A.
Biografi Ismail Raji Al-Faruqi
Islamil Raji
Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Dikenal secara luas sebagai
ahli ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Ia juga dikenal sebagai
penganjur Pan-Islamisme.[1]
Beliau memulai
studi di College des Freres Libanon. Pada tahun 1941, ia melanjutkan pendidikan
di American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dalam bidang filsafat ia
peroleh dari universitas tesebut pada usia 20 tahun, kemudian ia menjadi
pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun dan bahkan
sempat menjabat sebagai gubemur di daerah Galile yang kemudian jatuh ke tangan
Inggris pada tahun 1947. Pada tahun berikutnya Al-Faruqi memutuskan untuk
berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia melanjutkan studinya yang sempat
terhenti.[2]
Di dalam kehidupannya
yang aktif dan kegiatan intelektualnya tercermin pribadi ilmuwan Muslim ideal.
Profesor Ismail Al-Faruqi adalah tipe manusia pekerja dan pemikir yang memilih
jalan yang pernah ditempuh oleh Ibnu Khaldun dan Al Beruni.[3] Semangat
kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang keilmuan membuat Al-Faruqi
mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu sosial kontemporer. Untuk
mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The
Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi presiden yang pertama pada
tahun 1972 hingga 1978.
Al-Faruqi
meninggal pada tanggal 27 Mei 1986 yang diakibatkan oleh tikaman pisau dari
seorang lelaki yang menyelinap masuk ke dalam rumahnya diWyncote –
Pennsylvania. Ia bersama istrinya, Louis Lamya, tewas akibat tikaman pisau
lelaki tersebut. Sedangkan putrinya, Anmar al-Zein, berhasil ditolongnamun
membutuhkan 200 jahitan untuk menutup lukanya. Para pemuka agamadan politisi
memberikan penghormatan terakhirnya pada pemakaman Al-Faruqi diWashington pada
akhir bulan September. Acara tersebut diselenggarakan oleh panitia untuk
mengenang Al-Faruqi yang dibentuk dari gabungan Dewan Organisasi Arab-Amerika,
Organisasi Masyarakat Islam Amerika Utara, Dewan Nasional Gereja Kristen
Amerika, serta Komite Arab Amerika anti Diskriminasi (ADC). Pada saat yang
sama, ADC mempublikasikan laporan khusus sebanyak 8 halaman tentang peristiwa
pembunuhan terhadap Al-faruqi, termasuk detail kronologi peristiwa pembunuhan
tersebut serta hasil terakhir investigasi peristiwa tersebut. Laporan
investigasi mengindikasikan peristiwa tersebut merupakan peristiwa
percobaan perampokan, walaupun tidak ada barang yang hilang dirumah Al-Faruqi.
Di tengah maraknya peningkatan insiden dan kekerasan anti-arab dan anti-muslim
di masa tersebut, laporan tersebut juga menyatakan tidak menutup
kemungkinan ada motif politis pada peristiwa pembunuhan tersebut.
Perjalanan
hidup Al-Faruqi hampir sama dengan pola hidup seorang pendeta Budha yang
menolak pengaruh keduniawian. Pada suatu tahap dalam kehidupan ia mengalihkan
seluruh perhatiannya dari kehidupan yang diwarnai oleh keberhasilan keduniawian
ke kehidupan ilmiah.
B.
Pengertian Islamisasi
Bagi
Ismail R. al-Faruqi, dalam pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi
ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu
sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan
kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang
berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk
kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.[4]
Islamisasi ilmu
pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti
mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu
terhadap alam kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa, islamisasi ilmu
pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun
dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan
dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus
dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam
metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya.
Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi
Islam yang bersumberkan pada tauhid.
Dari uraian
islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi di atas, maka terlihat bahwa jika
al-Attas mendefinisikan ilmu lebih ke arah subjeknya yaitu pada pembenahan umat
Islam sendiri yakni pembebasan manusia dari tradisi magis (magical),
mitologis (mythology),
animisme (animism),
nasional-kultural (national cultural tradition), dan
paham sekuler (secularism). Sedangkan al-Faruqi
mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri.
Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali
argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali
kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan
dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam.
C.
Ide atau Gagasan Utama
Berdasarkan pemikiran-pemikirannya, Al-Faruqi boleh dianggap
sebagai pemikir Neo-Fundamentalis yang berusaha menghidupkan
pemikiran-pemikiran klasik salafiah dalam alur yang sangat signifikan.[5]
Beliau juga berusaha membuat nilai-nilai qurani itu
selalu relevan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Jadi, tidak ada istilah
ajaran Islam itu tidak relevan dengan masalah-masalah kekinian.
Al-Faruqi banyak mengemukakan gagasan serta pemikiran
yang berhubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh Umat Islam. Dan semua
pemikirannya itu saling terkait satu sama lain, semuanya berporos pada satu
sumbu yaitu Tauhid. Diantaranya pemikiran Al-Faruqi yang terpenting adalah:
1.
Tauhid
Masalah yang terpenting dan menjadi tema sentral
pemikiran Islam adalah pemurnian tauhid, karena nilai dari keislaman seseorang
itu adalah pengesahan terhadap Allah SWT yang terangkum dalam syahadat.
Tetapi tauhid bukan sekedar diakui dengan lidah dan
ikrar akan keesaan Allah serta kenabian Muhammad SAW. Lebih dari itu tauhid
juga harus merupakan suatu realitas batin dan keimanan yang berkembang di dalam
hati. Tauhid juga merupakan prinsip mendasar dari seluruh aspek hidup manusia
sebagaimana yang dikemukakan bahwa pernyataan tentang kebenaran universal
tentang pencipta dan pelindung alam semesta..
Bagi umat Islam segala sesuatu yang berhubungan dengan
nilai-nilai hasil kreasi manusia justru dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan
tertinggi, dalam hal ini adalah Tuhan. Dengan demikian, wajar sekali jika
tanggung jawab selaku manusia terletak pada perilaku baiknya dalam berhubungan
dengan alam, masyarakat, dan bahkan kepada diri sendiri.[6]
Bagi AI-Faruqi sendiri esensi peradaban Islam adalah Islam
itu sendiri dan esensi Islam adalah Tauhid atau pengesaan terhadap Tuhan,
tindakan yang menegaskan Allah sebagai yang Esa, pencipta mutlak dan
transenden, penguasa segala yang ada.[7]
Tauhid adalah memberikan identitas peradaban Islam yang mengikat semua
unsur-unsurnya bersama-sama dan menjadikan unsur-unsur tesebut suatu kesatuan
yang integral dan organis yang disebut peradaban.
Prinsip pertama tauhid adalah kesaksian bahwa tiada
Tuhan selain Allah, itu berarti bahwa realitas terdiri dari tingkatan alamiah
atau ciptaan dan tingkat trasenden atau pencipta.
Prinsip kedua, adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan
selain Allah, itu berarti bahwa Allah adalah Tuhan dari segala sesuatu yang
bukan Tuhan. Ia adalah pencipta atau sebab sesuatu yang bukan Tuhan. Ia
pencipta atau sebab terawal dan tujuan terakhir dari segala sesuatu yang bukan
Tuhan.
Prinsip ketiga tauhid adalah, bahwa Allah adalah tujuan
terakhir alam semesta, berarti bahwa manusia mempunyai kesanggupan untuk
berbuat, bahwa alam semesta dapat ditundukkan atau dapat menerima manusia dan
bahwa perbuatan manusia terhadap alam yang dapat ditundukkan perbuatan yang
membungkam alam, yang berbeda adalah tujuan susila dari agama.
Prinsip keempat tauhid adalah, bahwa manusia mempunyai
kesanggupan untuk berbuat dan mempunyai kemerdekaan untuk tidak berbuat.
Kemerdekaan ini memberi manusia sebuah tanggungjawab terhadap segala
tindakannya.
Keempat prinsip tersebut di atas di rangkum oleh
al-Faruqi dalam beberapa istilah yaitu :
a.
Dualitas yaitu realitas terdiri dari
dua jenis: Tuhan dan bukan Tuhan; Khalik dan makhluk. Jenis yang
pertama hanya mempunyai satu anggota yakni Allah Subhanahuwataala. Hanya
Dialah Tuhan yang kekal, pencipta yang transenden. Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia. Jenis kedua adalah tatanan ruang waktu, pengalaman,
penciptaan. Di sini tercakup semua makhluk, dunia benda-benda, tanaman dan
hewan, manusia, jin, dan malaikat dan sebagainya. Kedua jenis realitas tersebut
yaitu Khaliq dan makhluk sama sekali dan mutlak berbeda sepanjang
dalam wujud dan antologinya, maupun dalam eksistensi dan karir mereka.
b.
ldeasionalitas merupakan hubungan
antara kedua tatanan realita ini. Titik acuannya dalam diri manusia adalah
fakultas pemahaman. Sebagai organ dan tempat menyimpan pengetahuan pemahaman
mencakup seluruh fungsi gnoseologi. Anugrah ini cukup luas untuk memahami
kehendak Tuhan melalui pengamatan dan atas dasar penciptaan.
Sebagai prinsip pengetahuan, tauhid adalah pengakuan
bahwa Allah, yakni kebenaran (al-alaq), itu ada dan bahwa Dia itu Esa.
Pengakuan bahwa kebenaran itu bisa diketahui bahwa manusia mampu mencapainya.
Skeptesisme menyangkal kebenaran ini adalah kebalikan dari tauhid.
2.
Islamisasi Ilmu
Pengetahuan
Pada hakekatnya ide Islamization of knowledge
ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di zaman modern ini. Ide
tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang sebelumnya sempat
digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an.
Ungkapan Islamisasi ilmu pengatahuan pada awalnya
dicetuskan oleh Syed Muhammad Naguib Al-Atas pada tabun 1397 H/1977 M yang
menurutnya adalah "desekuralisasi ilmu". Sebelumnya Al-Faruqi
mengintrodisir suatu tulisan mengenai Islamisasi ilmu-ilmu sosial. Meskipun
demikian, gagasan ilmu keislaman telah muncul sebelumnya dalam karya-karya
Sayyid Hossein Nasr. Dalam hal ini Nasr mengkritik epistemologi yang ada di
Barat (sains modern) dan menampilkan epistemologi prespektif sufi.
Menurut Al-Atas Islamisasi ilmu merujuk kepada upaya
menggilimunir unsur- unsur, konsep-konsep pokok yang membentuk kebudayaan dan
peradaban Barat khususnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Dengan kata lain Islamisasi
idiologi, makna serta ungkapan sekuler.
Islamisasi bagi Al-Faruqi bermaksud hendak memberikan
warna atau corak ilmu pengetahuan Barat yang sekuler dengan warna dan corak
yang Islami. Bagaimana caranya? Itulah kemudian Al-Faruqi menyodorkan
prinsip-prinsip dan tujuan:
a.
KeEsaan Allah (tauhid)
b.
Kesatuan alam, yang meliputi: tata kosmik,
penciptaan sebagai sebuah tujuan dan ketundukan alam kepada manusia
c.
Kesatuan kebenaran dan kesatuan
pengetahuan
d.
Kesatuan hidup, yang meliputi: amanah,
khilafah dan kaffah (komprehensif)
e.
Kesatuan umat manusia
(universalisme)[8]
Ide tentang Islamisasi ilmu pengetahuan Al-Faruqi
berkaitan erat dengan idenya tentang tauhid, hal ini terangkum dalam prinsip
tauhid ideasionalitas dan teologi. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, bahwa
adalah fakultas pemahaman yang mencakup seluruh fungsi gnosologi seperti
ingatan, khayalan, penalaran, pengamatan, intiusi, kesabaran dan sebagainya.
Untuk menghindari kerancuan Barat Al-Faruqi
mengemukakan prinsip metodologi tauhid sebagai satu kesatuan kebenaran, maka
dalam hal ini tauhid terdiri dari tiga prinsip: pertama, penolakan terhadap
segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas, dengan maksud meniadakan
dusta dan penipuan dalam Islam karena prinsip ini menjadikan segala sesuatu
dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik. Penyimpangan dari realitas atau
kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan
sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau sosial,
atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum muslimin dari opini
yaitu tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan
mengenai pengetahuan.
Prinsip kedua yaitu tidak ada kontradiksi yang hakiki
melindunginya dari kontadiksi di satu pihak, dan paradoks di lain pihak.
Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme. Tanpa ini ia tidak ada jalan
untuk lepas dari skeptisme; sebab suatu kontradiksi yang hakiki mengandung arti
bahwa kebenaran dari masing-masing unsur kontradiksi tidak akan pemah dapat
diketahui.
Prinsip ketiga tauhid dalam metodologi adalah tauhid
sebagai kesatuan kebenaran yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan/atau yang
bertentangan, melindungi kaum muslimin dari liberalisme, fanatisme, dan
konservatisme yang mengakibatkan kemandegan. Ia memaksa untuk mencantumkan
dalam penegasan atau penyangkalannya ungkapan wallahu' alam karena ia
yakin bahwa kebenaran lebih besar dari yang dapat dikuasainya sepenuhnya di
saat manapun.
Sebagai penegasan dari kesatupaduan sumber-sumber
kebenaran. Tuhan pencipta alam dari mana manusia memperoleh pengetahuannya.
Objek pengetahuan adalah pola-pola alam yang merupakan hasil karya Tuhan. Hal
inilah yang banyak dilupakan Barat sehingga timbul ide untuk mengIslamisasikan
ilmu pengetahuan. Dan juga melihat kondisi umat Islam yang mengadopsi semua ide
Barat bahkan kadang-kadang tanpa filter yang akhirnya menempatkan ilmu
pengetahuan yang dibangun oleh kesadaran ilahiyah yang kental mengalami proses
sekularisasi yang berobsesi memisahkan kegiatan sekuler dengan kegiatan agama
akhirnya menghantarkan ilmuwan pada terlepasnya semangat dari nilai-nilai
keagaaman.
Semangat ilmuwan modern (Barat) adalah bahwa di bangun
dengan fakta- fakta dan tidak ada unsurnya dengan sang pencipta. Kalaupun ilmuwan
itu kaum beragama, maka kegiatan ilmiah yang mereka lakukan terlepas dari
sentuhan semangat beragama. Akhirnya ilmu yang lahir adalah ilmu yang terlepas
dari nilai- nilai ke-Tuhanan. Dampak yang kemudian muncul adalah ilmu dianggap
netral dan bahwa penggunaannya tak ada hubungannya dengan etika.
Menurut Al-Faruqi pengetahuan modern menyebabkan
adanya pertentangan wahyu dan akal dalam diri umat Islam, memisahkan pemikiran
dari aksi serta adanya dualisme kultural dan religius. Karena diperlukan upaya Islamisasi
ilmu pengetahuan dan upaya itu harus beranjak dari Tauhid.
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti
melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan
menyebarluaskannya menurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia.
Menurut AI-Faruqi sendiri Islamisasi ilmu pengetahuan
berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun
ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam dengan memberikan dasar dan
tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan
kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam
strateginya, dalam apa yang dikatakan sebagai data-datanya, dan
problem-problemnya.
Dalam rangka membentangkan gagasannya tentang
bagaimana Islamisasi itu dilakukan, Al-Furuqi menetapkan lima sasaran dari
rencana kerja Islamisasi, yaitu:
a.
Menguasai disiplin-disiplin modern
b.
Menguasai khazanah Islam
c.
Menentukan relevensi Islam yang
spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern
d.
Mencari cara-cara untuk melakukan
sentesa kreatif antara khazanah Islam dengan khazanah Ilmu pengetahuan modern.
e.
Mengarahkan pemikiran Islam
kelintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Tuhan.[9]
Bagi AI-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan
suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuan muslim.
Karena menurutnya apa yang telah berkembang di dunia Barat dan merasuki dunia Islam
saat ini sangatlah tidak cocok untuk umat Islam. Ia melihat bahwa ilmu sosial
Barat tidak sempurna dan jelas bercorak Barat dan karena itu tidak berguna
sebagai model untuk pengkaji dari kalangan muslim, yang ketiga menunjukan ilmu
sosial Barat melanggar salah satu syarat krusial dari metodologi Islam yaitu
kesatuan kebenaran. Prinsip metodologi Islam itu tidak identik dengan prinsip
relevansi dengan spritual. Ia menambahkan adanya sesuatu yang khas Islam yaitu
prinsip umatiyah.
Untuk mempermudah proses Islamisasi Al-Faruqi merumuskan
ke dalam 12 langkah- langkah yang harus
dilakukan diantaranya adalah: [10]
a.
Penguasaan disiplin ilmu modern
Penguraian kategoris. Sehingga
diharapkan Disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya sekarang menjadi terperinci
dalam sebuah kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi,
problema-problema dan tema- tema.
b.
Survei disiplin ilmu.
Semua disiplin ilmu harus disurvei
dan di esei-esei serta harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan
perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan cakrawala
wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan oleh para tokoh
utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman muslim akan disiplin ilmu
yang dikembangkan di dunia Barat.
c.
Penguasaan khazanah Islam.
Khazanah Islam harus dikuasai dengan
cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah antologi-antologi
mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan dengan disiplin ilmu. Sederhananya, hal ini dapat dilakukan dengan penerbitan beberapa
jilid antologi bacaan-bacaan pilihan dari khazanah ilmiah Islam untuk setiap
disiplin ilmu modern. Antologi ini akan disusun menurut topik sesuai urutan
yang dikenal dan berisi sumbungan terbaik dari khazanah ilmiah Islam yang
menyangkut sejumlah persoalan yang merupakan objek disiplin ilmu modern.
d.
Penguasaan terhadap khazanah Ilmiah Islam
untuk tahap analisa.
Tahap selanjutnya, setelah
antologi-antologi disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari
perspektif masalah- masalah masa kekinian. Prinsip-prinsip
pokok, masalah-masalah pokok dan tema-tema yang mempunyai kemungkinan relevansi
kepada permasalahan masa kini harus menjadi sasaran strategi penelitian dan
pendidikan Islam.
e.
Penentuan relevensi spesifik untuk
setiap disiplin ilmu.
Relevensi dapat ditetapkan dengan
mengajukan tiga persoalan untuk kemudian dicari jawabannya. Pertanyaan itu
adalah:
Pertama, apa yang
telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari Al-Qur'an hingga pemikir-pemikir kaum
modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup dalam disiplin-disiplin modern.
Kedua, seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-
hasil yang telah diperoleh oleh disiplin modern tersebut. Ketiga,
apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau sama sekali
tidak diperhatikan oleh khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus
mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-
masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut.
f.
Penilaian kritis terhadap disiplin modern.
Jika relevensi Islam telah disusun,
maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
g.
Penilaian kritis terhadap khazanah Islam.
Sumbangan khazanah Islam untuk
setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya
harus dirumuskan. Zainuddun dalam bukunya mengatakan, yang menjadi sasaran
kritik di sini adalah pemahaman intelektual Muslim mengenai nash (al-Qur’an dan
as-Sunnah) dan semua karya-karyanya, begitu pula harus dianalisis relevansinya
dengan masa kininya.[11]
h.
Survei mengenai problem-problem
terbesar umat Islam.
Suatu studi sistematis harus dibuat
tentang masalah-masalah polotik, sosial ekonomi, inteltektual, kultural, moral
dan spritual dari kaum muslim.
i.
Survei mengenai problem-problem umat
manusia.
Suatu studi yang sama, kali ini
difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan. Hal ini mencakup dari
segala aspek baik sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya.
j.
Analisa kreatif dan sintesa.
Pada tahap ini sarjana muslim harus
sudah siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin modern,
serta untuk menjembatani jurang kemandegan yang telah belangsung selama berabad-abad.
Dari sini khazanah pemikir Islam harus disinambungkan dengan prestasi-prestasi modern,
dan harus menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas
dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin modern.
k.
Merumuskan kembali disiplin-disiplin
ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam.
Setelah keseimbangan antara khazanah
Islam dengan disiplin ilmu modern telah dicapai maka selanjutnya buku-buku teks
universitas harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin modern
dalam cetakan Islam.
l.
Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang
sudah diislamkan.
Selain langkah tersebut diatas,
alat-alat bantu lain untuk mempercepat Islamisasi pengetahuan adalah dengan
mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli di
bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang
menguasai pengkotakan antar disiplin.
Dari langkah-langkah dan rencana sistematis seperti
yang terlihat di atas, nampaknya bahwa langkah Islamisasi ilmu pada akhirnya
merupakan usaha menuangkan kembali seluruh khazanah pengetahuan barat ke dalam
kerangka Islam. Ini dilakukan sebagai upaya pembebasan pengetahuan dari
asumsi-asumsi Barat terhadap realitas dan kemudian menggantikannya dengan
pandangan dunia Islam.
Maka rencana kerja Islamisasi ilmu pengetahuan
Al-Faruqi ini mendapat tantangan dari berbagai pihak, walaupun dilain pihak
banyak juga yang mendukungnya. Ada yang menanggapinya secara positif bahkan
menjadikannya sebuah lembaga, seperti IIIT. Dan tidak sedikit pula meresponnya
dengan pesimis sebagaimana yang ditunjukkan oleh cendikiawan lainnya seperti Fazlur
Rahman, yang melihat merupakan proyek yang sia-sia sama sekali tidak kreatif.
Untuk itu konsep Islamisasi ilmu pengetahuan perlu dilihat dalam kerangka
pemikiran secara keseluruhan agar tidak menimbulkan kerancuan.
[1]
Kafrawi Ridwan (Ed), Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve
1993, hlm.334
[2] Akhmad Taufik
dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Ed. 1 Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005. hlm.194
[3] Akbar S.
Ahmad, Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta: Erlangga,
cet. 1, 1992. Hlm 231
[4]
Rosnani Hasim, Gagasan
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah
Tujuan”, Islamia, Thn II No.6 (Juli-September, 2005), hlm. 35-36
[5]
Akhmad Taufik
dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Ed. 1 Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005. hlm.197
[6] Jalaluddin dan Usman Said, Filsafat
Pendidikan Islam (Konsep Perkembangan dan Pemikirannya, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994, hlm. 159-161
[7]
Al-Faruqi,
Tauhid: Its Implementations for thought and life. Wynccote USA:
TheInternational Institute of Islamic Thought, 1982, hlm.17
[8]
Ismail R.
Al-Faruqi, Islamisasion of Knowledge, terj. Anas Muhyidin, Bandung:
Pustaka, 1994. hlm.56-96
[9] Zainuddin, Filsafat
Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, ed. 1, Bayumedia, 2003. Hlm. 155
[10] Ismail R.
Al-Faruqi, Islamisasion of Knowledge, terj. Anas Muhyidin, Bandung:
Pustaka, hlm.98-117
[11] Zainuddin, Filsafat
Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, ed. 1, Bayumedia, 2003. hlm. 157
thank you blogger... this is good page
ReplyDeletethank you blogger... this is good page
ReplyDelete