Dari zaman-ke
zaman silih berganti dating selalu membawa perbahan begitu deras dirasa dari
dahulu sampai kini, begitu banyaknya warna-warni dan corak pwemikiran yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat yang mewarnai perubahan zaman umat
manusia datang silih berganti, di situlah sosok pembaharu pembawa angin
kesegaran selalu dinanti ummat akhir zaman, semoga harapan itu dating dari
setiap jiwa yang terketuk untuk selalu mengajak pada perubahan yang diharapkan,
mudah-mudahan dari dua sosok pembaharu di abad ini bisa menjadi insfirasi semua
orang yang mengharap perubahan itu terwujud.
B.
PEMBAHASAN
1.
Riwayat Hidup KH.
Ahmad Dahlan
Seperti yang
kita ketahui bahwa penulisan riwayat hidup K.H. Ahmad Dahlan telah banyak
dilakukan oleh para sarjana.[1] K.H.
Ahmad Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta pada tahun 2008 . Nama kecilnya adalah
Muhammad Darwisy dan merupakan anak keempat dari K.H. Abu Bakar (seorang ulama
dan khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan ibunya
merupakan putrid dari H. Ibrahim yang menjabat sebagai penghlu kesultanan juga.[2] Ia
merupakan anak keempat dari tujuh ornag bersudara yang keseluruhan saudaranya
perempuan kecuali adik bungsunya.
Dalam silsilah
ia termasuk keturunan yang keduabelas dari maulana malik Ibrahim, seorang wali
besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor
pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di tanah Jawa. Ia dikenal jujur
dan sederhana dan inilah yang membuatnya disukai orang. Untuk mempelajari
ilmu-ilmu agama ia berpindah dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Ia mempunya
sikap kritis terhadap pola pendidikan tradisional, tetapi tidak punya kekuatan
untuk mengubahnya. Dalam keadaan seperti ini Ia beruntung memproleh kesempatan
melanjutkan pendidikannya ke Mekah pada tahun 1890.[3]
Di sinilah Ia
berinteraksi dengan pemikir-pemikir pembaharu dalam dunia Islam, seperti
Muhammad Abduh, al-Afgani, Rasyid RIdha, dan Ibnu Taimiyah. Pemikiran
tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar padanya. Jiwa dan
pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini sehingga kelak
kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui
Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan
(ke-Islaman) di sebagian dunia Islma saat itu yang masih bersifat ortodoks.
Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan
beliau tentang universalitas Islam. Ide-ide tentang reenterpretasi Islam dengan
gagasan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah mendapat perhatian khususnya saat
itu. Ia juga merupakan murid Syaikh Ahmad Khatib (1899-1916), tokoh kelahiran
Indonsea yang saat itu menempati posisi yang unggul dalam penguasaannya atas
ilmu-ilmu agama di Mekkah.[4]
Dalam
pendidikan keagamaan formalnya sebagian besar waktu K.H. Ahmad Dahlan dihabiskan untuk
mempelajari ajaran Islam tradisionalis, karena itu perkenalannya dengan
gagasan-gagasan modernisme Islam kemungkinan terjadi lewat bacaan pribadi dan
hubungannya dengan kaum moerdenis Muslim lain. Sekembalinya dari Mekkah tahun
1905. ia menikah dengan Siti Walidah, anak perempuan seorang hakim di
Yogyakarta yang kelak dikena dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan
Nasional dan pendiri Aisyiyah.
Di samping
sebagai khatib untuk mencukupikebutuhan keluarga sehari-hari, ia berdagang
batik. Ia membawadagangannya hampir ke semua daerah di Jawa dan memberinya
kesempatan untk menyampaikan gagasan-gagasannya kepada kaum Muslim yang
menonjol di daerah masing-masing. Mereka inilah yang belakangan menjadi bagian
inti gerakan Muhammadiyah dan pengikutnya yang bersemangat.[5]
K.H.
Ahmad Dahlan juga bergabung dengan organisasi Jam’aiyatul Khair, Budi Utomo,
anggota teras Sarekat Islam. hingga akhirnya di Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 lahirlah Muhammadiyah sebagai gerakan umat Islam. dan sejak awal
K.H. Ahmad Dahlan menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi
bersifat social dan bergerak di bidang pendidikan. Gagasan pendirian
Muhammadiyah oleh K.H. Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan hambatan, baik
dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru
yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah
meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan
ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar.
Keteguhan
hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah
air bisa mengatasi semua rintangan tersebut. Namun, pada saat Muhammadiyah
teratur dan kuat, K.H. Ahmad Dahlan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 23
Februari 1923 dalam usia 55 tahun. Dan sekarang kita dapat menyaksikan
Muhammadiyah menjadi semakin maju dan berkembang di seluruh nusantara dengan
berbagai amal usahanya tidak terlepas dari usaha beliau yang sangat luar biasa.
2.
Pemikiran
Pendidikan Islam KH. Ahmad Dahlan
Buya merasa
tidak puas dengan system dan praktik pendidikan saat itu, dibuktikan dengan
pandangannya mengenai tujuan pendidikan adalah untuk menciptakan manusia yang
baik budi, luas pandangan, dan bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat.[6] Karena
itu buya merentaskan beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk
pendidikan model Muhammadiyah khususnya, antara lain:
- Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad
Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action sehingga sudah pada
tempatnya apabila mewariskan cukup banyak amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab
itu untuk menelusuri bagaimana orientasi filosofis pendidikan Beliau musti
lebih banyak merujuk pada bagaimana beliau membangun sistem pendidikan. Namun
naskah pidato terakhir beliau yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk
dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau terhadap pencerahan
akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang
menggambarkan tingginya minat Beliau dalam pencerahan akal, yaitu: (1)
pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat
dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan
istiqomah terhadap kebenaran akali dengan di dasari hati yang suci; (2) akal
adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah
pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika
manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi K.H.
Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang menangkap apa yang
tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga
meskipun tidak punya latar belakang pendidikan
Barat tapi ia membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam
sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan sebagai suatu model dari
bangkitnya sebuah generasi yang merupakan titik pusat dari suatu pergerakan
yang bangkit untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam
yang berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham agama
Islam.
Berbeda dengan
tokoh-tokoh nasional pada zamannya yang lebih menaruh perhatian pada persoalan
politik dan ekonomi, K.H. Ahmad Dahlan mengabdikan diri sepenuhnya dalam bidang
pendidikan. Titik bidik pada dunia pendidikan pada gilirannya mengantarkannya
memasuki jantung persoalan umat yang sebenarnya. Seiring dengan bergulirnya
politik etis atau politik asosiasi (sejak tahun 1901), ekspansi sekolah Belanda
diproyeksikan sebagai pola baru penjajahan yang dalam jangka panjang diharapkan
dapat menggeser lembaga pendidikan Islam semacam pondok pesantren. Pendidikan
di Indonesia pada saat itu terpecah menjadi dua: pendidikan sekolah-sekolah
Belanda yang sekuler, yang tak mengenal ajaran-ajaran yang berhubungan dengan
agama; dan pendidikan di pesantren yang hanya mengajar ajaran-ajaran yang
berhubungan dengan agama saja. Dihadapkan pada dualisme sistem (filsafat) pendidikan
ini K.H. Ahmad Dahlan gelisah, bekerja keras sekuat tenaga untuk
mengintegrasikan, atau paling tidak mendekatkan kedua sistem pendidikan itu.
Cita-cita
pendidikan yang digagas Beliau adalah lahirnya manusia-manusia baru yang mampu
tampil sebagai ulama-intelek atau intelek-ulama,
yaitu seorang muslim yang memiliki keteguhan iman dan ilmu yang luas, kuat
jasmani dan rohani. Dalam rangka mengintegrasikan kedua sistem pendidikan
tersebut, K.H. Ahmad Dahlan melakukan dua tindakan sekaligus; memberi
pelajaran agama di sekolah-sekolah Belanda yang sekuler, dan mendirikan
sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan pengetahuan umum bersama-sama
diajarkan. Kedua tindakan itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang
pertama sudah diakomodir negara dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh
yayasan pendidikan Islam lain. Namun, ide Beliau tentang model pendidikan
integralistik yang mampu melahirkan muslim ulama-intelek masih terus dalam
proses pencarian. Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan
yang musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu, masalah
teknik pendidikan bisa berubah sesuai dengan perkembangan ilmu pendidikan atau
psikologi perkembangan.
Dalam rangka
menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran murid-muridnya
Beliau akhirnya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah tahun 1912. Metode
pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual
melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah ketika Beliau menjelaskan surat
al-Maun kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu
menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya.
Setelah santri-santri itu mengamalkan perintah itu baru diganti surat
berikutnya. Ada semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah,
yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Maun sebagaimana
dipraktekan K.H. Ahmad Dahlan .
Anehnya, yang
diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya, bukan cita-cita
pendidikan itu, Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari K.H. Ahmad
Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos pembaruan,
bukan bentuk atau hasil ijtihadnya. Menangkap api tajdid, bukan arangnya. Dalam
konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu memproduksi
ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali menarik disimak. Menurutnya,
sistem pendidikan dan pengajaran agama Islam di Indonesia ini yang paling baik
adalah sistem pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di
dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem pengajaran
mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya madrasah/sekolah dalam pondok
pesantren adalah bentuk sistem pengajaran dan pendidikan agama Islam yang
terbaik. Dalam semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam
tengah berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model pendidikan
terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari, tidak terkecuali di
lingkungan Muhammadiyah.
Mengadopsi
Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda dalam Madrasah-madrasah
Pendidikan Agama yaitu mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai oleh
lembaga pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan dapat menyerap dan
kemudian dengan gagasan dan prektek pendidikannya dapat menerapkan metode
pendidikan yang dianggap baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya dan
madrasah-madrasah tradisional. Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara
metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari sini tampak bahwa
lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga
pendidikan yang dikelola oleh masyarakat pribumi saat ini.
Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula
mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta, lalu sekolah
menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqa yang kelak menjadi
bibit madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah Yogyakarta. Sebagai
catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di atas baru disadari sesudah 24 tahun
Muhammadiyah berdiri, tapi Amir Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum
pendidikan Muhammadiyah menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah:[7]
- Baik budi, alim dalam agama
- Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)
- Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya
Mungkin ada
benarnya jika dikaitkan dengan latar belakang timbulnya pemikiran pendidikan
Islam K.H. Ahmad Dahlan yang antara lain disebabkan oleh rasa tidak puas
terhadap system pendidikan yang ada dan hanya mengembangkan salah satu bidang
pengetahuan dari kedua pengetahuan yang ingin dirangkul oleh K.H. Ahmad Dahlan
dengan Muhammadiyahnya. Ijtihad pemikiran pendidikan yang dicetuskan K.H. Ahmad
Dahlan melalui gagasan dan praktek pendidikan Islamnya merupakan cikal bakal
dan dijadkan estafet dalam pembaharuan system pendidikan Muhammadiyah, sebagai
contoh pondok Muhammadiyah. Ada empat pokok model pembaharuan pendidikan di
Pondok Muhammadiyah antara lain:[8]
No.
|
Sistem Pendidikan Lama
|
Pondok Muhammadiyah
|
1. 2. 3. 4.
|
System belajar mengajar Weton dan
Sorogan. Bahan pelajaran semata-mata agama, kitab-kitab karangan ulama
pembaharuan tidak dipergunakan. Belum ada RP yang teratur dan integral. Hubungan
guru dan murid lebih bersifat otoriter dan kurang demokratis.
|
Sistem klasikal dengan cara-cara
Barat. Bahan pelajaran tetap, ditambah ilmu pengetahuan umum. Kitab-kitab
agama dipergunakan secara luas, baik klasik maupun kontemporer. Sudah diatur dengan
RP. Diusahakan suasana hubungan guru dan murid lebih akrab bebas dan
demokratis.
|
Dalam
pendidikan di pondok Muhammadiyah mata pelajaran agama dan alat untuk
mempelajari agama sebagai mata pelajaran pokok. Program pendidikan pondok
Muhammadiyah berbeda dengan sekolah Muhammadiyah. Pondok Muhammadiyah
menekankan hal keagamaan . sementara sekolah kelas I dan II yang dikelola
Muhammadiyah, pendidikan agama hanya sebagai mata pelajaran suatu bidang studi
yaitu mata pelajaran Agama Islam. mata pelajaran ini disampaikan pada suatu
kelas tertentu dnegna waktu yang ditetapkan. Sekolah Muhammadiyah pada awal
abad ke-20 sudah menerapkan system ulangan, absensi murid dan kenaikan kelas.
Sementara itu, ujian dipakai sebagai pengukur kecakapan murid. Pendidikan Muhammadiyah
juga ditunjang dengan beberapa kegiatan di luar jam pelajaran dan guru
dihormati secara wajar.
K.H. Ahmad
Dahlan telah membawa pembaharuan pendidikan waktu itu melalui Muhammadiyah baik
dengan memasukkan mata pelajaran agama di sekolah-sekolah umum dan menyerap
ilmu-ilmu yang datang dari Barat, serta memasukkan kitab-kitab ulama baru ke
dalam kurikulumnya. Semuanya itu mengundang munculnya berbagai kecaman terhadap
beliau. Ada yang menuduh sebagai murtad, kreisten, penganut paham mu’tazilah,
kharijiah, dsb. Bahkan sampai tahun 1933 disebutkan bahwa sekolah Muhammadiyah
sebagai sekolah kebelanda-belandaan atau kebarat-baratan. Namun Muhammadiyah
tetap bisa bertahan dan hingga saat ini mewajibkan pembelajaran pengetahuan
keIslaman yang disebutal-Islam dan keMuhammadiyahan, dengan
mengajarkan Islam versi Majlis Tarjih.
Muhammadiyah
selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal
ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari
yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik
yang dilakukan pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan.[9]
Memberi Muatan
Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum Modern Belanda. Muhammadiyah baru
memutuskan meminta kepada pemerintah agar memberi izin bagi orang Islam untuk
mengajarkan agama Islam di sekolah-sekolah Goebernemen pada bulan April 1922.
sebenarnya sebelum Muhammadiyah didirikan ini sudah diusahakan namun baru
mendapat izin saat itu. Hingga akhirnya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah
swasta yang meniru sekolah Gubernemen dengan pelajaran agama di dalamnya.[10] Tujuan
pokok organisasi dan pendirian lembaga pendidikan menjadi orientasi utama K.H.
Ahmad Dahlan sehingga berusaha untuk menandingi sekolah pemerintahan Belanda
dengan mengikuti contoh misi Kristen dengan menyebarkan fasilitas dan
mendesakkan pengalaman iman.[11]
Sekolah Dasar
Belada dengan al-Qur’an didirikan dari keterkesanannya terhadap kerja para
misionaris Kristen dan SD Belanda dengan Alkitabnya.[12] Sekolah
Muhammadiyah mempertahankan dimensi Islam yang kuat, tetapi dilakukan dengan
cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang lebih awal dengan gaya
pesantrennya yang kental. Dengan contoh metode dan system pendidikan baru yang
diberikannya.[13] K.H.
Ahmad Dahlan juga ingin memodernisasi sekolah keagamaan tradisional.[14] Untuk
meningkatkan kualitas pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah
Muallimin dan Muallimat, Muballighin dan Muballighat. Dengan demikian
diharpakan lahirlah kader-kader Muslim sebagai bagian inti program
pembaharuannya yang bisa menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan membantu
menyampaikan misi-misi dan melanjutkannya di masa depan.
K.H. Ahmad
Dahlan juga bekerja keras meningkatkan moral dan posisi kaum perempuan dalam
kerangka Islam sebagai instrument yang efektif dan bermanfaat di dalam
organisasinya karena perempuan merupakan unsur penting berkat bantuan
istri dan koleganya sehingga terbentuklah Aisyiah. Di tempat-tempat tertentu,
dibukalah masjid-masjid khusus bagi kaum perempuan, seseuatu yang jarang ditemukan di Negara-negara Islam lain
bahkan hingga saat ini. K.H. Ahmad Dahlan juga membentuk gerakan pramuka
Muhammadiyah yang diberi nama Hizbul Watan.
3.
Menerapkan
Sistem Kooperatif dalam Bidang Pendidikan
Kita dapat
melihat adanya kerjasama yang harmonis antara pemerintahan Belanda dengan
Muhammadiyah. Keduanya sama-sama memperoleh keuntungan. Pertama, dari sikap non
oposisional. Kedua, mendukung program pembaharuan keagamaan termasuk di
dalam bidang pendidikan. Sikapnya yang akomodatif dan kooperatif memberikan
ketentuan mutlak untuk bertahan hidup di tengah iklim yang sangat tidak ramah
terhadap gerakan nasionalis pribumi dan disaat tidak satupun gerakan yang
sebanding dengannya dapat bertahan saat itu. Sehingga K.H. Ahmad Dahlan dapat
masuk lebih dalam pada lingkungan pendidikan kaum misionaris yang diciptakan
oleh pemerintah Belanda, yang saat itu lebih maju kedepan dari pada sistem
penddikan pribumi yang tradisional. Dari uraian tersebut di atas, ada
beberapa catatan yang direntaskan oleh buya,[15]
antara lain:
- Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan pendidikan, yang semula seistem pesantren menjadi system sekolah.
- Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau madrasah.
- Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang semula menggunakan metode weton dansorogan menjadi lebih bervariasi.
- Mengajarkan sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan.
- Dengan Muhammadiyahnya buya berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan dari yang berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum.
- Berhasil memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam system pendidikan yang dirancangkannya.
- Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Muhammadiyah
merupakan gerakan umat Islam yang lahir di Yogyakarta 18 Nopember 1912. Yang
perkembangannya, terutama sejak paruh kedua tahun 1920-an menunjukkan grafik
meningkat. Disaat gerakan umat Islam seangkatannya justru dilanda perpecahan
dan perlahan menunjukkan grafik penurunan, yaitu Sarekat Islam (SI). Yang saat
itu SI pecah karena infiltrasi komunis, sehingga muncul SI Merah yang jadi onderbow PKI (1920).
Dengan melihat
perkembangan Muhammadiyah ini ada sebagian yang menyebutkan sejarah Indonesia
1925-1945 adalah sejarah Muhammadiyah. Mungkin ini tidak berlebihan. Pernyataan
ini menyiratkan betapa besar peranan gerakan Muhammadiyah atau kader-kader
Muhammadiyah dalam dinamika sejarah umat dan bangsa ini. Sejarah mencatat, KH
Mansur penggerak MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) dan PUTERA (Pusat Tenaga
Rakyat) zaman Jepang adalah pimpinan pusat Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo,
adalah pimpinan pusat Muhammadiyah yang turut merumuskan Piagam Jakarta dan
berperan dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan. Mr.Kasman Singodimejo pun
politisi yang berasal dari Muhammadiyah. Bung Karno, Ir.Juanda, Sudirman, dll
tokoh bangsa ini tidak sedikit merupakan kader lulusan pendidikan Muhammadiyah.
Dalam aspek sosial gerakan Muhammadiyah pun banyak memberikan kontribusi
pengembangan umat dan bangsa. Misalnya Muhammadiyah memelopori pendirian Panti
Asuhan dan Rumah Sakit. Bahkan Lembaga Haji (Badan Penolong Haji) pun dirintis
murid KH Ahmad Dahlan, Haji Sujak yang mengusahakan usaha perkapalan untuk
jemaah haji pada tahun 1921. Bidang pendidikan itu lebih jelas lagi. Karena
strategi gerakan Muhammadiyah diawali dengan perintisan dan pengembangan kader
lewat jalur pendidikan formal dan non formal.
Dilihat aspek
pengembangan pemikiran keagamaan, Muhammadiyah pun berada di garda depan. Di
zaman Belanda Muhammadiyah berhasil upaya de-mistifikasi (penghancuran berpikir
mistik) dengan gerakan rasionalisasinya, tetap berpijak pada konsep Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Muhammadiyah pun mendobrak ketaklidan yang membabi buta,
berpikir feodal seperti pengkultusan individu yang bisa mematikan ijtihad dan
keterbukaan pikir. Muhammadiyah turut pula mendobrak kefeodalan dengan mengubah
kebiasaan kurang baik, dalam proses pembelajaran al-Qur’an. Misalnya turut memelopori usaha penerjemahan
Al-Qur’an, yang di zaman Belanda itu diharamkan. Muhammadiyah pun yang
memelopori ibadah hari raya di lapangan pada tahun 1930-an, yang menggemparkan.
Bahkan Belanda khawatir akan bergeser pada aksi massa. Dengan pola pikir yang
rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa kemanusiaan (kecerdasan emosional),
Muhammadiyah berhasil membawa umat sedikit demi sedikit untuk mempergunakan
nalar rasional dengan inspirasi ajaran Qur’an dan Sunah.
Dari pola
pemikiran rasional tsb gerakan Muhammadiyah telah membangunkan kesadaran umat Islam yang sebelumnya lebih
terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern dalam pengembangan sains dan
teknologi. Sehingga perlahan Muhammadiyah bisa membawa umat dan bangsa untuk
mensejajarkan umat dan bangsa ini dengan umat dan bangsa lainnya. Bahkan
peranan Muhammadiyah sampai kini tetap menjadi harapan umat dan bangsa, selain
ormas Islam lainnya seperti NU, Persis, SI dan lain-lain.
Terlebih dalam
menyikapi isu-isu nasionaol dan internasional selalu tampil di depan sebagai
pelopornya. Baik secara kelembagaan ataupun yang diperankan individu
kader-kadernya. Pengamat politik asing seperti Samuel P Huntington dalam
bukunya Benturan Peradaban menyebutkan Muhammadiyah sebagai motor kebangkitan
Islam di Indonesia.
Analisis
Huntington tersebut wajar. Sebab dalam rentang usianya mendekati satu abad,
Muhammadiyah, sedang dan akan terus mengahasilkan kader-kader intelektual bagi
umat dan bangsa. Bahkan perkembangan berikutnya tampak Muhammadiyah sedang
melebarkan sayapnya menjadi gerakan internasional dengan sudah membuka cabang-cabangnya
di luar negeri. Seperti di Berlin, Cairo, Teheran, Singapura, Kuala Lumpur,
Bangkok, Australia, Amerika dst. Dari latar belakang tersebut di atas, bila
meminjam teori Hero (Tokoh) nya Thomas Carlyle bahwa pemimpin
besar (The Great Man) sebagai penggerak idea akan terjadi perubahan sejarah.
Bahwa idea
dapat membangkitkan gerak sejarah suatu bangsa, jika ada penggeraknya yaitu
pemimpin besar. Seperti halnya ajaran Islam, tidak akan berkembang tanpa
kehadiran dan peranan pemimpin besarnya, nabi Muhammad saw. Dengan memakai
pendekatan teori sejarah ini, maka gerakan Muhammadiyah tidak akan berkembang
dan berpengaruh besar sampai kini jika tanpa kehadiran ideolog dan penggerak
awalnya KH Ahmad Dahlan. Karena itu mencermati dan melakukan studi atas
pemikiran KH Ahmad Dahlan menjadi penting dilakukan. Ini akan berguna untuk
memahami dinamika perkembangan Muhammadiyah khususnya, dan dinamika umat Islam
dan bangsa Indonesia. Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang termasuk
dalam hal keputusan tarjih.
4.
Ahmad Dahlan
sebagai Pembaharu
Ada banyak hal
yang menjadikan K.H. Ahmad Dahlan sebagai pembaharu, di antaranya yaitu:
- Melakukan purifikasi ajaran Islam dari khurafat tahayul dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam, dan mengajak umat Islam untuk keluar dari jarring pemikiran teradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.[16]
- Usaha dan jasanya mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut mestinya. Umumnya masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap Timur dan orang-orang shalat mengahadap kea rah Barat lurus. Padahall kiblat yang seenarnya menuju Ka’bah dari tanah Jawa haruslah iring kearah Utara + 24 derajat dari sebelah Barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falak itu, ornag tidak boleh menghadap kiblat menuju Barat lurus, melainkan harus miring ke Utara + 24 derajat. Oleh sebab itu, K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri supaya menuju kearah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan
- Berdasarkan perhitungan astronominya, K.H. Ahmad Dahlan menyataka bahawa hari raya Idul Fitri yang bersamaan dengan hari ulang tahun Sultan, harus dirayakan sehari lebih awal dari yang diputuskan para ulama mapan. Dan melaksanakan shalat Idul Fitri di lapangan. Sultan menerima pendapat K.H. Ahmad Dahlan namun karena ini pula beliau kehilangan lebih banyak lagi simpati dari kalangan ulama mapan.[17]
- Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi berbagai golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak Muballig Islam di Jawa Tengah, sebagaimana syekh M. Jamil Jambek sebagai bapak Muballigh di Sumatra Tengah.[18]
- Mendirikan perkumpulan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang.
- Sebuah Refleksi Dan Kritik Realita Sekolah-Sekolah Muhammadiyah Saat Ini
Puluhan truk
pasir sejumlah sak semen dan beberapa kaleng cat tidak begitu bermakna apabila
hanya di pajang di toko atau disimpan di gudang. Makna itu menjadi bermakna di tangan
tukang batu atau arsitek, karena beragam bentuk arsitektur dapat dibangun.
Ilustrasi tersebut menjadi bermakna dalam konteks pendidikan. Melimpahnya
materi tentang aqidah, akhlaq, A-Qur’an Hadits atau hafalan sekian juz plus
materi ilmu umum yang menjadi tidak bermakna manakala dijejalkan begitu saja ke
peserta didik dalam keadaan saling terpisah dan bersifat parsial.
Apabila
Muhammadiyah benar-benar mau membangun sekolah atau universitas unggulan maka
harus merumuskan landasan filosofis pendidikan yang tepat sehingga dihadapan
pendidikan nasional pun posisinya tegas. Jika kita melihat sekolah Muhammadiyah
saat ini dari sisi kurikulumnya sama persis dengan sekolah/universitas negeri
ditambah materi al-Islam dan ke-Muhammadiyahan. Kalau melihat materi yang
begitu banyak, maka penambahan itu malah semakin membebani anak karenanya amat
jarang lembaga pendidikan melahirkan bibit-bibit unggul.
Karena itu
suudah waktunya untuk kembali merumuskan materi yang terintegrasikan dengan
materi-materi umum seperti yang dicita-citakan oleh pendidinya buya Ahmad
Dahlan serta disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. Buya melihat bahwa
mengadopsi system pendidikan model Barat adalah salah satu jalan pintas karena
buya melihat bahwa pendidikan merupakan kunci untuk melakukan berbagai perintah
agama. Mengingat system pendidikan koloni dianggap yang terbaik maka jalan yang
paling mudah adalah dengan mengadopsi sistem tersebut lalu disempurnakan dengan
penambahan mata pelajaran agama. Namun, generasi kita sekarang lebih disibukkan
untuk mendirikan lembaga pendidikan hasil ijtihad, bukan menangkap substansinya
yaitu bagaimana mengintegrasikan atau mensintesakan ilmu umum dan ilmu agama,
karenanya cita-cita buya untuk melahirkan ulama-intelek dan intelek ulama belum
terpenuhi.
Lain halnya jika kita membaca cerpen dari
Navis (2000) yang berjudul Robohnya Surau Kami, yang berisi kritikan terhadap
kaum agamawan (para penganut agama, terutama Islam) yang terlalu bersemangat
untuk meraih surga di akhirat tapi melupakan meraih “surga†di muka bumi ini melalui kerja
kemanusiaansampai akhirnya surai itu roboh. Dengan meminjam istilah itu secara
konotatif kemungkinan kritik itu diarahkan kepada warga Muhammadiyah yang
berlomba-lomba mendirikan sekolahan hanya bermodal ihlas tanpa memperhatikan
mutu/kualitas dan standar kelayakan pendidikan sehingga begitu ada arus
perubahan satu persatu sekolah Muhammadiyah rontok, kehabisan murid seperti
yang terjadi belakangan ini. Sedangkan secara denotative, memang untuk
menunjukkan bahwa bangunan gedung-gedung Muhammadiyah rata-rata sudah menua
sehingga benar-benar mau roboh.
Begitulah realita yang terjadi dan untuk
menutup tulisan ini ada baiknya kita membaca kembali apa yang dituliskan Andrea
Hirata dalam novel best seller-nya yang sangat menyengat dunia
pendidikan kita yang berjudul Laskar Pelangi.. Realita pendidikan
Muhammadiyah di pelosok kota Belitung, yang harus berjuang keras melawan
ganasnya lingkungan dan kehidupan. Tapi dengan motivasi dan semangat yang
tinggi dari diri sendiri, teman serta pengelola pendidikan tersebut, mereka
berhasil mengatakan pada dunia ini lah aku anak-anak dari pelosok
Belitung. Guru yang super hebat dengan semua pengorbanannya
memperjuangkan eksistensi mereka pada dinas Pendidikan setempat, dan loyalitas
mereka untuk menerapkan cita-cita pembaruan buya Ahmad Dahlan dalam sekolah
mereka. Harusnya kita malu dengan segala kemewahan fasilitas dan sarana yang
kita miliki kalau kita masih keliru memahami maksud dari cita-cita pendidikan
buya Dahlan. Sederhananya, kemampuan merealisasikan ide menjadi tindakan nyata,
jauh lebih tinggi daripada intelektual muda manapun. Ini barangkali dapat
dipertimbangkan sebagai mata pelajaran baru di sekolah-sekolah kita.
University
of Life adalah ungkapan yang paling pas untuk situasi ini. Sekolah
seharusnya tidak lagi mengajarkan hal-hal apa yang harus kita pikirkan, tetapi
mengajarkan kita cara berfikir. Ada baiknya kita memotivasi diri kita sebagai
pondasi awal kita untuk menyajikan dunia pendidikan yang terbaik sesuai dengan
cita-cita buya, dengan meresapi apa yang dikatakan Arai kecil: bahwa orang
seperti kita akan mati tanpa mimpi dan semangat, karena itu jangan
pernah berhenti bercita-cita, karena apabila itu terjadi maka tragedy terbesar
dalam hidup kita akan dimulai. Itulah kiranya yang dingin direalisasikan oleh
buya Ahmad Dahlan.
C.
K.H Hasyim
Ashari
a.
BIOGRAFI
Nama lengkap K. H. Hasyim
Asy’ari adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang,
sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur, pada hari selasa kliwon 24 Dzu
Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871.
Asal-usul dan keturunan K.H
M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat
kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Silsilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab
Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang
kedua yiaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahawa Brawijaya VI adalah
Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah
Lembu Peteng (Brawijaya VII).
Semasa hidupnya, ia
mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang
ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah
menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi
Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo,
ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya.
Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut.
Kiai Ya’kub lambat laun
merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya,
sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia
21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K.
H. Ya’kub tersebut.
Setelah nikah, K. H.
Hasyim Asy’ari bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari
tanah suci, mertua K. H. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di
Mekkah. Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang
ulama belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama
bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai macam
disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits,
terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H. Hasyim
Asy’ari bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah,
istrinya meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga
bayinya pun tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan
semangat belajarnya untuk menuntut ilmu.
K. H. Hasyim Asy’ari
semasa tinggal di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid
Sultan ibn Hasyim, Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid
Alawi ibn Ahmad As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh
Shaleh Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di Mekkah
selama 7 tahun. Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. Hasyim Asy’ari pulang
ke kampung halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam
waktu yang relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.
b.
KARYA-KARYANYA
Karya-karya Kiai Hasyim
banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya,
ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai
Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma
Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa
al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering
menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji
Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi
jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti
hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok,
dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan
fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk
kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dan
lain-lain.
Sebagai seorang
intelektual, K. H. Hasyim Asy’ari telah menyumbangkan banyak hal yang berharga
bagi pengembangan peradaban, diantaranya adalah sejumlah literatur yang
berhasil ditulisnya. Karya-karya tulis K. H. Hasyim Asy’ari yang terkenal
adalah sebagai berikut: (1) Adab Al-‘Alim wa Al-Muta’allimin,
(2) Ziyadat Ta’liqat, (3) Al-Tanbihat Al-Wajibat Liman,
(4) Al-Risalat Al-Jami’at, (5) An-Nur Al-Mubin fi Mahabbah
Sayyid Al-Mursalin, (6) Hasyiyah ‘Ala Fath Al-Rahman bi Syarh
Risalat Al-Wali Ruslan li Syekh Al-Isam Zakariya Al-Anshari, (7) Al-Durr
Al-Muntatsirah fi Al-Masail Al-Tis’i Asyrat, (8) Al-Tibyan
Al-Nahy’an Muqathi’ah Al-Ikhwan, (9) Al-Risalat Al-Tauhidiyah,
(10) Al-Qalaid fi Bayan ma Yajib min
Al-‘Aqaid.
Kitab ada Al-‘Alim
wa Al-Muta’allimin merupakan kitab yang berisi tentang konsep pendidikan.
Kitab ini selesai disusun hari Ahad pada tanggal 22 Jumadi Al-Tsani tahun 1343.
K. H. Hasyim Asy’ari menulis kitab ini didasari oleh kesadaran akan perlunya
literatur yang membahas tentang etika (adab) dalam mencari ilmu pengetahuan.
Menuntut ilmu merupakan pekerjaan agama yang sangat luhur sehingga orang yang
mencarinya harus memperlihatkan etika-etika yang luhur pula
c. PEMIKIRAN K. H. HASYIM ASY’ARI
KH Hasyim Asy’ari
menganjurkan kepada para kiai dan guru-guru agama agar memiliki perhatian
serius kepada masalah ekonomi untuk kemaslahatan; “kenapa tidak kalian dirikan
saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri.”
Demikian pernyataan KH Hasyim Asy’ari ketika mendeklarasikan berdirinya Nahdlah
at-Tujjar.
Berangkat dari kesadaran
itulah Nahdlah at-Tujjar didirikan, dengan satu badan usaha yang ketika itu
disebut Syirkah al-Inan, yang kemudian hari ketika NU berdiri wadah ekonomi
tersebut berganti nama dengan Syirkah al-Mu’awanah.
Ketika organisasi sosial
keagamaan masyumi dijadikan partai politik pada 1945, Kiai Hasyim terpilih
sebagai ketua umum. Setahun kemudian, 7 September 1947 (1367 H), K. H. Muhammad
Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan
keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui sebagai seorang pahlawan kemerdekaan
nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja tokoh utama agama, tetapi juga
sebagai tokoh nasional.
Pada tahun 1930 dalam
muktamar NU ke-3 kiai Hasyim selaku Rais Akbar menyampaikan pokok-pokok pikiran
mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang kemudian dikenal
sebagai Qanun Asasi Jamiah NU (undang-undang dasar jamiah NU).
d.
MENGENAI PENDIDIKAN :
Tepat pada
tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari
mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan
keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun
kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal
e.
NAHDATUL ULAMA :
Tanggal 31 Januari 1926,
bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan
Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang
dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan
mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan
dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
K. H. Hasyim Asy’ari
dikenal sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan
Jepang, Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap menentang
penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia
dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah
Belanda dan Jepang, Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan
nasional oleh Presiden RI.
D. KESIMPULAN :
Dari pemaparan di atas,
dapatlah diketahui bahwa ketokohan kiai Hasyim Asy’ari dikalangan masyarakat
dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat sentral tetapi juga menjadi
tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui dalam sejarah pendidikan
tradisional, khususnya di Jawa. Peranan kiai Hasyim Asy’ari yang kemudian
dikenal dengan sebutanHadrat Asy-Syaikh (guru besar di lingkungan
pesantren).
Peranan kiai Hasyim
Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama pemimpin pesantren,
terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam bidang organisasi
keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik melawan kolonial untuk
menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi politik Belanda.
Dan pada tanggal 7
September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat
Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui
sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja
tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
Gerakan Muhammadiyah
dikenal luas sebagai gerakan yang sangat dipengaruhi oleh gagasan modern dan
reformis pembaru Mesir Muhammad Aabduh (1849-1905), yaitu dimaksudkan untuk
memurnikan Islam di Indonesia dari praktik-praktik khurafat tradisional yang
tidak Islami. Dalam rangka memajukan program pembaruannya, Muhammadiyah
menyerukan agar kaum Muslim kembali kepada Islam yang murni dan menafsirkan
untur-unsur kebudayaan Barat dalam kerangka ajaran Islam.
Dalam rangka
mengintegrasikan kedua sistem pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan
melakukan dua tindakan sekaligus; memberi pelajaran agama di sekolah-sekolah
Belanda yang sekuler, dan mendirikan sekolah-sekolah sendiri di mana agama dan
pengetahuan umum bersama-sama diajarkan. Kedua tindakan
itu sekarang sudah menjadi fenomena umum; yang pertama sudah diakomodir negara
dan yang kedua sudah banyak dilakukan oleh yayasan pendidikan Islam lain.
Namun, ide Beliau tentang model pendidikan integralistik yang mampu melahirkan
muslim ulama-intelek masih terus dalam proses pencarian. Sistem pendidikan
integralistik inilah sebenarnya warisan yang musti kita eksplorasi terus sesuai
dengan konteks ruang dan waktu, masalah teknik pendidikan bisa berubah sesau
dengan perkembangan ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan.
Setelah melihat
sepak terjang K.H. Ahmad Dahlan dalam gagasan dan praktek pendidikan Islam
melalui Muhammadiyahnya, kita tahu besar sekali jasa beliau dalam meletakkan
pelajaran agama sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah pemerintah sampai
saat ini dari pendidikan kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Gagasan K.H.
Ahmad Dahlan selanjutnya dijadikan inspirasi bagi penetapan bidang studi umum
dan agama Islam yang wajib diberikan di sekolah dasar dan diikuti oleh
murid-murid yang beragama Islam.
Pemikiran K.H.
Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan berangkat dari keinginan untuk mewujudkan
manusia yang mewakili kepribadian yang integral dan pengetahuan yang seimbang.
Sehingga dipandang pentingnya memberikan pengetahuan agama bagi mereka yang
berada di sekolha-sekolah umum dan pengetahuan umum bagi mereka yang selama ini
belum pernah mendapatkannya.
Tampak jelas
dalam kurikulumnya bahwa kurikululum yang ditetapkan DikNas, pendidikan
Muhammadiyah juga mengkompromikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Pada
sekolah negeri pelajaran agama merupakan satu bidang studi. Sedang di
pendidikan Muhammadiyah dibagi menjadi empat, yaitu akidah, al-Qur’an, tarikh
dan akhlaq
K.H. Ahmad
Dahlan dapat dikatakan sebagai peletak dasar pemikiran Muhammadiyah yang tidak
bersikap apriori terhadap Barat. Ia melihat kemajuan yag dibawa Barat dan ia
bekeyakinan bahwa salah satu jalan untuk mengankat umat Islam adalah dengan
mendidik mereka dalam lembaga pendidika yang mempunyai system yang tersendiri
sebagai hasil pemikirinannya. Lembaga-lembaga pendidikan inilah yang kemudian
menjadi sarana pelestarian hasil-hasil keputusan tarjih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan
Peradaban Islam (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007).
Abdul Munir Mulkhan, Prof.Dr.SU, Kisah
dan Pesan Kiai Ahmad Dahlan (Yogyakarta: Pustaka, 2005)
Abuddin Nata, FIlsafat Pendidikan Islam
(Edisi Baru) (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005)
Ali Asyraf, Horison Baru Pendidikan
Islam,terjemahan, Sori Siregar (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993).
Alfian, Muhammadiyah The Political
Behavior of Allah SWT Muslim Modernist Organization Undr Dutch Colonialism(Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 1085)
Alwi
Shihab,Membendung Arus Resopn Gerakan Muhammdiyah Terhadap Penetrasi Misi
Kristen di Indonesia (Bandung: Mizan, 1998)
Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan
Pendidikan dan Pengajaran Islam (Jember, Mutiara Offset, 1985)
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah
dan Muhammad Abduh(Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
Clifford Geertz, The Religion of Java (New
York: The free Press of Glencoe, Inc., 1961)
Berita Resmi Muhammadiyah (BRM) No.23/April
1995 Delia Noer,Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942I (Jakarta:
LP3ES, 1995)
Djafar Siddik, Konsep Pendidikan Islam
Muhammadiyah Sistematisasi dan Interpretasi Berdasarkan Perspektif Ilmu Pendidikan (Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga, 1997)
[3] Musthafa Kamal
Pasha, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam untuk Angkatan Muda (Yogyakarta:
Persatuan, 1975), h. 8-9
[4] Ahmad Khatib
aslinya adalah orang Bukittinggi, Sumatra Barat, yang pergi ke Mekkah pada 1876
untuk melanjutkan sekolahnya. Dia dikenal sebagai orang yang sangat kritis
terhadap berbagai kebijakan pemerintah colonial Belanda dan bersikap tidak
bersahabat kepada Hurgronje ketika yang terakhir ini berada di Mekkah. Di antara
murind-muridnya adalah ulama terkenal K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren
Tebuireng dan belakangan pendiri organisasi kaum tradisionalis NU. Lihat:
Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan
Sekitarnya (Jakarta: Lentera, 1999), h. 245
[5] Syamsi
Sumardjo, Pengetahuan Muhammadiyah dengan Tokoh-tokohnya dalam
Kebangunan Islam (Yogyakarta: P.B. Muhammadyah, 1976), h. 4.
[7] Amir Hamzah
Wirjosukarto,Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam (Jember,
Mutiara Offset, 1985), h. 92.
[14] Clifford
Geertz, The Religion of Java (New York: The free Press of Glencoe,
Inc., 1961), h. 125.
No comments:
Post a Comment