Saturday, 4 April 2015

Filsafat Ibn Rusyd



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengaruh dominan filsafat Yunani terhadap pemikiran filsafat dalam Islam tidak terbantahkan, bahkan dominasi tersebut diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi al-Kindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran. Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristo dipandang sejalan dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan lain-lain. Alkindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah, pen-syarah dan juga komentator “Yunani”. Ibn Rusyd memandang Aristoteles sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir, ia seorang bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine Comedy, Dante mengatakan Ibn Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya mengalahkan keterkenalannya dalam  pengetahuan lain seperti fisika, kedokteran dan astronomi.[1]
Dominasi pengaruh filsafat Yunani demikian, tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang. Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibn Rusyd.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang menjadi inti pembahasan dari makalah ini yaitu:
1.    Bagaimana riwayat hidup dan karya Ibn Rusyd?
2.    Bagaimana sanggahan Ibn Rusyd terhadap al-Gazali tentang pemikiran para filosof?
3.    Bagaimana tanggapan Ibn Rusyd tentang hukum kausalitas dan mukjizat menurut al-Ghazali?
4.    Bagaimana kritik Ibn Rusyd terhadap teori emanasi para filosof Islam?
5.    Bagaimana pengaruh pemikiran filsafat Ibn Rusyd di Eropa?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, disamping tujuan normative yaitu sebagai tanggungjawab penyusun yang harus digugurkan ataupun bertujuan untuk memberikan landasan teoritis bagi penyusun lain yang memiliki keterkaitan dengan judul makalah ini, secara subtansial, makalah ini memberikan informasi keilmuan menyangkut:
1.    Riwayat hidup dan karya Ibn Rusyd.
2.    Sanggahan Ibn Rusyd terhadap al-Gazali tentang pemikiran para filosof.
3.    Hukum kausalitas dan mukjizat menurut Ibn Rusyd.
4.     Kritik Ibn Rusyd terhadap teori emanasi para filosof Islam.
5.    Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Rusyd di Eropa.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Riwayat hidup dan karya Ibn Rusyd

1.      Riwayat Hidup Ibn Rusyd
Nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn  Rusyd gelarnya Abul Walied, nama panggilannya Ibn Rusyd  kelahiran  Cordova pada tahun 520 H / 1126 M, di kota Cordova ibu kota Andalusia wilayah ujung barat benua Eropa.   ia berasal dari kalangan keluarga besar yang terkenal dengan keutamaan dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol). Ibn Rusyd adalah seorang filosof Islam  terbesar yang dibelahan barat dunia di Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “Averrois”.
Keluarga Ibn Rusyd sejak dari kakeknya, tercatat sebagai tokoh keilmuan. Kakeknya menjabat sebagai Qadhi  di Cordova dan meninggalkan karya-karya ilmiah yang berpengaruh di Spanyol, begitu pula ayahnya. Maka Ibn Rusyd dari kecil tumbuh dalam suasana rumah tangga dan keluarga yang besar sekali perhatiannya kepada ilmu pengetahuan. Ia mempelajari kitab Qanun karya Ibn Sina dalam kedokterandan filsafat di kota kelahirannya sendiri.[2]
 Keluarga Ibn Rusyd yang besar mengutamakan ilmu pengetahuan yang meruapakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi ilmuan. Faktor lain  bagi keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kejeniusan otaknya, oleh karena itu tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra arab dan lainnya.
Ibn Rusyd dipandang sebagai pemikir yang sangat menonjol pada periode perkembangan filsafat Islam mencapai puncaknya. Keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta pengaruhnya yang besar terhadap perkembangan pemikiran di Barat. Filsafatnya merembes dari Andalusia (Spanyol) ke seluruh negeri-negeri Eropa, dan itulah yang menjadi pokok pangkal kebangkitan bangsa-bangsa Barat.
Pada tahun 1169  M. Ibn Tufail membawa Ibn Rusyd (ketika itu umurnya 43 tahun) kehadapan sultan yang berpikiran maju dan memberi perhatian kepada bidang ilmu, yaitu Abu Ya’qub Yusuf,yang memberinya tugas untuk menyeleksi dan megoreksi berbagai syarah (komentar) dan tafsir karya-karya Aristoteles, sehingga ungkapan-ungkapannya lebih kena dan bersih dari banyak cacat, karena keteledoran transkrip maupun kekeliruan para penulis sejarah dan penafsir lainnya.
Ketika Ibn Tufail memasuki usia senja tahun 1182 M., Ibn Rusyd (dalam usia  56 tahun)  menempati jabatan sebagai dokter pribadi Sultan Ya’qub di istana Marakish.
Sebagai seorang filosof pengaruhnya dikalangan istana tidak disenangi oleh kaum ulama dan fukaha. Bahkan ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng dari ajaran –ajaran Islam, Sebagai akibatnya ia ditangkap dan dan diasingkan ke suatu tempat bernama Lucena daerah Cordova
Tindakan kaum ulama dan fukaha tidak hanya sampai di situ, bahkan membawa pengaruh yang menyebabkan kaum filosof tidak disenangi lagi. Semua buku Ibn Rusyd diperintahkan untuk dibakar, kecuali mengenai ilmu-ilmu kedokteran, matematika dan astronomi. Ia pun diumumkan keseluruh negeri sebagai penyeleweng dan menjadi kafir. Setelah Ibn Rusyd dipindahkan ke Maroko  dan meninggal di sana pada tahun 1198  dalam usia 72 tahun.[3]

2.      Karya-karya Ibn Rusyd
Ibn Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sukar dicari bandingnnya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai tuanya ia tak pernah membaca dan menelaah kitab, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan dalam perkawinan dirinya.
Karangannya meliputi berbagai-bagai ilmu, seperti fiqih, usul, bahasa, kedokteran, astronom politik, akhlak dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, atau ulasan atau ringkasan. Karma sangat tinggi penghargaannya terhadap aristoteles, maka tidak mengherankan jik ia memberi perhatiannya yang besar untuk mengulaskan dan meringkaskan filsafat Aristoteles. Buku-buku yang lain yang diulasnya adalah buku Karangan Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Ibn Bajjah.[4]
Karya-karya aslinya dari Ibn Rusyd yang penting, yaitu:
  1. Tahafut al-Tahafut (The incoherence of the incoherence = kacau balau yang kacau). Sebuah buku yang sampai ke Eropa, dengan rupa yang lebih terang, daripada buku-bukunya yang pernah dibaca oleh orang Eropa sebelumnya. Dalam buku ini kelihatan jelas pribadinya, sebagai seorang muslim yang saleh dan taat pada agamanya. Buku ini lebih terkenal dalam kalangan filsafat dan ilmu kalam untuk membela filsafat dari serangan al-ghazali dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah.
  2. Kulliyat fit Thib (aturan Umum Kedokteran), terdiri atas 16 jilid.
  3. Mabadiul Falasifah, Pengantar Ilmu Filsafat. Buku ini terdiri dari 12 bab.
  4. Tafsir Urjuza, Kitab Ilmu Pengobatan.
  5. Taslul, Tentang Ilmu kalam.
  6. Kasful Adillah, Sebuah buku Scholastik, buku filsafat dan agama.
  7. Muwafaqatil hikmatiwal Syari’ah, persamaan filafat degan agama.
  8. Bidayatul Mujtahid, perbandingan mazhab dalam fiqh dengan menyeutkan alasan-alasannya masing-masing.
  9. Risalah al-kharaj (tentang perpajakan)
  10. Al-da’awi, dan lain-lain.[5]

B.   Sanggahan Ibn Rusyd terhadap al-Gazali tentang pemikiran para filosof

Sebagaimana diketahui bahwa Imam al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam tiga masalah:
a.    Kekadiman alam
b.    Allah tidak mengetahui hal-hal yang kecil-kecil (juziyat)
c.    pengingkaran kebangkitan dan pengumpulan jasad hari kiamat.[6]

a. Kaqadiman Alam
Mengenai masalah alam qadim, antara kaum teologi dan kaum filosof, memang terdapat perbedaan tentang artiالأحداث dan قديم  . Bagi kaum teolog  “al-ihdas” mengandung arti menciptakan dari tiada, sedang kaum filosof kata itu berarti menciptakan dari “ada”. Adam (tiada), kata Ibn Rusyd tidak bisa dirubah menjadi wujud (ada).Yang terjadi adalah wujud berobah menjadi wujud dalam bentuk lain.[7]
Demikian juga kaum teolog, qadim mengandung arti sesuatu yang berwujud tanpa sebab. Bagi kaum filosof qadim tidak mesti mengandung arti hanya sesuatu yang berwujud tanpa sebab tetapi boleh juga berarti “sesuatu yang berwujud dengan sebab” dengan kata lain sungguhpun ia disebabkan ia boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujud Qadim, dengan demikian, adalah sifat bagi sesuatu yang dalam kejadian kekal, kejadian terus menerus yaitu kejadian yang tidak bermula dan tak berakhir.[8]
Dalam pemikiran al-Ghazali , sewaktu Tuhan menciptakan alam , yang ada hanya Tuhan. Tidak ada sesuatu yang lain disamping Tuhan ketika Ia menciptakan alam. Terhadap pemikiran al –Ghazali tersebut Ibn Rusyd mengajukan bantahannya, bahwa sewaktu Tuhan menciptakan alam sudah ada sesuatu disamping Tuhan. Dari sesuatu yang telah ada dan diciptakan Tuhan, itulah Tuhan menciptakan alam. Untuk memperkuat bantahannya Ibn Rusyd mengemukakan beberapa ayat dalam al-Qur’an.
Artinya: Dan Dialah yang menciptakan langit-langit dan bumi dalam enam hari dan tahtaNya (pada waktu itu) berada di atas air, agar Ia uji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (Hud : 7)
Ayat tersebut, menurut Ibn Rusyd menjelaskan bahwa sewaktu Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada sesuatu di samping Tuhan, yaitu air.
Artinya : Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, datanglah kamu keduanya menurut perintah Ku dengan suka hati atau terpaksa keduanya menjawab: kami datang dengan suka hati (Fushshilat :11).
Dalam ayat tersebut dijelaskan, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit telah ada uap disamping Tuhan. Dalam memberi komentar ayat yang terakhir ini Ibn Rusyd mengatakan : ayat ini dengan jelas menerangkan bahwa langit diciptakan dari sesuatu. Pendapat kaum teolog tidak sesuai dengan arti lahir ayat mereka dalam hal ini sebenarnya memakai ta’wil. Disini terjadi perbedaan penafsiran ayat. Kaum filosof termasuk Ibn Rusyd mengambil arti lafdzi, sedangkan bagi kaum teolog termasuk al-Ghazali mengambil bentuk pengertian dalam arti ta’wil.
Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum bumi dan langit diciptakan, telah ada benda lain, yaitu air dan uap, jadi bukan diciptakan dari tiada, oleh karena itu alam ini dalam arti unsurnya bersih kekal dari zaman lampau yaitu qadim.

b. Tuhan tidak mengetahui perincian (juziyat)
Bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang di langit dan yang di bumi, baik sebesar zarrah sekalipun adalah suatu hal yang telah digariskan dengan jelas dalam al-Qur’an, sehingga telah merupakan consensus dalam kalangan umat Islam. Hanya bagaimana Tuhan mengetahui hal-hal yang parsial ( juziyat ) terdapat perbedaan jawaban yang diberikan.[9]
Terhadap tuduhan al-Ghazali, bahwa Tuhan tidak mengetahui princian yang ada dalam alam ini, Ibn Rusyd mengatakan bahwa al-Ghazali salah faham, karena tidak pernah kaum filosof mengatakan  yang demikian.[10]
Menurut Ibn Rusyd Tuhan mengetahui sesuatu dengan zat-Nya pengetahuan Tuhan tidak bersifat juz’I maupun bersifat kulli, sebagaimana manusia, pengetahuan Tuhan tidak mungkin sama dengan manusia, karena pengetahuan Tuhan merupakan sebab dari wujud, sedangkan pengetahuan manusia adalah akibat. Selanjutnya pengetahuan manusia bersifat baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak awal Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, sungguh betapun kecilnya.[11]
Jadi, bagi Ibn Rusyd bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa kecil/perincian, artinya Tuhan tidak mengetahui perincian itu dengan ilmu baru, dimana syarat ilmu baru itu dengan kebaharuan peristiwa/perincian tersebut, karena Tuhan menjadi sebab (illat) bagi perincian tersebut, bukan menjadi akibat (musabbab ) dari padanya seperti  halnya dengan ilmu baru, ilmu Tuhan bersifat qadim tidak berubah, karena perubahan peristiwa. Ini dimaksudkan untuk menjaga kesucian Tuhan Yang Maha Mengetahui segala-galanya.

c. Kebangkitan jasmani tidak ada
Dalam kitab Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukan kepada filosof yang mengatakan bahwa di akhirat nanti manusia akan dibangkitkan kembali dalam wujud rohani, tidak dalam wujud jasmani. Atas dasar kepercayaan ini, mereka dan para penganut pendapat tersebut dianggap kafir oleh al-Ghazali, karena dalam al-Qur’an dengan tegas menyatakan bahwa manusia akan mengalami berbagai kenikmatan jasmani nanti di surga.
Tentang masalah pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof tidak menyebut – nyebut hal itu. Semua agama menurut Ibn Rusyd mengakui adanya hidup kedua di akhirat sungguhpun ada perbedaan pendapat mengenai bentuknya.[28] Namun, perlu disadari maksud pokok dari Syari’at adalah menghimbau manusia untuk selalu melakukan perbuatan terpuji dan meninggalkan perbuatan jahat sehingga ajaran yang dibawa oleh agama harus sesuai dengan tanggapan dan pemikiran orang awam. Karena itu, kebangkitan di akhirat harus disampaikan dalam wujud jasmani. Untuk itu, Ibn Rusyd dalam kitabnya “Tahafut al-Tahafut” mengemukakan firman Allah yang maksudnya perumpamaan surga bagi orang-orang muttaqin disisi Allah, sungai-sungai yang mengalir di bawahnya. Dan juga sabda Rasulullah saw. Artinya : Di dalammya ( surga ) terdapat apa yang tidak pernah mata melihat dan telinga mendengar  serta tidak pernah tergores dalam kalbu manusia. Ini berarti kata Ibn Rusyd – bahwa dalam surga, manusia tidak dalam wujud jasad, dan apa yang diajarkan al-Qur’an tentang surga dan isinya harus difahami secara metafora. Demikian pula Ibn Abbas mengatakan bahwa tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersih keduniaan kecuali nama saja, hidup di akhirat lebih tinggi dari hidup di dunia.[12]
Dalam pada itu, Ibn Rusyd juga mengkritik al-Ghazali, karena dalam beberapa tulisannya terjadi kontradiksi. Tulisannya dalam buku Tahafut al Falasifah bertentangan dengan apa yang ia tulis dalam bukunya mengenai tasawuf. Dalam buku Tahafut al Falasifah, al-Ghazali mengatakan tidak ada orang Islam yang berpendapat adanya pembangkitan jasmani, sedangkan dalam buku tentang tasawuf ia menerangkan bahwa dalam pendapat kaum sufi yang ada nanti ialah pembangkitan rohani, bukan pembangkitan jasmani, tak dapat dikafirkan. Apalagi al-Ghazali mendasarkan pengkafirannya pada ijma’ ulama.[13]
Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pertentangan antara Ibn Rusyd (kaum filosof) dengan al-Ghazali (kaum Teolog) berkisa sekitar interprestasi tentang ajaran-ajaran dasar Islam, bukan tentang terima atau tolaknya ajaran-ajaran dasar itu sendiri. Baik Ibn Rusyd ( kaum filosof ) maupun al Ghazali ( kaum teolog ) tetap mengakui Tuhan sebagai pencipta alam diciptakan. Hanya yang menjadi permasalahan ialah, apakah semenjak azal Tuhan menciptakan sehingga alam dengan demikian menjadi qadim, ataukah Tuhan menciptakan tidak semenjak azal, sehingga alam bersifat baru. Kaum filosof ( Ibn Rusyd ) berpendapat Tuhan menciptakan semenjak qidam sedangkan kaum teolog ( al Ghazali ) tidak semenjak qidam. Kedua fihak mengakui adanya hari perhitungan dan yang di permasalahkan adalah apakah yang menghadapi perhitungan itu roh atau tubuh, ataukah hanya roh manusia saja. Menurut kaum filosof ( Ibn Rusyd ) hanya roh, sedangkan menurut kaum teolog ( al-Ghazali ) tubuh dan roh. Kedua golongan sama-sama mengakui bahwa T uhan mengetahui perincian ( juziyat ) dan yang dipersoalkan kaum filosof cara Tuhan mengetahui yang juhalziyat itu.
Jelas kiranya yang terdapat disini hanyalah perbadaan ijtihad, dan perbedaan ijtihad itu lumrah dalam Islam, tidak membawa kepada kekafiran.

C.  Tanggapan Ibn Rusyd tentang hukum kausalitas dan mukjizat menurut al-Ghazali

a.    Sikap al-Ghazali terhadap Hukum Kausalitas
Kausalitas, sebagai salah satu teori pengetahuan yang pada waktu itu benar-benar menantang prinsip kenabian, khususnya mukjizat. Kausalitas, secara harfiah berarti “segala sesuatu yang bertanggungjawab atas terjadinya perubahan gerak dan aksi. Tujuan utama al-Ghazali mengkritik kausalitas adalah untuk menegakkan mukjizat dan kemahakuasaan Tuhan secara mutlak. Mukjizat adalah “kekuatan supranatural yang diberikan kepada manusia sebagai (sesuatu yang di luar kebiasaan).
Jadi, al-Ghazali mengambil sikap yang berbeda dengan para filosof-filosof Muslim sebelumnya. Istilah “adah” yang ada dalam definisi mukjizat menjadi, bagi al-Ghazali, fondasi utama untuk mengislamkan kausalitas, yang masa sebelumnya sangat naturalistik. Langkah pertama al-Ghazali adalah mengkritik pendapat para filosof yang mengatakan bahwa  hubungan antara sebab dengan akibat bersifat niscaya.
Ini berarti  bahwa jika ada sebab pasti ada akibat dan sebaliknya. Hubungan di sini, kata al-Ghazali, tidak niscaya maupun mustahil tetapi mungkin bisa terjadi dan tidak bisa terjadi.Sehingga mungkin saja ada api tapi tidak membakar. 
Di sisi lain, al-Ghazali memperkenalkan “kausalitas spiritual”. Artinya, Allah secara langsung mampu melampaui kausalitas dengan cara merubah sifat yang ada pada suatu benda, atau secaratidak langsung dengan cara mengirimkan malaikat. Di sinilah,al-Ghazali meminjam teoriteologi, khususnya teori tentang Asy’ariyah, dalam mengatakan bahwa hubungan kausalitas itu bersifat mungkin dan mengenyampingkan Allah yang mampu bertindak di luar hubungan kausalitas. Al-Faruqi mengatakan, “Apa yang mengikat sebab dengan akibatnya, al-Ghazali menegaskan, adalah aksi Tuhan, yang pola-polanya pasti dapat terulang kembali karenaTuhan tidak bermaksud untuk menipu kita dan menyesatkan kita.
Langkah kedua al-ghazali adalah menantang pernyataan para filosof bahwa “hubungan antara satu sebab dengan satu akibat; sebab yang sama melahirkan akibat yang sama pula dan sebaliknya. Suatu akibat, menurut al-Ghazali, tidak harus terjadi dikarekan satu sebab. Ia terjadi mungkin saja dikarekan oleh sejumlah sebab. Al Ghazali sungguh menolak hukum kausalitas. Ia mengatakan sangat tidak mungkin sesuatu terjadi murni disebabkan oleh sesuatu yang lain selain tuhan juga berperan. Artinya, tuhan juga berperan sangat penting atas terjadinya segala sesuatu. Hal ini dibuktikan dengan tidak semua kejadian di sebabkan benda lain, banyak kejadian yang ada di luar hukum kausalitas. Tidak ada kemutlakan dalam hukum sebab akibat.Karena di samping kejadian disebabkan penyebab Tuhan juga yang menjadikan kejadian itu terjadi.[14]
Hubungan antara apa yang diyakini sebagai apa yang diyakini sebagai sebab alami dan akibat adalah tidak niscaya (dharuri). Tetapi masing-masing berdirinya sendiri, Ini bukan itu,danitu bukan ini. Penegasan pada salah satunya tidak mesti merupakan penegasan pada yang lain dan penafian terhadap yang satu tidak mesti merupakan penafian pada yang lain.
Eksistensi yang satu tidak mengharuskan eksistensi yang lain, dan ketiadaan yang satu tidak mengharuskan ketiadaan yang lain. [15]

b. Tanggapan Ibn Rusyd
Ibn Rusyd, yang fondasi epistemologinya adalah logika Aristotelian, melihat dampak negatif dalam serangan al-Ghazali terhadap kausalitas, sehingga harus mengemukakan kritik. Hubungan antara sebab dan akibat menurut Ibn Rusyd, merupakan hubungan yang niscaya, bukan hubungan mungkin.Ini berarti bahwa jika ada sebab pasti ada akibat. Misalnya, api membakar jika menyentuh sepotong kapas.
Setiap benda memiliki karakternya sendiri yang membedakannya dengan benda lain. Jika karakter ini dihilangkan, maka benda ini akan berubah nama, sehingga jika diuji dengan pendekatan kausalitas, walaupun masih dengan sebab yang sama, maka benda ini akan menimbulkan akibat yang berbeda. Mukjizat, yang bagi Ghazali merupakan pengecualian bahkan mampu melampaui kausalitas, Ibn Rusyd mengemukakan pendapat lain.
Fungsi mukjizat dalam Islam, menurut Ibn Rusyd, bukanlah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keimanan kepada Nabi sebagaimana dipegangi Ghazali, Walau masih merupakan bukti keberadaanya sebagai seorang nabi. Ibn rusyd membagi mukjizat jadi dua.Yang pertama, adalah al-barrani,yang berarti“mukjizat yang tidak sesuai dengan karakter seorang Nabi sebagai Nabi”, misalnya Nabi musa merubah tongkatnya menjadi ular. Mukjizat jenis ini diperuntukkan bagi orang awam.Yang kedua adalah mukjizat yang sesuai dengan seorang Nabi sebagai Nabi, Kasus Nabi Ibrahim a.s. yang dibakar pada masa raja Namrud. Risalah yang ia bawa, yang untuk Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an. Jenis mukjizat ini lebih diperuntukkan bagi orang-orang khusus, walaupun tidak melupakan orang-orang awam.[16]
Ibn rusyd sangat yakin bahwa kejadian merupakan sudah menunjukkan adanya hukum kausalitas, sehingga manusia bisa memprediksi kejadian berikutnya sesuai hukum kausalitas yang berlaku. Misalkan buku akan terbakar jika ditaruk di atas api. Selamanya akan terus demikian dan manusia bisa meramal bahwa ketika buku diletakkan di atas api ia akan terbakar. Dengan demikian manusia bisa menghindar dari keadaan tersebut jika tidak ingin bukunya terbakat. Terbakarnya buku ini tidak ada campur tangan Tuhan tetap ini sudah merupakan hukum alam yang tidak bisa digangu gugat. Kalau kita analisis hakikat hukum kausalitas itu sendiri bahwa ia adalah suatu kesimpulan dari dua kejadian. Misalkan, gelas jatuh maka ia pecah. Dalam keadaan ini sebenarnya terdapat dua kejadian. Pertama gelas jatuh dan gelas pecah.Kedua kejadian tersebut tidak bisa dicampur aduk, karena itu adalah dua kejadian yang berlainan. Sedangkan hukum kausalitas adalah hasil kesimpulan dari dua kejadian tersebut, sehingga kalau dua kejadian kita simpulkan akan menjadi gelas dijatuhkan, maka ia pasti akan pecah. Perbedaan hasil dari suatu penyeban kejadian itu dikarenakan adanya penyeban diluar kejadian itu. Sehingga perbedaan hasil juga disebabkan adanya suatu sebab yang pasti berbeda pula. Keadaan ini tidak lain adalah kesimpulan dari dua kejadia tersebut.
Kesimpulan tersebut adalah sebuah usaha manusia memahami hukum alam, memantai, mengendalikan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan. Adapun tetap terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan adalah karena ada sebab yang tidak seperti biasa, dengan kata lain ada sebab lain yang merasuk dalam sebab awal.[17]

D.   Kritik Ibn Rusyd terhadap teori emanasi para filosof Islam
Ibn Rusyd menggunakan teori emanasi sebagai dasar pergulatan pemikirannya untuk memahami relasi antara alam dan Tuhan. Dalam teori emanasi ini, Ibn Rusyd berangkat dari pemahaman bahwa salah satu sifat Tuhan yang hakiki adalah kesempurnaan-Nya dan keesaan-Nya. Tuhanyang Esa inilah yang mengemanasikan alam semesta karena kesempurnaan-Nya.Kesempurnaan dan ke-Esa-an Tuhan itu harus dilihat dari sisi perbuatan-Nya sejak azali. Karena kalo tidak dipahami demikian, maka ada saat di mana Tuhan harus mengatur pada zaman tertentu, sebelum Dia memutuskan diri untuk menciptakan alam semesta ini. Tuhan yang mengatur rupanya susah terbayangkan oleh Ibn Rusyd.Terkait dengan ke-Esa-an Tuhan, Ibn Rusyd memahami bahwa yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari satu.[18
Untuk mendukung pendapatnya ini, Ibn Rusyd mengungkapkan perbedaan mendasar antara Tuhan dengan manusia dalam melakukan suatu aktivitas/perbuatan. Ibn Rusyd mengatakan sesungguhnya ada perbedaan antara Pembuat Pertama (Tuhan) dengan pembuat yang nyata (manusia). Dalam proses penciptaan, alam semesta ini melimpah dari Tuhan yang Esa. Tuhan tidak hanya melimpahkan yang satu saja, tetapi terdapat multiplisitas limpahan yang terjadi, sebagai efek multiple dari tindakan Tuhan yang Esa itu. Menurut Ibn Rusyd, tindakan Tuhan semacam itu harus dibedakan dengan tindakan manusia. Manusia hanya mungkin melakukan sekali tindakan dengan satu efek tindakan yang telah dibuatnya. Tetapi untuk Tuhan, dengan sekali tindakan, dapat menghasilkan beragam efek dari tindakan yang telah diperbuat-Nya. Dengan alasan ini, akhirnya Ibn Rusyd menolak pemahaman para pemikir teori emanasi pada umumnya yang menyatakan bahwa dari yang Satu, Esa, hanya melimpah satu.
Ibn Rusyd sekali lagi secara tegas mengatakan bahwa Tuhan dalam keharusan-Nya menyebabkan segala sesuatu secara serentak, tanpa ada perantara lain selain Dia. Dalam bukunya, Tahafut-al-Tahafut, Ibn Rusyd menunjukkan bahwa pembuat yang Esa itu menyebabkan alam semesta dengan keanekaragaman realitas particular di dalamnya.[19]
Dari apa yang telah diuraikan di atas, Ibn Rusyd menyatakan bahwa antara wujud empiris dengan wujud akali sebetulnya tidak dapat dipisahkan. Lebih lanjut Ibn Rusyd menyatakan juga bahwa alamsemesta ini satu, ke luar dari Yang Satu. Di satu pihak, Yang Satu ini adalah penyebab adanya kesatuan. Sementara di pihak lain, Yang Satu ini menjadi penyebab adanya keragaman realitas. Untuk memperkuat pendapatnya ini, Ibn Rusyd mengajukan argumentasi cemerlang melaui sebuah pernyataan tegas bahwa dari Yang Esa, dengan ke-Esa-an-Nya, harus melimpah keragaman atau melimpah apapun sesuai dengan kesempurnaan-Nya. Dari Yang Satu bukan hanya melimpah satu, karena hal itu tidak akan pernah sesuai dengan fakta keberagaman yang ada di semesta alam ini.
Semua prinsip, baik yang berasal dari materi maupun yang bukan materi, melimpah dari prinsip pertama (Tuhan). Untuk itu, eksistensi alam semesta ini tiada lain disebabkan oleh kekuatan Tuhan yang satu, sehingga kekuatan Tuhan yang satu itu meresap di dalammya. Dari kekuatan Tuhan ini, jadilah semuanya sebagai satu kesatuan yang sesuai dengan tindakan Tuhan yang satu. Karena jika tidak dipahami secara demikian, tidak akan pernah terjadi keteraturan dan keterkaitan antar bagian di dalam alam semesta ini. Berdasarkan pemahaman semacam ini juga, maka Ibn Rusyd membenarkan bahwa Tuhan adalah penyokong dan pemelihara segala sesuatu.
Kalaupun ada kekuatan yang meresap dalam alam semesta, seperti yang dimaksudkan Ibn Rusyd, hal itu bukan berarti bahwa dengan meresapnya kekuatan yang satu ke dalam alam semesta, maka alam semesta menjadi banyak, seperti yang diduga. Hal ini memang sesuai dengan anggapan kebanyakan orang bahwa dari prinsip pertama mula-mula hanya melimpah satu saja, kemudian dari yang satu itu melimpah yang banyak. Akan tetapi, dugaan semacam itu muncul dari pemikiran orang-orang yang menyamakan pembuat yang gaib (Tuhan) dengan pembuat nyata (manusia), atau antara pembuat yang immaterial (Tuhan) dengan pembuat yang material (manusia). Hal ini sangatlah mustahil bagi Ibn Rusyd. Dari pemaparan di atas, maka jelaslah kebolehan melimpahnya keberagaman dari Yang Esa, tanpa perantara siapa dan apa pun, selain dari Yang Esa itu sendiri.
Ibn Rusyd kemudian menambahkan penjelasannya dengan membandingkan alam semesta ini , yang terdiri dari berbagai bagiannya, dengan negara yang memiliki banyak pemimpin. Semua pemimpin yang ada dalam negara itu, akan tunduk di bawah pimpinan yang satu dan tertinggi, yaitu kepala negara. Demikian pun alam semesta ini, begitu banyak realitas particular ada di dalamnya, akan tetapi alam semesta, baik sebagai totalitas maupun realitas-realitas particular yang ada di dalamnya, tunduk di bawah prinsip pertama dan tunggal, yakni Penyebab alam semesta ini. Dengan begitu, tidak dapat dibantah bahwa dari Yang Esa melimpah beraneka ragam realitas sehingga sesuai dengan kenyataan yang ada dalam alam semesta.

E.   Pengaruh pemikiran filsafat Ibn Rusyd di Eropa
Ibn Rusyd lebih dikenal dan berpengaruh besar di Eropa sebagai intelek yang telah menjembatani orang-orang Barat dalam mempelajari kembali filsafat Yunani secara orisinil setelah lama terkubur di abad pertengahan. Sehingga muncullah aufklarung (Renaissan) setelah lama terjadi kemandekan dan pergulatan. Di sini Ibn Rusyd sebagai komentator terbesar karya Aristoteles banyak berperan.
Pengaruh besar Ibn Rusyd tidak lepas dari metode dan pendekatan yang dipakai dalam pemikiran filosofisnya. Ibn Rusyd yang datang di tengah-tengah penguasaan dogma agama dan pertentangan besar agama (wahyu) dan filsafat (akal) merekonsiliasikan antara agama dan wahyu atau mempertemukan pertentangan tersebut dengan mengemukakan argument-argumen yang dapat diterima akal dan kaum agamawan. Persamaan tujuan dalam pencarian kebenaran menjadi senjata dalam menemukan benang merah pertentangan agama dan filsafat. Sebagai agamawan Islam, Ibn Rusyd dalam filsafatnya mengetengahkan justifikasi Alquran (agama) terhadap filsafat yang sebelumnya ditolak. Lewat penyatuan akal dan wahyu ini lah pengaruh Ibn Rusyd terus membesar.
Menurut Ibrahim Madkur, ada beberapa alas an yang menyebabkan perhatian Barat terhadap filsafat Ibn Rusyd demikian besar, yaitu; Ketertarikan Frederick II sebagai pecinta ilmu pengetahuan dan filsafat terhadap komentar-komentar Ibn Rusyd akan filsafat Arestoteles dan bagaiman dia dapat menjaga kemurniannya setelah tercampur dengan Platonisme. Ketertarikan ini mendorongnya untuk menerjemahkan dan menyebar luaskan pemikiran Ibn Rusyd di Eropa. Selain itu, banyak orang-orang Yahudi penganut filsafat Ibn Rusyd juga menerjemahkan pemikiran-pemikirannya. Dan sebagai komentator besar Arestoteles, banyak para pengkaji filsafat membaca karyanya demi mendapatkan keorisinilan pemikiran Arestoteles.[20]
 Pengaruh besar Ibn Rusyd di Eropa ditandai dengan lahirnya gerakan Averroisme yang menghidupkan dan mengembangkan pemikiran filosofis Ibn Rusyd. Meskipun apa yang mereka kembangkan pada akhirnya jauh berbeda dengan pemikiran asli Ibn Rusyd. Hal ini tidak lebih dikarenakan perbedaan latar belakang saja yang mempengaruhi pemikiran. Kelahiran aliran ini telah membuktikan pengaruh besar Ibn Rusyd di Eropa. Meskipun banyak juga yang menentang pemikiran Ibn Rusyd, seperti Thomas Aquinas, Raymond Lull, Albert the Great dan lainnya. Bahkan para gerejawan berusaha membendung pengaruh pemikiran rasional Averroisme dengan berbagai cara. Salah satu ancaman yang paling tragis adalah ancaman pembunuhan dan penjara.[21]



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama lengkap Ibn  Rusyd yaitu Muhammad bin Ahmad bin Muhammad yang bergelar Abul Walied, nama panggilannya Ibn Rusyd  kelahiran  Cordova pada tahun 520 H / 1126 M.  Ibn Rusyd adalah seorang filosof Islam  terbesar yang dibelahan barat dunia di Eropa pada zaman pertengahan dengan sebutan “Averrois”.
Sebagai seorang ulama besar Ibn Rusyd melahirkan banyak karya. Diantara karya-karya aslinya dari Ibn Rusyd yang penting, yaitu:
1.      Tahafut al-Tahafut (The incoherence of the incoherence = kacau balau yang kacau). Kulliyat fit Thib (aturan Umum Kedokteran), terdiri atas 16 jilid.
2.      Mabadiul Falasifah, Pengantar Ilmu Filsafat. Buku ini terdiri dari 12 bab.
3.      Tafsir Urjuza, Kitab Ilmu Pengobatan.
4.      Taslul, Tentang Ilmu kalam.
5.      Kasful Adillah, Sebuah buku Scholastik, buku filsafat dan agama.
6.      Muwafaqatil hikmatiwal Syari’ah, persamaan filafat degan agama.
7.      Bidayatul Mujtahid, perbandingan mazhab dalam fiqh dengan menyeutkan alasan-alasannya masing-masing.
8.      Risalah al-kharaj (tentang perpajakan).
9.      Al-da’awi, dan lain-lain.
Sementara itu, Ibn Rusyd juga memberikan sanggahan kepada al-Ghazali yang mengkafirkan para filosof.  Tidak terlepas dari itu, Ibn Rusyd juga memberikan tanggapan terhadap pandangan al-Ghazali menyangkut hukum kausalitas dan mukjizat.
Tidak terlepas dari teori emanasi (pancaran), Ibn Rusyd juga mengkritik para filosof muslim yang mengatakan bahwa dari yang Satu, Esa, hanya melimpah satu. Bagi Ibn Rusyd, yang melimpah dari Tuhan yang Esa tidak harus satu, tetapi juga lebih dari satu.
Sebagai ilmuan besar, pengaruh Ibn Rusyd menjalar sampai ke Eropa.  Ibn Rusyd lebih dikenal dan berpengaruh besar di Eropa sebagai intelek yang telah menjembatani orang-orang Barat dalam mempelajari kembali filsafat Yunani secara orisinil setelah lama terkubur di abad pertengahan. Sehingga muncullah aufklarung (Renaissan) setelah lama terjadi kemandekan dan pergulatan. Di sini Ibn Rusyd sebagai komentator terbesar karya Aristoteles banyak berperan.

B. Saran
Mengingat keterbatan reverensi, maka kepada para pembaca diharapkan mengambil rujukan-rujukan lain sebagai bahan komparasi. Sementara itu, sebagai penyusun, saya sangat mengharapkan masukan konstuktif baik berupa kritikan ataupun saran demi perbaikan penyusunan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bernilai ilmiyah di mata pembaca dan tentunya bernilai amaliyah di sisi Allah swt.

Daftar Pustaka

al-ghazali hamid Abu, Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof), MARJA, Bandung
Dasoeki Thawil Akhyar, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam,Semarang; Dina Utama Semarang, 1993.
Daudy Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986.
Fuad Al-Ahwany Ahmad, Dalam segi-segi  Pemikiran Filsafat Dalam Islam, Ahmad Daudy (edt.)Jakarta, Bulan Bintang, 1984.
Hairul Saleh, ,  www. Blog spot, “Titik Temu Filsafat Ibn Rusyd dan al-Ghazali”, com. 
Hanafi, Ahmad Pengantar filsafat islam, Bulan Bintang: Jakarta, 1991.
Iqbal Muhammad, Ibn Rusyd dan Averroisme, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004.
Nasution Harun, Filsafat dan mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1985.
Rusyd Ibn, Tahafut at-Tahafut, Tahqiq Sulaiman Dunia, kairo, Dar al Ma’arif, 1964.
Shaikh, M. Saeed, Studies in Muslim Philosophy, Delhi: Adam Publisher, 1994.
www. Scrib, “hukum kausalitas Ibn Rusyd vs Al-Ghazali”, com. Di akses tanggal 02-04-2013
Zar Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya,Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2004.




No comments:

Post a Comment