untuk lebih memperjelas kreasi-kreasi beliau
serta faktor-faktor yang mendorong kesuksesan beliau”. Dari paparan yang
disampaikan beliau kami mencoba untuk mengambil intisari apa sebenarnya yang
terbesit dari pemikiran Aqqad dalam karyanya yang satu ini, bahwa sebenarnya
bagi setiap generasi penerus yang terpenting adalah mampu untuk mengembangkan
prilaku-prilaku serta faktor-faktor yang mendukung kesuksesan baik itu dari
segi dakwah, akhlak kepada manusia dan yang tak kalah pentingnya lagi akhlak
terhadap sang Khalik.
Karena bagi Aqqad sendiri yang terpenting dalam setiap
penulisan karya-karyanya adalah penyampaian poin yang akan dijelaskan lebih
penting dari pada harus menghamburkan kata-kata dalam arena puja-memuji seorang
tokoh yang dibahas. Hal ini jelas seperti apa yang disampaikan beliau dalam
buku yang sama: “…tidaklah penting bagi kita kecil besarnya kepribadian Abu
Bakar dimata ummat Islam, karena pada dasarnya ia akan mengecil dan membesar,
karena semua itu tergantung pada kaca-mata orang-orang yang memandangnya,
karena pada dasarnya hal-hal yang kecil memiliki hal yang lebih penting dari
pada hal-hal yang terkesan besar namun memiliki kepentingan yang sedikit.
Disaat Aqqad mulai menuangkan tinta pikirannya ketika
mendalami hal-hal yang berkenaan dengan jurnalistik dan pers, Aqqad memiliki
pengalaman yang berbeda seperti apa yang dialami para wartawan atau jurnalis-jurnalis
lain pada masa itu. Ia harus bekerja keras membagi waktu menjadi seorang
pegawai Jalur Lintas Perusahaan Kereta Api di kota Zaqaziq provinsi Sharkeyya
dan menjadi seorang yang mengamati permasalahan sastra dan politik Mesir pada
saat itu. Pada umur 16 tahun tepatnya pada tahun 1905 M ia bertolak menuju ibu
kota, dengan berbekalkan berbagai pengalaman menulis, ia memberanikan diri
untuk datang menghadap para tokoh-tokoh yang ada pada masa itu di kota Kairo,
yang diantara lain adalah: Ya`qub Shoorof, George Zidane dan Mohammad Farid
yang pada saat menjadi salah seorang tokoh nasionalis terkemuka. Setelah
berselang 2 tahun yaitu pada tahun 1907 Aqqad bertemu dengan salah seorang
pemuka jurnalis keislaman dan seorang evaluator politik dan sastra Mohammad
Farid Wajdi. Aqqad datang pada Farid Wajdi dan menawarkan diri untuk menjadi
salah satu staffnya diharian Dustur. Dan pada tahun yang sama Aqqad bertemu
dengan Saad Zaghlool dimana beliau pada masa itu menjabat menjadi Menteri
Penerangan, dimana pada masa itu siasat politik Saad Zaghlool yang ia terapkan
diperkantoran divisi penerangan sendiri banyak ditentang oleh banyak kalangan.
Hubungan yang erat antara guru dan murid -red. Aqqad
dan Farid- ini semakin akrab, hal ini dikarenakan seluruh kolom serta rubrik
yang diterbitkan pada setiap edisinya ditangani langsung oleh mereka berdua.
Dimana Aqqad sendiri menangani editorial dan terjemah. Aqqad terjun langsung
pada harian ini mulai dari awalnya sampai pada akhir dari edisi ini.
Setelah terhentinya harian perdana dimana Aqqad banyak
belajar bagaimana tentang percaturan dunia pers, Aqqad kembali bekerja sebagai
penulis sastra di Kementrian Wakaf, namun tugas yang emban dikementrian tak
membuatnya betah sehingga ia meninggalkan pekerjaanya itu pada tahun 1913. Dan
pada tahun yang sama Aqqad mencoba kembali untuk kembali ke dunia pers yaitu
bekerja sebagai wartawan diharian yang mendukung perjuangan politik Khadaiwi
Abbas Helmi. Kembali lagi seperti biasanya ia kembali hengkang dari harian
tersebut karena merasa visi dan misi partai tersebut kurang sejalan dengan alur
pemikiran yang dimiliki Aqqad dimana saat itu pimpinan redaksi adalah Sheikh
Ali Yosef.
Aqqad juga pernah menjabat sebagai salah seorang staff
pengajar bersama-sama dengan salah seorang penulis legendaris Mesir yaitu
Ibraheem Abdel Kadir Al-Mazni. Pengalaman mengajar bagi Aqqad sendiri disini
bukanlah untuk yang pertama kalinya, karena pada umur yang relatif muda yaitu;
15 tahun, Aqqad telah terhimpun dalam staff pengajar muda di Kota Aswan yang
dipimpin oleh Mostafa Kamil sendiri.
Dunia tulis menulis adalah dunianya Aqqad, ia tidak
pernah menyerah untuk selalu menyelami air-air dimana ia dapat menimba ilmu
dari sesiapapun. Hal ini dapat dicermati melalui sahabat-sahabat pena yang
dipilih oleh Aqqad sendiri. Aqqad sendiri sangat menjunjung idelismenya sebagai
seorang wartawan ataupun penulis. Walaupun kondisi pers dan jurnalistik Mesir
pada saat itu sangat tidak kondusif. Hal itu dikarenakan masa transisi dari
pemerintahan kolonial kepemerintahan revolusi. Dan Tidak sekali Aqqad
berpindah-pindah rumah redaksi dimulai dari tahun ia datang ke Ibu Kota
diantara rumah-rumah redaksi yang pernah ia datangi adalah Harian El-Ahali
yaitu pada tahun 1917, Harian Al-Ahram yang terbit di Alexandria pada tahun
1919.
Tak sekali Aqqad sendiri mengalami ancaman ataupun
intimidasi melalui tulisan-tulisannya disetiap harian dimana ia bertugas
menjadi dewan redaksi didalamnya. Namun segala ancaman tadi tak membuatnya
ketar-ketir dalam melantunkan penanya diatas kertas, karena dengan menulis bagi
Aqqad sendiri adalah kebebasan segala-galanya, baik itu kebebasan berpikir,
ekspresi maupun membumikan ide-ide yang tersimpan baik didalam benaknya.
Berkisar pada tahun yang sama juga, Aqqad mulai
membumikan karya-karyanya, yang pada awalnya ia lebih banyak berkonsentrasi
pada bidang sastra dimana pada saat yang sama juga khazanah kesusastraan
jazirah arab dipenuhi para pakar-pakar sastra diantaranya adalah Amirus Syua`ra
Ahmad Syauqi. Yang mana Aqqad sendiri banyak menentang buah-buah pikir Ahmad
Syauqi yang banyak tertuang kedalam syair-syair yang dikumandangkan Syauqi.
Diantara karya-karya Aqqad adalah:
“Khalasatul Yaumeyya”, 1912, Dar Heelal “Sudzuur”,
1913 “El-Insaan Ats-sani”, 1913
“Yaqdzatus Sabah”, 1916, Karya sastra Aqqad Perdana.
“Yaqdzatus Sabah”, 1916, Karya sastra Aqqad Perdana.
Salah satu petisi Aqqad yang jelas-jelas menentang
Syauqi adalah apa yang Aqqad sampaikan sebelum ia menghembuskan nafasnya yang
terakhir adalah: “Kita telah mendengar keributan yang ditimbulkan seorang yang
bernama Syauqi tentang perihal kehebatannya, namun kita lalui semua itu dengan
diam (tanpa reaksi-red) seperti halnya kita melalui hiruk-pikuknya keributan
yang telah dilalui sebelumnya. Yaitu dengan tidak memperdulikan kemasyhurannya
juga dengan tidak mencounter karya-karyanya dalam sastra. Karena sesungguhnya
hasil karya Syauqi sendiri adalah salah satu pengikut mazhab ‘self-desructive’
yang kami anggap sebagai buah karya dari para orang-orang yang sombong.”
Aqqad menilai bahwa kesuksesan Syauqi sendiri didukung
karena ia kerap akrab dengan orang-orang pers yang tidak segan-segan untuk
mengelu-elukannya dalam media, begitu juga dengan hubungannya dengan
orang-orang pemerintah dimana Aqqad menganggapnya adalah sebuah kebetulan.
Aqqad sendiri juga tidak segan-segan untuk menulis
dibeberapa majalah edisi-edisi yang banyak menjadi sorotan khalayak umum pada
masa itu, yaitu menjadi penulis dimajalah: Ruzel Yosser, Heelal, Akhbarul Yom
dan Majalah Azhar.
C. Aqqad dan Percaturan Politik
Sebagai seorang pengamat politik Aqqad tidak pernah
luput dalam mencermati segala gejolak serta polemik politik masa itu, ditambah
lagi sebagai seorang jurnalis, sudah barang tentu ia menuangkan pikirannya
mengenai politik kedalam rubrik-rubrik dimana ia terjun sebagai penulisnya
langsung. Karena tidak ada hal lain yang menyibukkan Aqqad sendiri selain
sastra, politik, jurnalis dan pengajaran. Salah satu moment penting yang
dialaminya adalah ketika ia dipilih menjadi salah seorang anggota Dewan
Perwakilan Rakyat. Dimana salah satu jurus Aqqad yang menggiringnya kedalam
jeruji dan harus mendekam didalamnya yaitu; penolakan Aqqad sebagai salah
seorang wakil rakyat dalam prihal revisi dua mata undang-undang yang di amini
oleh Raja Fuad dimana undang-undang tersebutkan berisikan bahwa rakyat adalah
sumber pemerintahan (pemerintahan ditangan rakyat-red) dan para menteri
bertanggungjawab di hadapan para anggota parlementer.
Secara langsung dan jahreyyan dalam sebuah rapat
parlementer Aqqad secara lantang mengatakan bahwa: “Dengan senang hati rakyat
akan memenggal kepala seorang pahlawan yang mengkhianati rakyat dan mencemarkan
nama baik undang-undang dasar”. Karena Aqqad sendiri menilai bahwa pemerintahan
yang menyelewengkan wewenang rakyat adalah pemerintahan yang diktator. Aqqad
mendekam didalam penjara dengan tuduhan konspirasi terhadap wewenang Kerajaan,
dimana pada saat itu Mesir masih berada dalam pemerintahan monarki. Setelah
selesai menjalani sentence selama 9 bulan hukum kurung, Aqqad tetap berada
dalam beranda politik yaitu sebagai aktifis Partai Wafd, walaupun ia tetap
bertentangan secara visi politik dengan seorang nasionalis ternama yang
terhimpun dalam satu rumpun yang tidak lain dan tidak bukan adalah Mostafa
Nuhas.
Waktu yang dihabiskannya didalam penjarapun tak
terbuang percuma begitu saja. The Experiences is The Best Teacher, kiranya
filsafat ini tertanam kokoh didalam benak Aqqad sendiri. Beliau lebih banyak
menghabiskan waktu-waktunya dipenjara dengan menulis, mengamati, berpikir serta
tidak henti-hentinya memikirkan dan membayangkan apa yang sedang terjadi diluar
rutan yang ia huni. Kesemuanya itu terhimpun dalam sebuah karya besar Aqqad
yang berjudul “A`lamus Sudud wal Quyud” pada tahun 1937.
Gejolak politik Mesir saat itu tidak berbuahkan
revolusi saja, namun sempat berakhir kepada konspirasi pemusnahan para
tokoh-tokoh yang ada pada masa itu, termasuk Aqqad sendiri yaitu sekitar
penghujung 40-an. Dimulai dari gejolak dialog sastra atau para pemikir yang
berakhir kepada ring adu pemikiran dan sastra yang berhujung kepada percobaan
pembunuhan. Dimana tragedi ini berulang kembali kepada Najeeb Mahfudz pada era
90-an.
Karena sebuah perseteruan tanpa barisan yang kecewa
karena terkalahkan maupun yang dikalahkan sangat mustahil. Dimana tragedi
tersebut sangat bertentangan sekali dengan etika dialog yang dianut oleh Islam
sendiri, dimana Islam sendiri mengedepankan untuk selalu berbaik sangka dan
tidak mengedepankan emosional buah pikir dalam sebuah sesi dialog.
Aqqad sendiri termasuk kedalam para perwira-perwira
revolusi yang bersenjatakan pena, hal ini terlihat jelas dalam sebuah artikel
panjang yang dipaparkannya tepat 2 bulan setelah pecahnya revolusi di Mesir
pada tahun 1954 yang berbunyi: “sangat jelas sekali bahwa pemerintahan Farouq
yang cukup panjang ini menyimpan hal-hal yang patut untuk dicurigai “. Dimana
Aqqad menuai sebuah penghargaan yang amat bernilai yaitu “Al-Jaezah
At-Taqdereyya” dari presiden Jamal A. Nasser yang berakhir kepada dialog empat
mata antara dua tokoh besar ini pada tahun 1960.
Aqqad dan Abqareyyatnya
Aqqad mengungkapkan sebuah statement penting dalam
pembahasan khalifah ke-3 yang bertuliskan: “kejadian-kejadian dan
tragedi-tragedi akan selalu berulang dari setiap masa kemasa, walaupun kita
dapat membayangkan perbedaan antara tragedi dan kejadian itu namun akan tetap
ditemukan kesamaannya dari setiap waktu maupun tempat kejadian walau harus
terpisahkan kurun waktu yang tidak singkat”. Aqqad memberikan istilah lain
dalam serial para petinggi-petinggi dan rasul-rasul Allah pada masa kejayaan
Islam, ia memberikan istilah taraajum. Tepat pada pembukaan tahun 1935 Aqqad
hengkang dari dunia jurnalistik. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya
dibelakang meja sibuk dengan karya-karyanya yang satu ini. Dari masa kecil
hingga menjelang tutup usia, Aqqad tidak pernah berhenti membaca. Karena baginya
dengan membaca ia dapat menarik jutaan dari milyaran kesimpulan yang tersimpan
dalam ratusan buku yang telah ia baca.
Ia sendiri tidak pernah mencoba untuk membuat sebuah
kreasi baru dalam dunia “buku”. Ia tetap memberikan “jembatan” bagi para
pembaca karya-karyanya akan karya-karya klasik yang telah ada sebelumnya. Ibnu
Rumi Hayatihi wa Sya`rihi, adalah salah satu “jembatan” tadi.
Dapat diseksamai bahwa sebenarnya Aqqad sendiri sangat
menjunjung tinggi para guru-guru, tokoh-tokoh maupun rasul-rasul Allah SWT.
Jikalau seseorang ingin menggambarkan wawasan yang dimiliki para pendahulu,
maka buku tulis yang dimiliki para pelajar masa kini tidak akan mampu
menghimpunnya.
Begitu banyak karya-karya yang dibuahkan oleh Aqqad
dalam kurun waktu yang memang relatif singkat untuk umur seorang hamba. Dan
juga tak sebanding dengan karya-karya para pakar ilmuwan ataupun sastra yang
ada. Namun setidaknya jalan hidup yang dipenuhi dengan liku ini telah dilalui
oleh Aqqad dengan penuh kesadaran yang nyata dan terencana.
Abqareyya Khalid, Abqareyyal Imam, Abqareyya Siddiq,
Hayat Al-Masih, Amr ibn Ash, Beelal bin Rabbah, Hossain dan Ali, Imam Muhammad
Abduh dan masih banyak lagi lainnya diantara karya-karya beliau yang tidak kami
paparkan satu persatu dalam makalah ini.
Tepat pada 12 Maret 1964 Aqqad menghembuskan nafasnya
yang terakhir menghadap sang Khalik yang memang akan tetap adil dan akan tetap
adil pada semua hambanya. 42 tahun sudah Aqqad meninggalkan kita secara jasad,
namun secara karya serta tulisan-tulisan yang ia bumikan tetap setia menemani
kita dibelakang meja.
“Maaf” adalah kata yang paling tepat dan tetap kami
mintakan kepada seluruh pembaca artikel yang memang tak seberapa ini. Kami
yakin dengan ribuan huruf ini kami tak mampu untuk menggambarkan siapakah
sebenarnya Abbas Ibrahim Aga Al-Syarif Mahmud Al-Aqqad itu, apalagi dari segi
sastra dan adab yang memang tidak kami paparkan, namun setidaknya kami sudah
berusaha untuk mencari tahu tentang alur hidup seorang tokoh yang patut kita
tauladani, baik itu melalui karya-karyanya maupun dari garis kritis gaya
pemikiran yang dimilikinya.
No comments:
Post a Comment