BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaruh dominan filsafat Yunani terhadap pemikiran filsafat dalam Islam
tidak terbantahkan, bahkan dominasi tersebut diakui oleh para filosof Muslim.
Secara diplomasi al-Kindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan
bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran.
Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristo dipandang sejalan
dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan
lain-lain. Alkindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai
penerjemah, pen-syarah dan juga komentator “Yunani”. Ibn Rusyd memandang
Aristoteles sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir, ia seorang
bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine
Comedy, Dante mengatakan Ibn Rusyd sebagai komentator terbesar
terhadap filsafat Aristoteles dimasanya mengalahkan keterkenalannya dalam pengetahuan lain seperti
fisika, kedokteran dan astronomi.[1]
Dominasi pengaruh filsafat Yunani demikian, tak pelak menimbulkan masalah
dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal
munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok
terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa
sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam
memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya
adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan
demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr?
Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut
persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode
keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang
status agama seseorang. Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini
dengan tema sentralnya Ibn Rusyd.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang menjadi inti pembahasan dari makalah ini yaitu:
1.
Bagaimana riwayat hidup dan karya Ibn Rusyd?
2.
Bagaimana sanggahan Ibn Rusyd terhadap al-Gazali tentang pemikiran para filosof?
3.
Bagaimana tanggapan Ibn Rusyd tentang hukum kausalitas dan mukjizat menurut
al-Ghazali?
4.
Bagaimana kritik Ibn Rusyd terhadap teori emanasi para filosof Islam?
5.
Bagaimana pengaruh pemikiran filsafat Ibn Rusyd di Eropa?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, disamping tujuan normative yaitu
sebagai tanggungjawab penyusun yang harus digugurkan ataupun bertujuan untuk
memberikan landasan teoritis bagi penyusun lain yang memiliki keterkaitan
dengan judul makalah ini, secara subtansial, makalah ini memberikan informasi
keilmuan menyangkut:
1.
Riwayat hidup dan karya Ibn Rusyd.
2.
Sanggahan Ibn Rusyd terhadap al-Gazali tentang pemikiran para filosof.
3.
Hukum kausalitas dan mukjizat menurut Ibn Rusyd.
4.
Kritik Ibn Rusyd terhadap teori emanasi
para filosof Islam.
5.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Rusyd di Eropa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat
hidup dan karya Ibn Rusyd
1.
Riwayat Hidup Ibn Rusyd
Nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd gelarnya
Abul Walied, nama panggilannya Ibn Rusyd kelahiran Cordova pada
tahun 520 H / 1126 M, di kota Cordova ibu kota Andalusia wilayah ujung barat
benua Eropa. ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal
dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ibn
Rusyd adalah seorang filosof Islam terbesar yang dibelahan barat dunia di
Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “Averrois”.
Keluarga Ibn Rusyd sejak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh keilmuan.
Kakeknya menjabat sebagai Qadhi di Cordova dan meninggalkan
karya-karya ilmiah yang berpengaruh di Spanyol, begitu pula ayahnya. Maka Ibn
Rusyd dari kecil tumbuh dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang besar
sekali perhatiannya kepada ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab Qanun karya
Ibn Sina dalam kedokterandan filsafat di kota kelahirannya sendiri.[2]
Keluarga Ibn Rusyd yang besar
mengutamakan ilmu pengetahuan yang meruapakan salah satu faktor yang ikut
melempangkan jalan baginya menjadi ilmuan. Faktor lain bagi
keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kejeniusan otaknya, oleh
karena itu tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya
intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai
berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra
arab dan lainnya.
Ibn Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada periode
perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Keunggulannya terletak pada
kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar
terhadap perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari Andalusia
(Spanyol) ke seluruh negeri-negeri Eropa, dan itulah yang menjadi pokok pangkal
kebangkitan bangsa-bangsa Barat.
Pada tahun 1169 M. Ibn Tufail membawa Ibn Rusyd (ketika itu umurnya
43 tahun) kehadapan sultan yang berpikiran maju dan memberi perhatian kepada
bidang ilmu, yaitu Abu Ya’qub Yusuf,yang memberinya tugas untuk menyeleksi dan
megoreksi berbagai syarah (komentar) dan tafsir karya-karya Aristoteles,
sehingga ungkapan-ungkapannya lebih kena dan bersih dari banyak cacat, karena
keteledoran transkrip maupun kekeliruan para penulis sejarah dan penafsir
lainnya.
Ketika Ibn Tufail memasuki usia senja tahun 1182 M., Ibn Rusyd (dalam
usia 56 tahun) menempati jabatan sebagai dokter pribadi Sultan
Ya’qub di istana Marakish.
Sebagai seorang filosof pengaruhnya dikalangan istana tidak disenangi oleh
kaum ulama dan fukaha. Bahkan ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari
ajaran –ajaran Islam, Sebagai akibatnya ia ditangkap dan dan diasingkan ke
suatu tempat bernama Lucena daerah Cordova
Tindakan kaum ulama dan fukaha tidak hanya sampai di situ, bahkan membawa
pengaruh yang menyebabkan kaum filosof tidak disenangi lagi. Semua buku Ibn
Rusyd diperintahkan untuk dibakar, kecuali mengenai ilmu-ilmu kedokteran,
matematika dan astronomi. Ia pun diumumkan keseluruh negeri sebagai penyeleweng
dan menjadi kafir. Setelah Ibn Rusyd dipindahkan ke Maroko dan meninggal
di sana pada tahun 1198 dalam usia 72 tahun.[3]
2.
Karya-karya Ibn Rusyd
Ibn Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam filsafat
Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingnnya, karena
menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tak pernah membaca dan menelaah
kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya meliputi berbagai-bagai ilmu, seperti fiqih, usul, bahasa,
kedokteran, astronom politik, akhlak dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh
ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan
sendiri, atau ulasan atau ringkasan. Karma sangat tinggi penghargaannya
terhadap aristoteles, maka tidak mengherankan jik ia memberi perhatiannya yang
besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku
yang lain yang diulasnya adalah buku Karangan Plato, Iskandar Aphrodisias,
Plotinus, Galinus, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Bajjah.[4]
Karya-karya aslinya dari Ibn Rusyd yang penting, yaitu:
- Tahafut al-Tahafut (The incoherence of the incoherence = kacau balau yang kacau). Sebuah buku yang sampai ke Eropa, dengan rupa yang lebih terang, daripada buku-bukunya yang pernah dibaca oleh orang Eropa sebelumnya. Dalam buku ini kelihatan jelas pribadinya, sebagai seorang muslim yang saleh dan taat pada agamanya. Buku ini lebih terkenal dalam kalangan filsafat dan ilmu kalam untuk membela filsafat dari serangan al-ghazali dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
- Kulliyat fit Thib (aturan Umum Kedokteran), terdiri atas 16 jilid.
- Mabadiul Falasifah, Pengantar Ilmu Filsafat. Buku ini terdiri dari 12 bab.
- Tafsir Urjuza, Kitab Ilmu Pengobatan.
- Taslul, Tentang Ilmu kalam.
- Kasful Adillah, Sebuah buku Scholastik, buku filsafat dan agama.
- Muwafaqatil hikmatiwal Syari’ah, persamaan filafat degan agama.
- Bidayatul Mujtahid, perbandingan mazhab dalam fiqh dengan menyeutkan alasan-alasannya masing-masing.
- Risalah al-kharaj (tentang perpajakan)
- Al-da’awi, dan lain-lain.[5]
B.
Sanggahan Ibn Rusyd terhadap al-Gazali tentang pemikiran para filosof
Sebagaimana diketahui bahwa Imam al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam
tiga masalah:
a.
Kekadiman alam
b.
Allah tidak mengetahui hal-hal
yang kecil-kecil (juziyat)
c.
pengingkaran kebangkitan dan
pengumpulan jasad hari kiamat.[6]
a. Kaqadiman Alam
Mengenai masalah alam qadim, antara kaum teologi dan kaum filosof, memang
terdapat perbedaan tentang artiالأØداث dan قديم . Bagi kaum teolog “al-ihdas”
mengandung arti menciptakan dari tiada, sedang kaum filosof kata itu berarti
menciptakan dari “ada”. Adam (tiada), kata Ibn Rusyd tidak bisa dirubah menjadi
wujud (ada).Yang terjadi adalah wujud berobah menjadi wujud dalam bentuk lain.[7]
Demikian juga kaum teolog, qadim mengandung arti sesuatu yang berwujud
tanpa sebab. Bagi kaum filosof qadim tidak mesti mengandung arti hanya sesuatu
yang berwujud tanpa sebab tetapi boleh juga berarti “sesuatu yang berwujud dengan
sebab” dengan kata lain sungguhpun ia disebabkan ia boleh bersifat qadim, yaitu
tidak mempunyai permulaan dalam wujud Qadim, dengan demikian, adalah sifat bagi
sesuatu yang dalam kejadian kekal, kejadian terus menerus yaitu kejadian yang
tidak bermula dan tak berakhir.[8]
Dalam pemikiran al-Ghazali ,
sewaktu Tuhan menciptakan alam , yang ada hanya Tuhan. Tidak ada sesuatu yang
lain disamping Tuhan ketika Ia menciptakan alam. Terhadap pemikiran al –Ghazali
tersebut Ibn Rusyd mengajukan bantahannya, bahwa sewaktu Tuhan menciptakan alam
sudah ada sesuatu disamping Tuhan. Dari sesuatu yang telah ada dan diciptakan
Tuhan, itulah Tuhan menciptakan alam. Untuk memperkuat bantahannya Ibn Rusyd
mengemukakan beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Artinya: Dan Dialah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari
dan tahtaNya (pada waktu itu) berada di atas air, agar Ia uji siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya (Hud : 7)
Ayat tersebut, menurut Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sewaktu Tuhan
menciptakan langit dan bumi telah ada sesuatu di samping Tuhan, yaitu air.
Artinya : Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih
merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu
keduanya menurut perintah Ku dengan suka hati atau terpaksa keduanya menjawab:
kami datang dengan suka hati (Fushshilat :11).
Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit telah
ada uap disamping Tuhan. Dalam memberi komentar ayat yang terakhir ini Ibn
Rusyd mengatakan : ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa langit diciptakan
dari sesuatu. Pendapat kaum teolog tidak sesuai dengan arti lahir ayat mereka
dalam hal ini sebenarnya memakai ta’wil. Disini terjadi perbedaan penafsiran
ayat. Kaum filosof termasuk Ibn Rusyd mengambil arti lafdzi, sedangkan bagi
kaum teolog termasuk al-Ghazali mengambil bentuk pengertian dalam arti ta’wil.
Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum bumi dan
langit diciptakan, telah ada benda lain, yaitu air dan uap, jadi bukan
diciptakan dari tiada, oleh karena itu alam ini dalam arti unsurnya bersih
kekal dari zaman lampau yaitu qadim.
b. Tuhan tidak mengetahui perincian (juziyat)
Bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit dan yang di bumi, baik
sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal yang telah digariskan dengan jelas
dalam al-Qur’an, sehingga telah merupakan consensus dalam kalangan umat Islam.
Hanya bagaimana Tuhan mengetahui hal-hal yang parsial ( juziyat ) terdapat
perbedaan jawaban yang diberikan.[9]
Terhadap tuduhan al-Ghazali, bahwa Tuhan tidak mengetahui princian yang ada
dalam alam ini, Ibn Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah faham, karena tidak
pernah kaum filosof mengatakan yang demikian.[10]
Menurut Ibn Rusyd Tuhan mengetahui sesuatu dengan zat-Nya pengetahuan Tuhan
tidak bersifat juz’I maupun bersifat kulli, sebagaimana manusia, pengetahuan
Tuhan tidak mungkin sama dengan manusia, karena pengetahuan Tuhan merupakan
sebab dari wujud, sedangkan pengetahuan manusia adalah akibat. Selanjutnya
pengetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu
semenjak awal Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, sungguh
betapun kecilnya.[11]
Jadi, bagi Ibn Rusyd bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa
kecil/perincian, artinya Tuhan tidak mengetahui perincian itu dengan ilmu baru,
dimana syarat ilmu baru itu dengan kebaharuan peristiwa/perincian tersebut,
karena Tuhan menjadi sebab (illat) bagi perincian tersebut, bukan menjadi
akibat (musabbab ) dari padanya seperti halnya dengan ilmu baru, ilmu
Tuhan bersifat qadim tidak berubah, karena perubahan peristiwa. Ini dimaksudkan
untuk menjaga kesucian Tuhan Yang Maha Mengetahui segala-galanya.
c. Kebangkitan jasmani tidak ada
Dalam kitab Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukan kepada filosof yang
mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud
rohani, tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar kepercayaan ini, mereka dan para
penganut pendapat tersebut dianggap kafir oleh al-Ghazali, karena dalam
al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai
kenikmatan jasmani nanti di surga.
Tentang masalah pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para
filosof tidak menyebut – nyebut hal itu. Semua agama menurut Ibn Rusyd mengakui
adanya hidup kedua di akhirat sungguhpun ada perbedaan pendapat mengenai
bentuknya.[28] Namun, perlu disadari maksud pokok dari Syari’at adalah
menghimbau manusia untuk selalu melakukan perbuatan terpuji dan meninggalkan
perbuatan jahat sehingga ajaran yang dibawa oleh agama harus sesuai dengan
tanggapan dan pemikiran orang awam. Karena itu, kebangkitan di akhirat harus disampaikan
dalam wujud jasmani. Untuk itu, Ibn Rusyd dalam kitabnya “Tahafut al-Tahafut”
mengemukakan firman Allah yang maksudnya perumpamaan surga bagi orang-orang
muttaqin disisi Allah, sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Dan juga sabda
Rasulullah saw. Artinya : Di dalammya ( surga ) terdapat apa yang tidak pernah
mata melihat dan telinga mendengar serta tidak pernah tergores dalam
kalbu manusia. Ini berarti kata Ibn Rusyd – bahwa dalam surga, manusia tidak
dalam wujud jasad, dan apa yang diajarkan al-Qur’an tentang surga dan isinya
harus difahami secara metafora. Demikian pula Ibn Abbas mengatakan bahwa tidak
akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersih keduniaan kecuali nama saja, hidup
di akhirat lebih tinggi dari hidup di dunia.[12]
Dalam pada itu, Ibn Rusyd juga mengkritik al-Ghazali, karena dalam beberapa
tulisannya terjadi kontradiksi. Tulisannya dalam buku Tahafut al Falasifah
bertentangan dengan apa yang ia tulis dalam bukunya mengenai tasawuf. Dalam
buku Tahafut al Falasifah, al-Ghazali mengatakan tidak ada orang Islam yang
berpendapat adanya pembangkitan jasmani, sedangkan dalam buku tentang tasawuf
ia menerangkan bahwa dalam pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah pembangkitan
rohani, bukan pembangkitan jasmani, tak dapat dikafirkan. Apalagi al-Ghazali
mendasarkan pengkafirannya pada ijma’ ulama.[13]
Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pertentangan
antara Ibn Rusyd (kaum filosof) dengan al-Ghazali (kaum Teolog) berkisa sekitar
interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan tentang terima atau
tolaknya ajaran-ajaran dasar itu sendiri. Baik Ibn Rusyd ( kaum filosof )
maupun al Ghazali ( kaum teolog ) tetap mengakui Tuhan sebagai pencipta alam
diciptakan. Hanya yang menjadi permasalahan ialah, apakah semenjak azal Tuhan
menciptakan sehingga alam dengan demikian menjadi qadim, ataukah Tuhan
menciptakan tidak semenjak azal, sehingga alam bersifat baru. Kaum filosof (
Ibn Rusyd ) berpendapat Tuhan menciptakan semenjak qidam sedangkan kaum teolog
( al Ghazali ) tidak semenjak qidam. Kedua fihak mengakui adanya hari
perhitungan dan yang di permasalahkan adalah apakah yang menghadapi perhitungan
itu roh atau tubuh, ataukah hanya roh manusia saja. Menurut kaum filosof ( Ibn
Rusyd ) hanya roh, sedangkan menurut kaum teolog ( al-Ghazali ) tubuh dan roh.
Kedua golongan sama-sama mengakui bahwa T uhan mengetahui perincian ( juziyat )
dan yang dipersoalkan kaum filosof cara Tuhan mengetahui yang juhalziyat itu.
Jelas kiranya yang terdapat disini hanyalah perbadaan ijtihad, dan perbedaan
ijtihad itu lumrah dalam Islam, tidak membawa kepada kekafiran.
C. Tanggapan
Ibn Rusyd tentang hukum kausalitas dan mukjizat menurut al-Ghazali
a.
Sikap al-Ghazali terhadap Hukum
Kausalitas
Kausalitas, sebagai salah satu teori pengetahuan
yang pada waktu itu benar-benar menantang prinsip kenabian,
khususnya mukjizat. Kausalitas, secara harfiah berarti “segala sesuatu yang bertanggungjawab atas terjadinya perubahan gerak
dan aksi. Tujuan utama al-Ghazali mengkritik kausalitas adalah untuk menegakkan
mukjizat dan kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Mukjizat adalah “kekuatan
supranatural yang diberikan kepada manusia sebagai (sesuatu yang di luar kebiasaan).
Jadi, al-Ghazali mengambil sikap yang berbeda dengan para
filosof-filosof Muslim sebelumnya. Istilah “adah” yang ada dalam definisi
mukjizat menjadi, bagi al-Ghazali, fondasi utama untuk mengislamkan kausalitas,
yang masa sebelumnya sangat naturalistik. Langkah pertama al-Ghazali adalah
mengkritik pendapat para filosof yang mengatakan bahwa hubungan antara sebab dengan akibat bersifat
niscaya.
Ini berarti bahwa jika ada sebab pasti ada akibat dan sebaliknya.
Hubungan di sini, kata al-Ghazali, tidak niscaya maupun mustahil tetapi mungkin
bisa terjadi dan tidak bisa terjadi.Sehingga mungkin saja ada api tapi tidak
membakar.
Di sisi lain, al-Ghazali memperkenalkan “kausalitas spiritual”. Artinya,
Allah secara langsung mampu melampaui kausalitas dengan cara merubah sifat yang
ada pada suatu benda, atau secaratidak langsung dengan cara mengirimkan
malaikat. Di sinilah,al-Ghazali meminjam teoriteologi, khususnya teori tentang
Asy’ariyah, dalam mengatakan bahwa hubungan kausalitas itu bersifat
mungkin dan mengenyampingkan Allah yang mampu bertindak di luar hubungan
kausalitas. Al-Faruqi mengatakan, “Apa yang mengikat sebab dengan akibatnya,
al-Ghazali menegaskan, adalah aksi Tuhan, yang pola-polanya pasti dapat
terulang kembali karenaTuhan tidak bermaksud untuk menipu kita dan menyesatkan
kita.
Langkah kedua al-ghazali adalah menantang pernyataan para filosof bahwa
“hubungan antara satu sebab dengan satu akibat; sebab yang sama melahirkan
akibat yang sama pula dan sebaliknya. Suatu
akibat, menurut al-Ghazali, tidak harus terjadi dikarekan satu sebab. Ia
terjadi mungkin saja dikarekan oleh sejumlah sebab. Al Ghazali sungguh menolak
hukum kausalitas. Ia mengatakan sangat tidak mungkin sesuatu terjadi murni
disebabkan oleh sesuatu yang lain selain tuhan juga berperan. Artinya, tuhan
juga berperan sangat penting atas terjadinya segala sesuatu. Hal ini dibuktikan
dengan tidak semua kejadian di sebabkan benda lain, banyak kejadian yang ada di
luar hukum kausalitas. Tidak ada kemutlakan dalam hukum sebab akibat.Karena di
samping kejadian disebabkan penyebab Tuhan juga yang menjadikan kejadian itu
terjadi.[14]
Hubungan antara apa yang diyakini sebagai apa yang diyakini sebagai sebab
alami dan akibat adalah tidak niscaya (dharuri). Tetapi masing-masing
berdirinya sendiri, Ini bukan itu,danitu bukan ini.
Penegasan pada salah satunya tidak mesti merupakan penegasan pada yang lain dan
penafian terhadap yang satu tidak mesti merupakan penafian pada yang lain.
Eksistensi yang satu tidak mengharuskan eksistensi yang lain, dan ketiadaan
yang satu tidak mengharuskan ketiadaan yang lain. [15]
b. Tanggapan Ibn Rusyd
Ibn Rusyd, yang fondasi epistemologinya adalah
logika Aristotelian, melihat dampak negatif dalam serangan al-Ghazali terhadap
kausalitas, sehingga harus mengemukakan kritik. Hubungan antara sebab dan akibat menurut Ibn Rusyd,
merupakan hubungan yang niscaya, bukan hubungan mungkin.Ini berarti bahwa jika
ada sebab pasti ada akibat. Misalnya, api
membakar jika menyentuh sepotong kapas.
Setiap benda memiliki karakternya sendiri yang membedakannya dengan benda lain. Jika
karakter ini dihilangkan, maka benda ini
akan berubah nama, sehingga jika diuji dengan pendekatan kausalitas,
walaupun masih dengan sebab yang sama, maka benda ini akan menimbulkan akibat
yang berbeda. Mukjizat, yang bagi Ghazali merupakan pengecualian bahkan mampu
melampaui kausalitas, Ibn Rusyd mengemukakan
pendapat lain.
Fungsi mukjizat dalam Islam, menurut Ibn Rusyd, bukanlah bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari keimanan kepada Nabi sebagaimana dipegangi Ghazali,
Walau masih merupakan bukti keberadaanya sebagai seorang nabi. Ibn rusyd
membagi mukjizat jadi dua.Yang pertama, adalah al-barrani,yang berarti“mukjizat yang tidak sesuai
dengan karakter seorang Nabi sebagai Nabi”, misalnya Nabi musa merubah
tongkatnya menjadi ular. Mukjizat jenis ini diperuntukkan bagi orang awam.Yang
kedua adalah mukjizat yang sesuai dengan seorang Nabi sebagai Nabi, Kasus Nabi
Ibrahim a.s. yang dibakar pada masa raja Namrud. Risalah yang ia bawa, yang
untuk Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an. Jenis mukjizat ini lebih diperuntukkan
bagi orang-orang khusus, walaupun tidak melupakan orang-orang awam.[16]
Ibn rusyd sangat yakin bahwa kejadian merupakan sudah menunjukkan adanya
hukum kausalitas, sehingga manusia bisa memprediksi kejadian berikutnya sesuai
hukum kausalitas yang berlaku. Misalkan buku akan terbakar jika ditaruk di atas
api. Selamanya akan terus demikian dan manusia bisa meramal bahwa ketika buku
diletakkan di atas api ia akan terbakar. Dengan demikian manusia bisa
menghindar dari keadaan tersebut jika tidak ingin bukunya terbakat. Terbakarnya
buku ini tidak ada campur tangan Tuhan tetap ini sudah merupakan hukum alam
yang tidak bisa digangu gugat. Kalau kita analisis hakikat hukum kausalitas itu
sendiri bahwa ia adalah suatu kesimpulan dari dua kejadian. Misalkan, gelas
jatuh maka ia pecah. Dalam keadaan ini sebenarnya terdapat dua kejadian.
Pertama gelas jatuh dan gelas pecah.Kedua kejadian tersebut tidak bisa dicampur
aduk, karena itu adalah dua kejadian yang berlainan. Sedangkan hukum kausalitas
adalah hasil kesimpulan dari dua kejadian tersebut, sehingga kalau dua kejadian
kita simpulkan akan menjadi gelas dijatuhkan, maka ia pasti akan pecah.
Perbedaan hasil dari suatu penyeban kejadian itu dikarenakan adanya penyeban
diluar kejadian itu. Sehingga perbedaan hasil juga disebabkan adanya suatu
sebab yang pasti berbeda pula. Keadaan ini tidak lain adalah kesimpulan dari
dua kejadia tersebut.
Kesimpulan tersebut adalah sebuah usaha manusia memahami hukum alam,
memantai, mengendalikan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Adapun tetap
terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan adalah karena ada sebab yang tidak
seperti biasa, dengan kata lain ada sebab lain yang merasuk dalam sebab awal.[17]
D. Kritik Ibn Rusyd terhadap
teori emanasi para filosof Islam
Ibn Rusyd menggunakan teori emanasi sebagai dasar pergulatan pemikirannya
untuk memahami relasi antara alam dan Tuhan. Dalam teori emanasi ini, Ibn Rusyd
berangkat dari pemahaman bahwa salah satu sifat Tuhan yang hakiki adalah
kesempurnaan-Nya dan keesaan-Nya. Tuhanyang Esa inilah yang mengemanasikan alam
semesta karena kesempurnaan-Nya.Kesempurnaan dan ke-Esa-an Tuhan itu harus
dilihat dari sisi perbuatan-Nya sejak azali. Karena kalo tidak dipahami
demikian, maka ada saat di mana Tuhan harus mengatur pada zaman tertentu,
sebelum Dia memutuskan diri untuk menciptakan alam semesta ini. Tuhan yang
mengatur rupanya susah terbayangkan oleh Ibn Rusyd.Terkait dengan ke-Esa-an
Tuhan, Ibn Rusyd memahami bahwa yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus
satu, tetapi juga lebih dari satu.[18
Untuk mendukung pendapatnya ini, Ibn Rusyd mengungkapkan perbedaan mendasar
antara Tuhan dengan manusia dalam melakukan suatu aktivitas/perbuatan. Ibn Rusyd
mengatakan sesungguhnya ada perbedaan antara Pembuat Pertama (Tuhan) dengan
pembuat yang nyata (manusia). Dalam proses penciptaan, alam semesta ini
melimpah dari Tuhan yang Esa. Tuhan tidak hanya melimpahkan yang satu saja,
tetapi terdapat multiplisitas limpahan yang terjadi, sebagai efek multiple dari
tindakan Tuhan yang Esa itu. Menurut Ibn Rusyd, tindakan Tuhan semacam itu
harus dibedakan dengan tindakan manusia. Manusia hanya mungkin melakukan sekali
tindakan dengan satu efek tindakan yang telah dibuatnya. Tetapi untuk Tuhan,
dengan sekali tindakan, dapat menghasilkan beragam efek dari tindakan yang
telah diperbuat-Nya. Dengan alasan ini, akhirnya Ibn Rusyd menolak pemahaman
para pemikir teori emanasi pada umumnya yang menyatakan bahwa dari yang Satu,
Esa, hanya melimpah satu.
Ibn Rusyd sekali lagi secara tegas mengatakan bahwa Tuhan dalam
keharusan-Nya menyebabkan segala sesuatu secara serentak, tanpa ada perantara
lain selain Dia. Dalam bukunya, Tahafut-al-Tahafut, Ibn Rusyd menunjukkan bahwa
pembuat yang Esa itu menyebabkan alam semesta dengan keanekaragaman realitas
particular di dalamnya.[19]
Dari apa yang telah diuraikan di atas, Ibn Rusyd menyatakan bahwa antara
wujud empiris dengan wujud akali sebetulnya tidak dapat dipisahkan. Lebih
lanjut Ibn Rusyd menyatakan juga bahwa alamsemesta ini satu, ke luar dari Yang
Satu. Di satu pihak, Yang Satu ini adalah penyebab adanya kesatuan. Sementara
di pihak lain, Yang Satu ini menjadi penyebab adanya keragaman realitas. Untuk
memperkuat pendapatnya ini, Ibn Rusyd mengajukan argumentasi cemerlang melaui
sebuah pernyataan tegas bahwa dari Yang Esa, dengan ke-Esa-an-Nya, harus
melimpah keragaman atau melimpah apapun sesuai dengan kesempurnaan-Nya. Dari
Yang Satu bukan hanya melimpah satu, karena hal itu tidak akan pernah sesuai
dengan fakta keberagaman yang ada di semesta alam ini.
Semua prinsip, baik yang berasal dari materi maupun yang bukan materi,
melimpah dari prinsip pertama (Tuhan). Untuk itu, eksistensi alam semesta ini
tiada lain disebabkan oleh kekuatan Tuhan yang satu, sehingga kekuatan Tuhan
yang satu itu meresap di dalammya. Dari kekuatan Tuhan ini, jadilah semuanya
sebagai satu kesatuan yang sesuai dengan tindakan Tuhan yang satu. Karena jika
tidak dipahami secara demikian, tidak akan pernah terjadi keteraturan dan
keterkaitan antar bagian di dalam alam semesta ini. Berdasarkan pemahaman
semacam ini juga, maka Ibn Rusyd membenarkan bahwa Tuhan adalah penyokong dan
pemelihara segala sesuatu.
Kalaupun ada kekuatan yang meresap dalam alam semesta, seperti yang
dimaksudkan Ibn Rusyd, hal itu bukan berarti bahwa dengan meresapnya kekuatan
yang satu ke dalam alam semesta, maka alam semesta menjadi banyak, seperti yang
diduga. Hal ini memang sesuai dengan anggapan kebanyakan orang bahwa dari
prinsip pertama mula-mula hanya melimpah satu saja, kemudian dari yang satu itu
melimpah yang banyak. Akan tetapi, dugaan semacam itu muncul dari pemikiran
orang-orang yang menyamakan pembuat yang gaib (Tuhan) dengan pembuat nyata
(manusia), atau antara pembuat yang immaterial (Tuhan) dengan pembuat yang
material (manusia). Hal ini sangatlah mustahil bagi Ibn Rusyd. Dari pemaparan
di atas, maka jelaslah kebolehan melimpahnya keberagaman dari Yang Esa, tanpa
perantara siapa dan apa pun, selain dari Yang Esa itu sendiri.
Ibn Rusyd kemudian menambahkan penjelasannya dengan membandingkan alam
semesta ini , yang terdiri dari berbagai bagiannya, dengan negara yang memiliki
banyak pemimpin. Semua pemimpin yang ada dalam negara itu, akan tunduk di bawah
pimpinan yang satu dan tertinggi, yaitu kepala negara. Demikian pun alam
semesta ini, begitu banyak realitas particular ada di dalamnya, akan tetapi
alam semesta, baik sebagai totalitas maupun realitas-realitas particular yang
ada di dalamnya, tunduk di bawah prinsip pertama dan tunggal, yakni Penyebab
alam semesta ini. Dengan begitu, tidak dapat dibantah bahwa dari Yang Esa
melimpah beraneka ragam realitas sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada
dalam alam semesta.
E.
Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Rusyd di Eropa
Ibn Rusyd lebih dikenal dan berpengaruh besar di
Eropa sebagai intelek yang telah menjembatani orang-orang Barat dalam
mempelajari kembali filsafat Yunani secara orisinil setelah lama terkubur di
abad pertengahan. Sehingga muncullah aufklarung (Renaissan) setelah lama
terjadi kemandekan dan pergulatan. Di sini Ibn Rusyd sebagai komentator
terbesar karya Aristoteles banyak berperan.
Pengaruh besar Ibn Rusyd tidak lepas dari metode
dan pendekatan yang dipakai dalam pemikiran filosofisnya. Ibn Rusyd yang datang
di tengah-tengah penguasaan dogma agama dan pertentangan besar agama (wahyu)
dan filsafat (akal) merekonsiliasikan antara agama dan wahyu atau mempertemukan
pertentangan tersebut dengan mengemukakan argument-argumen yang dapat diterima
akal dan kaum agamawan. Persamaan tujuan dalam pencarian kebenaran menjadi
senjata dalam menemukan benang merah pertentangan agama dan filsafat. Sebagai
agamawan Islam, Ibn Rusyd dalam filsafatnya mengetengahkan justifikasi Alquran
(agama) terhadap filsafat yang sebelumnya ditolak. Lewat penyatuan akal dan
wahyu ini lah pengaruh Ibn Rusyd terus membesar.
Menurut Ibrahim Madkur, ada beberapa alas an yang
menyebabkan perhatian Barat terhadap filsafat Ibn Rusyd demikian besar, yaitu;
Ketertarikan Frederick II sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat
terhadap komentar-komentar Ibn Rusyd akan filsafat Arestoteles dan bagaiman dia
dapat menjaga kemurniannya setelah tercampur dengan Platonisme. Ketertarikan
ini mendorongnya untuk menerjemahkan dan menyebar luaskan pemikiran Ibn Rusyd di
Eropa. Selain itu, banyak orang-orang Yahudi penganut filsafat Ibn Rusyd juga
menerjemahkan pemikiran-pemikirannya. Dan sebagai komentator besar Arestoteles,
banyak para pengkaji filsafat membaca karyanya demi mendapatkan keorisinilan
pemikiran Arestoteles.[20]
Pengaruh
besar Ibn Rusyd di Eropa ditandai dengan lahirnya gerakan Averroisme
yang menghidupkan dan mengembangkan pemikiran filosofis Ibn Rusyd. Meskipun apa
yang mereka kembangkan pada akhirnya jauh berbeda dengan pemikiran asli Ibn
Rusyd. Hal ini tidak lebih dikarenakan perbedaan latar belakang saja yang
mempengaruhi pemikiran. Kelahiran aliran ini telah membuktikan pengaruh besar
Ibn Rusyd di Eropa. Meskipun banyak juga yang menentang pemikiran Ibn Rusyd,
seperti Thomas Aquinas, Raymond Lull, Albert the Great dan lainnya. Bahkan para
gerejawan berusaha membendung pengaruh pemikiran rasional Averroisme dengan
berbagai cara. Salah satu ancaman yang paling tragis adalah ancaman pembunuhan
dan penjara.[21]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama lengkap Ibn Rusyd yaitu Muhammad bin Ahmad bin Muhammad yang bergelar Abul Walied, nama panggilannya Ibn Rusyd kelahiran Cordova
pada tahun 520 H / 1126 M. Ibn Rusyd adalah seorang filosof
Islam terbesar yang dibelahan barat dunia di Eropa pada zaman pertengahan
dengan sebutan “Averrois”.
Sebagai seorang ulama besar Ibn Rusyd melahirkan
banyak karya. Diantara karya-karya aslinya dari Ibn Rusyd yang penting, yaitu:
1.
Tahafut al-Tahafut (The incoherence of the
incoherence = kacau balau yang kacau). Kulliyat fit Thib (aturan
Umum Kedokteran), terdiri atas 16 jilid.
2.
Mabadiul Falasifah, Pengantar Ilmu Filsafat. Buku
ini terdiri dari 12 bab.
3.
Tafsir Urjuza, Kitab Ilmu Pengobatan.
4.
Taslul, Tentang Ilmu kalam.
5.
Kasful Adillah, Sebuah buku Scholastik, buku
filsafat dan agama.
6.
Muwafaqatil hikmatiwal Syari’ah, persamaan filafat degan agama.
7.
Bidayatul Mujtahid, perbandingan mazhab dalam fiqh
dengan menyeutkan alasan-alasannya masing-masing.
8.
Risalah al-kharaj (tentang perpajakan).
9.
Al-da’awi, dan
lain-lain.
Sementara
itu, Ibn Rusyd juga memberikan sanggahan kepada al-Ghazali yang mengkafirkan
para filosof. Tidak terlepas dari itu,
Ibn Rusyd juga memberikan tanggapan terhadap pandangan al-Ghazali menyangkut
hukum kausalitas dan mukjizat.
Tidak terlepas dari teori emanasi (pancaran), Ibn Rusyd juga mengkritik
para filosof muslim yang mengatakan bahwa dari yang Satu, Esa, hanya melimpah
satu. Bagi Ibn Rusyd, yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari
satu.
Sebagai ilmuan besar, pengaruh Ibn Rusyd
menjalar sampai ke Eropa. Ibn
Rusyd lebih dikenal dan berpengaruh besar di Eropa sebagai intelek yang telah
menjembatani orang-orang Barat dalam mempelajari kembali filsafat Yunani secara
orisinil setelah lama terkubur di abad pertengahan. Sehingga muncullah
aufklarung (Renaissan) setelah lama terjadi kemandekan dan pergulatan.
Di sini Ibn Rusyd sebagai komentator terbesar karya Aristoteles banyak
berperan.
B. Saran
Mengingat
keterbatan reverensi, maka kepada para pembaca diharapkan mengambil
rujukan-rujukan lain sebagai bahan komparasi. Sementara itu, sebagai penyusun,
saya sangat mengharapkan masukan konstuktif baik berupa kritikan ataupun saran
demi perbaikan penyusunan makalah selanjutnya.
Semoga
makalah ini dapat bernilai ilmiyah di mata pembaca dan tentunya bernilai
amaliyah di sisi Allah swt.
Daftar Pustaka
al-ghazali hamid Abu, Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof), MARJA,
Bandung
Dasoeki
Thawil Akhyar, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,Semarang; Dina Utama
Semarang, 1993.
Daudy Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986.
Fuad Al-Ahwany Ahmad, Dalam segi-segi Pemikiran Filsafat Dalam
Islam, Ahmad Daudy (edt.)Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Hairul Saleh, , www. Blog spot,
“Titik Temu Filsafat Ibn Rusyd dan al-Ghazali”, com.
Hanafi, Ahmad Pengantar filsafat islam, Bulan Bintang: Jakarta, 1991.
Iqbal Muhammad, Ibn Rusyd dan Averroisme, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2004.
Nasution Harun, Filsafat dan mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, 1985.
Rusyd Ibn, Tahafut at-Tahafut, Tahqiq Sulaiman Dunia, kairo, Dar al
Ma’arif, 1964.
Shaikh, M. Saeed, Studies in Muslim Philosophy, Delhi: Adam
Publisher, 1994.
www. Scrib, “hukum kausalitas Ibn Rusyd vs Al-Ghazali”, com. Di
akses tanggal 02-04-2013
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya,Jakarta; PT.
Raja Grafindo Persada, 2004.
No comments:
Post a Comment