Friday 3 April 2015

Biografi Ismail Raji Al-Faruqi



A.  Biografi Ismail Raji Al-Faruqi
Islamil Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Dikenal secara luas sebagai ahli ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Ia juga dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme.[1]
Beliau memulai studi di College des Freres Libanon. Pada tahun 1941, ia melanjutkan pendidikan di American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dalam bidang filsafat ia peroleh dari universitas tesebut pada usia 20 tahun, kemudian ia menjadi pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun dan bahkan sempat menjabat sebagai gubemur di daerah Galile yang kemudian jatuh ke tangan Inggris pada tahun 1947. Pada tahun berikutnya Al-Faruqi memutuskan untuk berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia melanjutkan studinya yang sempat terhenti.[2]
Di dalam kehidupannya yang aktif dan kegiatan intelektualnya tercermin pribadi ilmuwan Muslim ideal. Profesor Ismail Al-Faruqi adalah tipe manusia pekerja dan pemikir yang memilih jalan yang pernah ditempuh oleh Ibnu Khaldun dan Al Beruni.[3] Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi presiden yang pertama pada tahun 1972 hingga 1978.
Al-Faruqi meninggal pada tanggal 27 Mei 1986 yang diakibatkan oleh tikaman pisau dari seorang lelaki yang menyelinap masuk ke dalam rumahnya diWyncote – Pennsylvania. Ia bersama istrinya, Louis Lamya, tewas akibat tikaman pisau lelaki tersebut. Sedangkan putrinya, Anmar al-Zein, berhasil ditolongnamun membutuhkan 200 jahitan untuk menutup lukanya. Para pemuka agamadan politisi memberikan penghormatan terakhirnya pada pemakaman Al-Faruqi diWashington pada akhir bulan September. Acara tersebut diselenggarakan oleh panitia untuk mengenang Al-Faruqi yang dibentuk dari gabungan Dewan Organisasi Arab-Amerika, Organisasi Masyarakat Islam Amerika Utara, Dewan Nasional Gereja Kristen Amerika, serta Komite Arab Amerika anti Diskriminasi (ADC). Pada saat yang sama, ADC mempublikasikan laporan khusus sebanyak 8 halaman tentang peristiwa pembunuhan terhadap Al-faruqi, termasuk detail kronologi peristiwa pembunuhan tersebut serta hasil terakhir investigasi peristiwa tersebut. Laporan investigasi mengindikasikan peristiwa tersebut merupakan peristiwa percobaan perampokan, walaupun tidak ada barang yang hilang dirumah Al-Faruqi. Di tengah maraknya peningkatan insiden dan kekerasan anti-arab dan anti-muslim di masa tersebut, laporan tersebut juga menyatakan tidak menutup kemungkinan ada motif politis pada peristiwa pembunuhan tersebut.
Perjalanan hidup Al-Faruqi hampir sama dengan pola hidup seorang pendeta Budha yang menolak pengaruh keduniawian. Pada suatu tahap dalam kehidupan ia mengalihkan seluruh perhatiannya dari kehidupan yang diwarnai oleh keberhasilan keduniawian ke kehidupan ilmiah.

B.  Pengertian Islamisasi
Bagi Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.[4]
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.
Dari uraian islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat Islam sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis (magical), mitologis (mythology), animisme (animism), nasional-kultural (national cultural tradition), dan paham sekuler (secularism). Sedangkan al-Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
C.  Ide atau Gagasan Utama
Berdasarkan pemikiran-pemikirannya, Al-Faruqi boleh dianggap sebagai pemikir Neo-Fundamentalis yang berusaha menghidupkan pemikiran-pemikiran klasik salafiah dalam alur yang sangat signifikan.[5]
Beliau juga berusaha membuat nilai-nilai qurani itu selalu relevan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Jadi, tidak ada istilah ajaran Islam itu tidak relevan dengan masalah-masalah kekinian.
Al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua pemikirannya itu saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu sumbu yaitu Tauhid. Diantaranya pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:
1.      Tauhid
Masalah yang terpenting dan menjadi tema sentral pemikiran Islam adalah pemurnian tauhid, karena nilai dari keislaman seseorang itu adalah pengesahan terhadap Allah SWT yang terangkum dalam syahadat.
Tetapi tauhid bukan sekedar diakui dengan lidah dan ikrar akan keesaan Allah serta kenabian Muhammad SAW. Lebih dari itu tauhid juga harus merupakan suatu realitas batin dan keimanan yang berkembang di dalam hati. Tauhid juga merupakan prinsip mendasar dari seluruh aspek hidup manusia sebagaimana yang dikemukakan bahwa pernyataan tentang kebenaran universal tentang pencipta dan pelindung alam semesta..
Bagi umat Islam segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai hasil kreasi manusia justru dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan tertinggi, dalam hal ini adalah Tuhan. Dengan demikian, wajar sekali jika tanggung jawab selaku manusia terletak pada perilaku baiknya dalam berhubungan dengan alam, masyarakat, dan bahkan kepada diri sendiri.[6]
Bagi AI-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri dan esensi Islam adalah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan, tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan transenden, penguasa segala yang ada.[7] Tauhid adalah memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua unsur-unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsur-unsur tesebut suatu kesatuan yang integral dan organis yang disebut peradaban.
Prinsip pertama tauhid adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa realitas terdiri dari tingkatan alamiah atau ciptaan dan tingkat trasenden atau pencipta.
Prinsip kedua, adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa Allah adalah Tuhan dari segala sesuatu yang bukan Tuhan. Ia adalah pencipta atau sebab sesuatu yang bukan Tuhan. Ia pencipta atau sebab terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu yang bukan Tuhan.
Prinsip ketiga tauhid adalah, bahwa Allah adalah tujuan terakhir alam semesta, berarti bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat, bahwa alam semesta dapat ditundukkan atau dapat menerima manusia dan bahwa perbuatan manusia terhadap alam yang dapat ditundukkan perbuatan yang membungkam alam, yang berbeda adalah tujuan susila dari agama.
Prinsip keempat tauhid adalah, bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat. Kemerdekaan ini memberi manusia sebuah tanggungjawab terhadap segala tindakannya.
Keempat prinsip tersebut di atas di rangkum oleh al-Faruqi dalam beberapa istilah yaitu :
a.    Dualitas yaitu realitas terdiri dari dua jenis: Tuhan dan bukan Tuhan; Khalik dan makhluk. Jenis yang pertama hanya mempunyai satu anggota yakni Allah Subhanahuwataala. Hanya Dialah Tuhan yang kekal, pencipta yang transenden. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Jenis kedua adalah tatanan ruang waktu, pengalaman, penciptaan. Di sini tercakup semua makhluk, dunia benda-benda, tanaman dan hewan, manusia, jin, dan malaikat dan sebagainya. Kedua jenis realitas tersebut yaitu Khaliq dan makhluk sama sekali dan mutlak berbeda sepanjang dalam wujud dan antologinya, maupun dalam eksistensi dan karir mereka.
b.    ldeasionalitas merupakan hubungan antara kedua tatanan realita ini. Titik acuannya dalam diri manusia adalah fakultas pemahaman. Sebagai organ dan tempat menyimpan pengetahuan pemahaman mencakup seluruh fungsi gnoseologi. Anugrah ini cukup luas untuk memahami kehendak Tuhan melalui pengamatan dan atas dasar penciptaan.
Sebagai prinsip pengetahuan, tauhid adalah pengakuan bahwa Allah, yakni kebenaran (al-alaq), itu ada dan bahwa Dia itu Esa. Pengakuan bahwa kebenaran itu bisa diketahui bahwa manusia mampu mencapainya. Skeptesisme menyangkal kebenaran ini adalah kebalikan dari tauhid.
2.      Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman modern ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an.
Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya dicetuskan oleh Syed Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang menurutnya adalah "desekuralisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Meskipun demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di Barat (sains modern) dan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
Menurut Al-Atas Islamisasi ilmu merujuk kepada upaya menggilimunir unsur- unsur, konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi idiologi, makna serta ungkapan sekuler.
Islamisasi bagi Al-Faruqi bermaksud hendak memberikan warna atau corak ilmu pengetahuan Barat yang sekuler dengan warna dan corak yang Islami. Bagaimana caranya? Itulah kemudian Al-Faruqi menyodorkan prinsip-prinsip dan tujuan:
a.       KeEsaan Allah (tauhid)
b.      Kesatuan alam, yang meliputi: tata kosmik, penciptaan sebagai sebuah tujuan dan ketundukan alam kepada manusia
c.       Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan
d.      Kesatuan hidup, yang meliputi: amanah, khilafah dan kaffah (komprehensif)
e.       Kesatuan umat manusia (universalisme)[8]
Ide tentang Islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi berkaitan erat dengan idenya tentang tauhid, hal ini terangkum dalam prinsip tauhid ideasionalitas dan teologi. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa adalah fakultas pemahaman yang mencakup seluruh fungsi gnosologi seperti ingatan, khayalan, penalaran, pengamatan, intiusi, kesabaran dan sebagainya.
Untuk menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi mengemukakan prinsip metodologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, maka dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum muslimin dari opini yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan mengenai pengetahuan.
Prinsip kedua yaitu tidak ada kontradiksi yang hakiki melindunginya dari kontadiksi di satu pihak, dan paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme. Tanpa ini ia tidak ada jalan untuk lepas dari skeptisme; sebab suatu kontradiksi yang hakiki mengandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing unsur kontradiksi tidak akan pemah dapat diketahui.
Prinsip ketiga tauhid dalam metodologi adalah tauhid sebagai kesatuan kebenaran yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang bertentangan, melindungi kaum muslimin dari liberalisme, fanatisme, dan konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Ia memaksa untuk mencantumkan dalam penegasan atau penyangkalannya ungkapan wallahu' alam karena ia yakin bahwa kebenaran lebih besar dari yang dapat dikuasainya sepenuhnya di saat manapun.
Sebagai penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber kebenaran. Tuhan pencipta alam dari mana manusia memperoleh pengetahuannya. Objek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan. Hal inilah yang banyak dilupakan Barat sehingga timbul ide untuk mengIslamisasikan ilmu pengetahuan. Dan juga melihat kondisi umat Islam yang mengadopsi semua ide Barat bahkan kadang-kadang tanpa filter yang akhirnya menempatkan ilmu pengetahuan yang dibangun oleh kesadaran ilahiyah yang kental mengalami proses sekularisasi yang berobsesi memisahkan kegiatan sekuler dengan kegiatan agama akhirnya menghantarkan ilmuwan pada terlepasnya semangat dari nilai-nilai keagaaman.
Semangat ilmuwan modern (Barat) adalah bahwa di bangun dengan fakta- fakta dan tidak ada unsurnya dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuwan itu kaum beragama, maka kegiatan ilmiah yang mereka lakukan terlepas dari sentuhan semangat beragama. Akhirnya ilmu yang lahir adalah ilmu yang terlepas dari nilai- nilai ke-Tuhanan. Dampak yang kemudian muncul adalah ilmu dianggap netral dan bahwa penggunaannya tak ada hubungannya dengan etika.
Menurut Al-Faruqi pengetahuan modern menyebabkan adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran dari aksi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena diperlukan upaya Islamisasi ilmu pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari Tauhid.
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya menurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.
Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya.
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Furuqi menetapkan lima sasaran dari rencana kerja Islamisasi, yaitu:
a.       Menguasai disiplin-disiplin modern
b.      Menguasai khazanah Islam
c.       Menentukan relevensi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern
d.      Mencari cara-cara untuk melakukan sentesa kreatif antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan modern.
e.       Mengarahkan pemikiran Islam kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan.[9]
Bagi AI-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuan muslim. Karena menurutnya apa yang telah berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam saat ini sangatlah tidak cocok untuk umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial Barat tidak sempurna dan jelas bercorak Barat dan karena itu tidak berguna sebagai model untuk pengkaji dari kalangan muslim, yang ketiga menunjukan ilmu sosial Barat melanggar salah satu syarat krusial dari metodologi Islam yaitu kesatuan kebenaran. Prinsip metodologi Islam itu tidak identik dengan prinsip relevansi dengan spritual. Ia menambahkan adanya sesuatu yang khas Islam yaitu prinsip umatiyah.
Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi merumuskan ke dalam 12  langkah- langkah yang harus dilakukan diantaranya adalah: [10]
a.    Penguasaan disiplin ilmu modern
Penguraian kategoris. Sehingga diharapkan Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang menjadi terperinci dalam sebuah kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema- tema.
b.    Survei disiplin ilmu.
Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-esei serta harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
c.    Penguasaan khazanah Islam.
Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu. Sederhananya, hal ini dapat dilakukan dengan penerbitan beberapa jilid antologi bacaan-bacaan pilihan dari khazanah ilmiah Islam untuk setiap disiplin ilmu modern. Antologi ini akan disusun menurut topik sesuai urutan yang dikenal dan berisi sumbungan terbaik dari khazanah ilmiah Islam yang menyangkut sejumlah persoalan yang merupakan objek disiplin ilmu modern.
d.   Penguasaan terhadap khazanah Ilmiah Islam untuk tahap analisa.
Tahap selanjutnya, setelah antologi-antologi disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari perspektif masalah- masalah masa kekinian. Prinsip-prinsip pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema yang mempunyai kemungkinan relevansi kepada permasalahan masa kini harus menjadi sasaran strategi penelitian dan pendidikan Islam.
e.    Penentuan relevensi spesifik untuk setiap disiplin ilmu.
Relevensi dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan untuk kemudian dicari jawabannya. Pertanyaan itu adalah:
Pertama, apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin modern. Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil- hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah- masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f.     Penilaian kritis terhadap disiplin modern.
Jika relevensi Islam telah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
g.    Penilaian kritis terhadap khazanah Islam.
Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan. Zainuddun dalam bukunya mengatakan, yang menjadi sasaran kritik di sini adalah pemahaman intelektual Muslim mengenai nash (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan semua karya-karyanya, begitu pula harus dianalisis relevansinya dengan masa kininya.[11]
h.    Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam.
Suatu studi sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah polotik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
i.      Survei mengenai problem-problem umat manusia.
Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan. Hal ini mencakup dari segala aspek baik sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.
j.      Analisa kreatif dan sintesa.
Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin modern, serta untuk menjembatani jurang kemandegan yang telah belangsung selama berabad-abad. Dari sini khazanah pemikir Islam harus disinambungkan dengan prestasi-prestasi modern, dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin modern.
k.    Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam.
Setelah keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin ilmu modern telah dicapai maka selanjutnya buku-buku teks universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin modern dalam cetakan Islam.
l.      Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.
Selain langkah tersebut diatas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat Islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar disiplin.
Dari langkah-langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di atas, nampaknya bahwa langkah Islamisasi ilmu pada akhirnya merupakan usaha menuangkan kembali seluruh khazanah pengetahuan barat ke dalam kerangka Islam. Ini dilakukan sebagai upaya pembebasan pengetahuan dari asumsi-asumsi Barat terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan pandangan dunia Islam.
Maka rencana kerja Islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi ini mendapat tantangan dari berbagai pihak, walaupun dilain pihak banyak juga yang mendukungnya. Ada yang menanggapinya secara positif bahkan menjadikannya sebuah lembaga, seperti IIIT. Dan tidak sedikit pula meresponnya dengan pesimis sebagaimana yang ditunjukkan oleh cendikiawan lainnya seperti Fazlur Rahman, yang melihat merupakan proyek yang sia-sia sama sekali tidak kreatif. Untuk itu konsep Islamisasi ilmu pengetahuan perlu dilihat dalam kerangka pemikiran secara keseluruhan agar tidak menimbulkan kerancuan.


[1] Kafrawi Ridwan (Ed), Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve 1993, hlm.334
[2] Akhmad Taufik dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Ed. 1 Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. hlm.194
[3] Akbar S. Ahmad, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta: Erlangga, cet. 1, 1992. Hlm 231
[4] Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan”, Islamia, Thn II No.6 (Juli-September, 2005), hlm. 35-36
[5] Akhmad Taufik dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Ed. 1 Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005. hlm.197
[6] Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam (Konsep Perkembangan dan Pemikirannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994, hlm. 159-161
[7] Al-Faruqi, Tauhid: Its Implementations for thought and life. Wynccote USA: TheInternational Institute of Islamic Thought, 1982, hlm.17
[8] Ismail R. Al-Faruqi, Islamisasion of Knowledge, terj. Anas Muhyidin, Bandung: Pustaka, 1994. hlm.56-96
[9] Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, ed. 1, Bayumedia, 2003. Hlm. 155
[10] Ismail R. Al-Faruqi, Islamisasion of Knowledge, terj. Anas Muhyidin, Bandung: Pustaka, hlm.98-117
[11] Zainuddin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, ed. 1, Bayumedia, 2003. hlm. 157

2 comments: